Kebebasan berekspresi masih jauh dari kenyataan. Pada 20 Februari 2025, band Sukatani mengunggah permintaan maaf di akun Instagram mereka. Mereka meminta maaf kepada Kapolri dan Polri atas lagunya yang berjudul “Bayar Bayar Bayar.” Kasus ini menunjukkan dengan gamblang bagaimana kekuasaan disalahgunakan secara vulgar.
Ada dugaan alasan “menjaga nama baik” dalam kasus ini—yang terdengar ironis. Orang-orang yang berasal dari institusi yang kerap terseret dalam kasus kekerasan—bahkan sudah viral di mana-mana—justru diduga menggunakan alasan ini untuk membungkam kritik.
Alih-alih melakukan introspeksi, para oknum polisi ini memaksa individu yang bersuara untuk menarik pernyataannya demi menjaga citra.
Padahal, tidak ada istilah “mencemarkan nama baik” jika nama tersebut sudah tercemar akibat tindakan mereka sendiri. Glorifikasi terhadap “nama baik” semacam ini justru menjadi alat cuci tangan yang menyudutkan korban dan memberi ruang pada terduga pelaku.
Memahami Penyalahgunaan Kekuasaan
Menurut laporan detikcom, enam personel Direktorat Reserse Siber Polda Jateng diduga terlibat dalam represi ini. Represi oleh aparat yang digaji dari pajak rakyat adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Secara umum, penyalahgunaan kekuasaan berarti tindakan yang bertentangan dengan kewajiban seseorang dalam jabatannya.
Kepolisian, yang seharusnya menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat, justru menciptakan atmosfer ketakutan. Kritik yang seharusnya menjadi bahan refleksi malah dipandang sebagai ancaman.
Lalu, kenapa kesewenang-wenangan ini bisa terjadi? Lord Acton pernah berujar, “Kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang absolut akan disalahgunakan secara absolut.” Dengan kata lain, semakin besar kekuasaan yang dimiliki, semakin besar pula kemungkinan penyalahgunaannya.
Minpang akan membahas bagaimana kekuasaan kepolisian yang begitu besar ini memungkinkan represi terhadap kebebasan berekspresi band Sukatani.
Celah Hukum yang Memungkinkan Penyadapan dan Penyalahgunaan
Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik menyatakan bahwa salah satu sumber kekuasaan adalah kepercayaan. Dalam praktiknya, kepercayaan ini terwujud dalam peran-peran yang ditetapkan melalui berbagai kebijakan hukum negara.
Pasal 31 ayat (3) UU ITE juncto Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Kepolisian RI mengatur bahwa kepolisian, seperti lembaga penegak hukum lainnya, memiliki akses untuk melakukan penyadapan sebagai patroli kehidupan bermasyarakat.
Coba kita perhatikan kasus di atas: para terduga pelaku represi band Sukatani adalah para oknum polisi dari Direktorat Reserse Siber Polda Jateng—yang diberi ruang oleh celah hukum.
Mereka memiliki keahlian di bidang teknologi serta akses ke berbagai perangkat elektronik—yang dugaanya memungkinkan mereka melakukan penyadapan, membuka identitas pribadi, hingga melakukan intimidasi dan represi.
Band Sukatani terdiri dari dua orang yang selama ini merahasiakan identitas mereka. Bagi mereka, yang penting adalah lagu-lagu yang mereka ciptakan bisa dinikmati dan menggerakkan hati. Mereka sudah sampai pada tahap, “Ah, bodo amat dengan pengakuan sosial! Yang penting berkesenian sambil bersenang-senang.”
Namun, kebebasan itu sirna akibat tekanan dari berbagai pihak dari institusi yang surplus oknum ini.
Urgensi Revisi Hukum untuk Mengatasi Penyalahgunaan Kekuasaan
Ketentuan Pasal 31 ayat (3) UU ITE juncto Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Polri perlu direvisi. Perubahan ini penting untuk menutup celah hukum yang memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk penyadapan yang bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi.
Di negara maju, penyadapan oleh kepolisian dilakukan melalui prosedur ketat. Di Amerika Serikat, misalnya, penyadapan hanya boleh dilakukan dengan izin pengadilan. Hakim akan memeriksa dengan seksama apakah ada cukup alasan hukum untuk menyadap seseorang, bukan berdasarkan inisiatif sepihak dari kepolisian.
Selain itu, materi UU ITE dan UU Polri ini juga patut diduga bertentangan dengan UUD 1945 sebagai norma hukum tertulis tertinggi. Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin kebebasan berekspresi dan hak setiap warga negara untuk bebas dari penyadapan yang membatasi kebebasan mereka.
Kedua pasal ini merupakan hasil amandemen pasca reformasi, sehingga mempertahankan aturan yang memperluas ruang represi berarti mengkhianati cita-cita reformasi.
Parlemen perlu melakukan amandemen. Harus ada kemauan politik untuk menjamin bahwa kegiatan berkesenian yang mengandung kritik tetap aman, sehingga berbagai wacana dapat berkembang untuk mengevaluasi kinerja negara.
Kalau tidak ada inisiatif parlemen, maka harapan selanjutnya adalah Mahkamah Konstitusi. Mereka sanggup menyatakan berbagai ketentuan hukum tersebut tidak sesuai dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat—berdasarkan gugatan dari pihak yang merasa sudah atau berpotensi dirugikan dengan hal itu.
Kita Punya Andil
Tapi di balik itu semua, Minpang merasa kita semua punya andil. Ayo, terus dengarkan lagu-lagu Sukatani dan sebarkan kesadaran kebebasan berekspresi! Ini membuktikan bahwa kita tidak membenarkan dan tidak takut pada semua yang terjadi.
Ada semacam mekanisme pengawasan yang membuat pembuat kebijakan atau pembuat keputusan berpikir dan bertindak lebih terarah.
Hidup para seniman yang melawan!