“Kartini bisa menjelma siapa saja ternyata.” Arini setelah mengenal Tari lebih dalam, 2025.
Yes. Long weekend kemarin saya menghabiskan waktu bersama teman-teman saya. Pergi lah saya ke JHB, di sana ketemu Tari.
Sebetulnya saya sama Tari juga cuma kenal dan ketemu di Saung JHB dan jujur saja, saya gak gitu kenal secara personal. Yang saya tahu memang Tari suka marah-marah in a cute way, dan suka sblak. Sudah itu za.
Pernah satu waktu, suaminya Saman kepergok mancing di empang, lalu dengan galaknya Tari ngetik di grup JHB (pakai capslock)
Kalau ada Saman suruh pulang! Adiknya lagi sakit kok dia malah mancing! Begitu lah terjemahannya.
Beberapa kali juga saya terlibat obrolan yang bikin saya sedikit-banyak tahu bahwa Tari ini make up artist, sedangkan suaminya adalah seorang pekerja proyek.
Saya bilang lah, “Mana atuh, Tar. Hayang nyaho dandanan maneh.”
Eh, besoknya saya langsung didandanin dan dijadikan media dia ngajarin teman-teman yang lain. Dimulai lah obrolan seru ini.
Tari ini sebenarnya sudah cukup lama tertarik untuk persoalan rias-merias. Tapi dia baru berani terjun “sebagai” MUA by herself adalah ketika dia sudah berhasil membeli semua peralatannya.
Bukan main, cuy. Kopernya berat dan isinya memang banyak. Beneran banyak, ribet, dan mahal. Kuas, jarum, konde, lem, dan peralatan buat make up lainnya yang bahkan saya gak hapal.
“Tar, maneh amun ngadandanan berarti mawa kabeh, ieu?”
“Nya heeh lah, Ce. Bayangkeun dina motor urang jam 2 peuting mamawa nu kos kieu. Resiko atuh!”
Ya. Ini yang baru saya pikirkan. MUA itu kan kalau mau dandanin orang ya harus subuh, ya. Dia berangkat dari jam 2 atau 3 dini hari untuk sampai ke tujuan. Menerjang segala resiko, even sampai ketemu pocong di jalan. Begal, jambret, orang mabok di jalan, tawuran, atau apapun itu yang jahat-jahat.
Dan Tari memilih buat mengambil semua resiko itu buat memenuhin kebutuhan rumah tangganya. She’s wonderful!
Meskipun saya tahu, dia mungkin bakal takut kalau ketemu pocong, tapi dia happy katanya karena kalau abis ketemu yang gitu-gitu suka tiba-tiba langsung jadi banyak orderan. Hmm. Untuk kali ini saya setuju. Pokoknya tempuhlah jalan yang bisa bikin kamu banyak duit!
“Kamu biasanya sama siapa kalau gak diantar suamimu?”
“Sama Resti, atau Didi, atau Fira.” jawab Tari, yang menguak satu fakta bahwa: ternyata dia juga ngajarin teman-teman JHB lain untuk bisa jadi MUA juga.
Bukankah itu sangat progresif?
Tari bisa jadi gak baca teori-teori feminism, dia juga mungkin gak tahu kapan International Women’s Day diperingati, tapi apa yang dia lakukan bikin saya salut dan yakin bahwa dia adalah feminis sejak dalam kandungan.
Gimana enggak?
Resti, Didi, dan Fira diajak belajar bareng-bareng, dan once ketika satu diantara mereka sudah bisa punya customer sendiri dan sudah bisa berjalan sendiri, dia memilih untuk happy dan menolak minta persenan dengan bilang:
“Aku mah seneng lah, berarti aku berhasil ngajarinnya.”
Tari membagikan ilmunya dengan cuma-cuma ke temannya, lalu mengajak dan melatih teman-temannya agar turut bisa melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan.
Tari mengingatkan saya pada banyak perempuan hebat di luar sana yang berjuang untuk keluarganya, berjuang saja, berjuang lagi, dan berjuang sampai titik darah penghabisan. Tanpa framing di media, tanpa branding apapun.
Tari tidak melakukan semua ini untuk gaya hidup yang neko-neko, tujuannya sesimpel: dia ingin bantu suaminya menuhin kebutuhan keluarga. Sudah, itu saja.
Dia tidak pernah menyalahkan suaminya, tapi dia milih untuk motoran dinihari datang ke tempat pengantin yang mau didandanin untuk sedikit demi sedikit membantu meringankan beban hidup, dan jajan sblak.
Dia sadar betul bahkan setelah menikah, dia tidak berhak menuntut suaminya untuk keinginannya: semangkuk sblak.
Suaminya juga bukan gak usaha, tapi tentu saja yang namanya proyekan, pasti ada diamnya dan ada waktunya bekerja. Saman (suaminya) bahkan yang nge-embrace Tari untuk “Ayo kamu pasti bisa! Kamu pasti berani.”
Saya akhirnya yakin, bahwa banyak juga pasangan yang sebenarnya tanpa mereka tahu, mereka adalah praktisi kesetaraan sesungguhnya. Angzay.
Jangan salah, mulai sekarang saya jadi gak mau marah-marah sama ibu yang sen-nya ke kanan beloknya ke kiri, karena siapa tahu dia pejuang di rumahnya. Saya gak mau marah-marah sama bapak-bapak yang ngehalangin jalan dengan keranjangnya yang ke tengah mulu, karena siapa tahu mereka lagi berjuang untuk kelangsungan hidup keluarganya.
Tari, terima kasih ya! Kamu sudah jadi perempuan hebat tanpa kamu sadari itu! Tetap keren, hurung, dan keep rock n roll bebihhh! I’m proud of you!
Mungkin banyak juga Tari-Tari lain diantara kita. Sebut saja Ibu, yang merelakan waktu tidurnya untuk sekadar mengganti kompresan di kening kita waktu kita demam. Sebut saja Bapak, yang merelakan ia dimarahin bosnya karena pergi sebentar buat jemput kita di sekolah.
Maka, siapapun itu, marilah kita berjuang untuk hidup kita sendiri, karena sesungguhnya lamun rek arurang nya rek saha?!
Mari kita belajar dari Tari, bahwa untuk menjadi “sesuatu” itu gak harus punya followers dan fans banyak. Menjadi sesuatu itu cukup dengan berguna dan bermanfaat untuk lingkaran di sekitar kita, lingkaran terkecil sekalipun.
Kartini bisa menjelma siapa saja, mungkin menjelma Revi, Tari, atau bahkan perempuan penjaja Yakult yang sering keliling, memperjuangkan nasi buat anak dan orang-orang kesayangannya.
Nah, untuk kamu yang mau tau Tari dan mau lihat karya-karya dandanannya, boleh banget cek di @tarii_makeup ya!