ArtikelSerupa

Hai, Para Penyimpang! Halo juga Arif Ableh yang menyapa mahasiswa Purwakarta dengan hangat lewat tulisannya Dear Mahasiswa Purwakarta.  Luar biasa. Jarang-jarang mahasiswa Purwakarta ndumel lewat tulisan, diterbitkan di situs pula. Biasanya rajin adu intrik lewat status WA, yang bikin saya berpikir sangat tidak mencerminkan mahasiswa sebagai insan akademis. Wedew~

Lantas, apa yang bisa dilakukan sebagai mahasiswa Purwakarta yang hanya 12% dari seluruh warga Kota Purwakarta? Diam dan pasrah dengan keadaan, atau saling menyalahkan?

Apalagi, pada data BPS  https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/07/15/1843/persentase-penduduk-miskin-maret-2021-turun-menjadi-10-14-persen.html dicantumkan bahwa: “Dari Maret 2020-Maret 2021, jumlah penduduk miskin meningkat sebanyak 1,12 juta orang.”

Meskipun saya yakin, yang disebut penduduk miskin itu bukan orang Purwakarta aja, tapi agaknya kita perlu sadar bahwa kemiskinan di Indonesia adalah lagu lama keset-kusut yang gak pernah selesai.

Ada sebuah konsep yang digadang-gadang bisa jadi solusi kemiskinan, yaitu konsep agropolitan. Konsep agropolitan dianggap manjur untuk mengurangi kemiskinan di desa karena secara teknis ‘dinilai’ mampu mendompleng nilai jual suatu komoditas sebuah desa. Purwakarta, misalnya.

Tulisan Arif menyebut bahwa Purwakarta memiliki 183 desa dengan segala potensinya. Coba kita bayangkan, ketika desa-desa yang ada di Purwakarta diketahui memiliki keunikan komoditas yang hampir berbeda, apakah itu bukan suatu peluang untuk kemajuan daerah? 

Nah, konsep metropolitan adalah program pembangunan ekonomi daerah pedesaan yang dimaksudkan buat memaksimalkan potensi komoditas yang dipunya sama si pedesaan itu. 

Misalkan, Wanayasa dengan produk manggisnya. Sejauh ini, kenapa manggis yang telah dipanen langsung diekspor? Kenapa tidak diproses, diubah, dinaikkan nilai jualnya? Apa karena ketidak tersediaan alat? atau pengelolaan dan lain segala macam? atau ada alasan lain? 

Yang saya ketahui, menurut Kemendikbudristek, setiap kampus harus melakukan pengabdian terhadap masyarakat, dan Purwakarta memiliki 18 kampus dengan keahlian yang berbeda dan pasti memiliki Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM/LP3M).

Pertanyaannya, apakah organisasi mahasiswa pernah sesekali berkolaborasi dengan LPPM kampusnya sendiri? Jika tidak, apa yang sebenarnya kita ingingkan? Lagi-lagi, apakah diam dan pasrah dengan keadaan? Atau saling menyalahkan?

Kalau kata Arif Ableh, kalian jangan menjadi mahasiswa apologia; terlarut-larut membanggakan sejarah yang telah berlalu untuk pembelaan diri. Hari ini adalah kita dengan masa depannya!