Imlek 2025 membawa kehangatan ke Karawang. Saat malam tiba, Minpang menyaksikan kerlap-kerlip lampion, aroma lezat masakan pedagang kaki lima, serta keceriaan anak-anak di Jalan Tuparev, Karawang. Merahnya lampion bersinar ceria, asap dari pembakaran daging menjamah udara dengan lembut, dan anak-anak ikut bergembira menikmati suasana.
Keberagaman benar-benar dirayakan di sini. Banyak orang dari berbagai latar belakang, termasuk yang bukan Tionghoa, ikut memeriahkan Imlek dengan berbagi angpao, membantu membuat serta menyalakan lampion, hingga bersorak-sorai saat menyaksikan barongsai. Tak ada sekat “kami” dan “mereka”—semua melebur dalam satu kesatuan: kita.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Imlek adalah tahun baru golongan Tionghoa yang dirayakan pada bulan pertama dalam kalender mereka. Bagi saudara-saudara kita yang berasal dari etnis Tionghoa, Imlek adalah momen untuk bersyukur atas kesehatan, kesejahteraan, dan keberkahan yang diberikan sepanjang tahun.
Momen ini juga menjadi kesempatan untuk mempersiapkan masa depan dengan lebih matang, tentu saja dengan memaksimalkan apa yang ada di masa kini.
Kabarnya, Imlek 2025 ini berada di bawah shio Ular Kayu. Merujuk pada keterangan detikcom, tahun ini menjadi momen untuk berpikir kritis, menentukan kembali pengutamaan, dan mengambil keputusan dengan bijak. Sederhananya, Imlek tahun ini bisa menjadi kesempatan untuk berbenah diri—terutama dalam aspek intelektual.
Politik-Hukum Humanis Gus Dur
Ternyata, perayaan Imlek yang kini bisa masyarakat Tionghoa rayakan di ruang publik tidak lepas dari peran K.H. Abdurrahman Wahid atau yang kita kenal akrab sebagai Gus Dur. Ketika baru menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Gus Dur mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dan menggantinya dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000.
Sejak keputusan itu berlaku pada 17 Januari 2000, warga etnis Tionghoa bisa dengan tenang merayakan tradisinya, termasuk Imlek, di ruang publik. Mereka tak lagi harus merayakannya secara sembunyi-sembunyi atau takut akan represi aparat hukum. Kebebasan warga negara dalam menjalankan tradisinya akhirnya terjamin.
Ini tentu merupakan sebuah kemajuan. Selama puluhan tahun di masa Orde Baru, warga etnis Tionghoa mengalami diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari—dan diskriminasi itu dilembagakan oleh negara melalui aturan yang melarang mereka menjalankan budaya, tradisi, agama, kepercayaan, serta adat istiadatnya secara bebas.
Kebijakan ini menciptakan penindasan pada kalangan minoritas Tionghoa. Orang-orang menganggap mereka sebagai kelompok inferior, sehingga ruang geraknya bisa dipersempit dan keberadaannya bisa dinistakan.
Namun, syukurlah, kita memiliki Gus Dur—sosok dengan kesadaran humanis yang tinggi. Jika kita melihat bagian konsideran (alasan atau pertimbangan) Keppres No. 6 Tahun 2000, kita akan menyadari bahwa kebijakan ini berdasarkan atas tiga landasan utama: landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis.
Landasan Filosofis
Landasan filosofis berarti bahwa ketentuan dalam Keppres tersebut bersumber dari falsafah bangsa kita, yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Di sila ke-2 yang berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Lalu hal tersebut kembali ditegaskan di dalam alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945 sebagai syarat untuk melindungi segenap bangsa Indonesia.
Ini tentu hal yang baik. Dengan Gus Dur membawa semangat falsafah bangsa Indonesia di dalam Keppresnya, berarti Gus Dur sangat menghargai konsensus bersama yang sudah para pendiri bangsa buat sebagai perwujudan menghargai hak asasi manusia.
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis berarti bahwa sebuah kebijakan harus sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pasca-reformasi, muncul banyak wacana untuk lebih melindungi kelompok minoritas, termasuk masyarakat Tionghoa yang selama masa Orde Baru kerap mengalami represi.
Dengan dikeluarkannya Keppres No. 6 Tahun 2000, Gus Dur mendengarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat Tionghoa. Hasilnya, kini mereka bisa hidup dengan lebih tenteram dan merayakan Imlek secara terbuka.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis menunjukkan bahwa kebijakan Gus Dur memiliki dasar hukum yang kuat dan berpedoman pada norma hukum yang lebih tinggi. Dalam konsiderannya, Keppres ini merujuk pada Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945, serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa presiden menjalankan kekuasaan negara sesuai dengan konstitusi, sedangkan Pasal 29-nya terkhusus pada Ayat (2) menegaskan bahwa negara menjamin kebebasan tiap warga negara untuk memeluk agama serta beribadah sesuai keyakinannya.
Ketentuan ini kemudian diperkuat melalui Keppres No. 6 Tahun 2000 yang secara spesifik melindungi hak masyarakat Tionghoa dalam menjalankan ibadah, tradisi, budaya, dan adat istiadatnya yang berlaku sejak 17 Januari 2000.
Di samping itu, perhatian Gus Dur terhadap implementasi UU No. 39 Tahun 1999 juga patut diapresiasi. Undang-undang ini lahir dari perjuangan reformasi yang berhasil meruntuhkan rezim Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa dengan sistem tangan besinya.
Dengan mencantumkan UU tersebut dalam konsideran Keppres-nya, Gus Dur menunjukkan bahwa ia memahami adanya pergeseran paradigma—dari Indonesia yang otoriter dan menindas hak asasi manusia menjadi Indonesia yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi kebebasan warganya.
Saat masyarakat Tionghoa memasang lampion-lampion di malam hari, tak ada lagi rasa takut cahayanya harus diredupkan. Karena semangat humanis Gus Dur akan selalu hidup.