April
Aku mengenalmu lewat senyuman. Aku menemanimu di ujung jalan. Saat malam berpeluk mesra dengan lampu jalan. Kehadiranmu memberi ruang baru. Takdir tak pernah salah. Hanya saja jalan hidup kita yang berbeda. Tak ada yang salah. Tidak. Berjalan seperti seharusnya. Berlari seperti enggan pergi. April. Terima kasih atas kisahmu hanya singgah yang tak pernah sungguh menjalin kasih bersama.
Minggu terakhir di bulan April, selalu jadi romansa sendiri dengan nama “Earth Day”, yah … selamat memperingati Hari Bumi. Ketika Hari Bumi semakin mendekat, Bumi sebagai salah satu seorang mahasiswa merasa semakin kontradiktif. Ia sedang sibuk mengejar tenggat kuliah dan ujian, dan merasa sulit untuk meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan Hari Bumi. Setiap kali ia melihat poster atau pengumuman tentang acara Hari Bumi, perasaan bersalah mulai menghantuinya.
Selain itu, Bumi merasa ada hipokrisi dalam perayaan ini. Meskipun universitas mereka berbicara begitu banyak tentang pentingnya melestarikan lingkungan, ia menyadari bahwa masih banyak gedung yang menggunakan energi fosil dan limbah, masih tidak dikelola dengan baik. Ia mulai merasa bahwa peringatan Hari Bumi hanyalah simbolisme kosong jika tindakan nyata tidak diambil.
Suatu hari, Bumi memutuskan untuk berbicara dengan Profesor Lingkungan favoritnya, Profesor Maya, tentang perasaannya. Ia menjelaskan betapa sulitnya baginya untuk merayakan Hari Bumi sambil juga berusaha menghadapi tekanan akademis. Ia juga mengungkapkan keraguan tentang sejauh mana perayaan tersebut memiliki dampak nyata. Belum lagi beberapa cerita warga yang mengalami penggusuran, semakin membuat nurani bumi untuk merenung sejenak.
“Saya tidak dipaksa menjual, tapi saya menjualnya dengan terpaksa.”
Di sebuah desa kecil yang pernah dikenal dengan pemandangan alam yang indah dan damai, tinggal seorang warga bernama Rudi. Rumahnya terletak di tepi perbukitan, di mana ia telah tinggal selama bertahun-tahun bersama keluarganya. Desa ini telah menjadi tempat berbagai kenangan dan cerita bagi Rudi dan keluarganya. Bumi mulai menceritakan kepada Profesor Maya.
Suatu hari, berita mengejutkan datang ke desa tersebut. Sebuah perusahaan besar berniat membangun fasilitas pembangkit listrik menggunakan energi fosil di dekat perbukitan. Rencana ini menunjukkan bahwa sejumlah rumah, termasuk rumah Rudi, harus digusur untuk memberi ruang bagi proyek ini.
Ketika Rudi pertama kali mendengar berita ini, ia merasa seperti dunia di sekitarnya runtuh. Ia ingat masa-masa indah bersama keluarganya di rumah tersebut. Tetapi dia tahu bahwa perjuangan melawan perusahaan besar tersebut akan sangat sulit dan panjang. Meskipun sebenarnya ia tidak dipaksa untuk menjual rumahnya, tekanan dan kenyataan bahwa proyek ini akan berdampak besar pada nilai propertinya membuatnya merasa tidak ada pilihan lain.
“Ya, saya tidak dipaksa untuk menjual,” ujar Rudi dengan suara penuh penyesalan. “Tapi saya menjualnya dengan terpaksa. Saya tahu rumah ini berarti banyak bagi keluarga saya, tetapi kami merasa seperti ditekan oleh situasi ini. Harga properti kami akan merosot, dan lingkungan kami akan berubah drastis.”
Rudi dan warga lainnya mulai berkumpul untuk membahas situasi ini. Mereka merasa marah dan frustasi karena merasa dikeluarkan dari rumah mereka tanpa pilihan yang nyata. Mereka menyadari bahwa pembangunan fasilitas energi fosil akan memberikan dampak negatif pada lingkungan, termasuk polusi udara dan ancaman terhadap keindahan alam yang selama ini mereka nikmati.
Beberapa warga mencoba mengorganisir protes dan kampanye untuk mencegah proyek ini. Mereka mengumpulkan tanda tangan, berbicara di forum publik, dan mencoba mendapatkan perhatian media. Namun, mereka menyadari bahwa perjuangan mereka melawan kepentingan perusahaan besar bukanlah tugas yang mudah.
Sementara itu, waktu terus berjalan, dan Rudi dan keluarganya harus menghadapi realitas bahwa mereka akan meninggalkan rumah yang mereka cintai. Mereka memutuskan untuk menjual rumah dan pindah ke tempat lain, tetapi hati mereka tetap penuh dengan kerinduan akan rumah yang akan mereka tinggalkan.
Profesor Maya mendengarkan dengan penuh perhatian dan kemudian berkata, “Bumi, apa yang kamu rasakan adalah wajar. Kita semua menghadapi tantangan dalam mengatasi perubahan lingkungan. Namun, penting untuk diingat bahwa setiap usaha, sekecil apapun, memiliki arti. Jangan biarkan perasaan kontradiksi ini menghentikanmu.”
Profesor Maya melanjutkan dengan berbicara tentang pentingnya menyebarkan kesadaran dan membantu mengedukasi orang lain tentang lingkungan. Ia juga menekankan bahwa peringatan Hari Bumi adalah peluang untuk membangkitkan kesadaran dan memulai percakapan, bahkan jika perubahan besar-besaran belum terjadi.
Setelah kurang lebihnya mengutarakan keresahannya kepada Profesor Maya. Bumi lalu bergegas ke kantin kampus. Ia tak sengaja mendengar percakapan dua orang mahasiswa.
Ari: Hei, kamu dengar berita terbaru? Bupati Alas Roban mengundurkan diri dari jabatannya.
Bima: Ya, aku juga mendengarnya. Bukan hanya Bupati Alas Roban saja akan tetapi Bupati Alas Purwo dan Bupati Gunung Merapi juga. Yah mungkin mereka ini bestienya atau sudah janjian he. Selain itu juga ada beberapa seniorku dalam organisasi ikut dalam kancah perpolitikan. Ah udahlah. Kabarnya Bupati Alas Roban ingin menjadi calon anggota DPR RI. Benar, kan?
Ari: Betul, kabarnya begitu. Aku agak terkejut, sejujurnya. Mengundurkan diri dari posisi bupati untuk ikut dalam politik nasional, itu langkah besar. Tapi hmmm, hmmm.
Bima: Iya, aku setuju. Tapi mungkin dia melihat peluang untuk berbuat lebih banyak di level nasional. Sepertinya dia ingin mempengaruhi kebijakan yang lebih luas.
Ari: Bisa jadi. Tapi aku juga bertanya-tanya apakah ini bisa mempengaruhi dinamika politik di Alas Roban sendiri?
Bima: Ya, itu pertanyaan yang menarik. Kepindahan Bupati Alas Roban ke panggung nasional, mungkin akan ada perubahan dalam dinamika politik lokal.
Ari: Dan jujur saja, kadang aku merasa skeptis dengan keputusan seperti ini. Apakah dia benar-benar ingin melayani masyarakat lebih baik, atau ini hanya langkah politik karier?
Bima: Itu memang pertanyaan yang kompleks. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di dalam pikiran seseorang. Pada akhirnya tidak ada pemimpin yang sosialis. Tidak ada pemimpin yang idealis, adanya pemimpin yang oportunis. Kalau pun pemimpinnya tidak seperti yang aku sebutkan tadi, maka mereka pasti undur-undur. #$#$#$#$*&*&*^^&@@
Kita
Kita sangat pantas untuk terluka. Kita semua sangat pantas terluka. Kita mengidolakan Tuhan tapi menuhankan selain Tuhan. Doa-doa yang disematkan. Mengemis kenyataan. Tapi mengutuk ketetapan Tuhan. Lucu sekali.