Aku menyukai cerita. Kanzan ceritakan padaku tentang apa saja.
Tidak serta merta Kanzan langsung bercerita. Ia melihat mata Adjani terlebih dahulu. Memang benar Adjani menyukai cerita.
“Sambil merokok boleh, ya?” pinta Kanzan.
Adjani mengangguk.
Kanzan merogoh saku celananya, mengeluarkan bungkus rokok, ia ambil sebatang. Dalam pikirannya, hari ini bertemu Adjani ialah untuk mengungkapkan isi hatinya, tapi malah diminta untuk bercerita. Tak bisa ia tolak juga.
Rokok belum juga dibakarnya.
“Apa saja ya, okay.” Mata mereka saling bertemu, menebak-nebak apa yang sedang ada dipikiran masing masing.
“Tersebutlah ia, Zaed namanya. Tinggal berdua dengan pasangannya di suatu kosan. Kamu mau ngasih nama kostan nya apa, Ni?”
“Aura Kehidupan”
“Okay. Nama yang bagus. Mereka berdua tinggal di kosan Aura Kehidupan.”
“Layaknya pasangan muda mudi, kehidupan mereka berjalan seperti biasanya. Bekerja dan malas-malasan nyempil di sela-sela waktu. Banyak yang mengatakan mereka pasangan yang serasi. Pas. Tidak kurang tidak lebih. Tapi menurut mereka berdua, tidak juga tuh.”
“Tapi menurut kamu sendiri, pasangan yang serasi itu yang seperti apa, sih?” Kanzan melempar pertanyaan.
“Sebentar. Hhmm … kayak apa, ya?”
Pada kesempatan inilah Kanzan baru membakar rokoknya, menghisapnya. Sabar adalah kepiawaian Kanzan.
“Duh, kayak apa, ya? Ih kok malah nanya aku, gak tau ah! Udah lanjutin aja ceritanya.”
“Ya aku ingin dengar pendapatmu dulu, kan. Tapi ya udah, gapapa. Pasangan serasi itu menurutku …”
Belum selesai Kanzan bicara, langsung dipotong oleh Adjani.
“Kayak botol dengan tutupnya. Pas gitu kan, yah? Hehe.”
“Hahaha oke boleh. Pokoknya mereka pasangan serasi seperti botol dan tutupnya.”
“Satu waktu, Zaed pulang ke kosan bawa kresek hitam. Di kosan, Luz baru saja merebahkan badannya sehabis dari lab. Luz ini seorang laboran, Ni. Ia menjadi Kasie Lab di salah satu kampus di Bandung, di Jalan Tamansari. Kerjaannya di Lab terus. Nggak tiap hari juga sih. Oke balik lagi ke Zaed. Dia ngeluarin sesuatu dari kresek hitam, lalu ditunjukkannya lah pada Luz. Coba tebak, kira kira Zaed nunjukin apa?”
“Gorengan?”
“Ah kamu mah guyon terus jawabnya. Kresek hitam itu isinya tanaman.”
“Aku coba tebak pasti anggrek,” Adjani menebak
“Sotoy, ih! Lidah mertua Ni, bukan anggrek. Zaed nemuinnya di jalan di pembuangan daerah Cicadas. Zaed nemuin sewaktu dia lewat sana sepulangnya dari pembukaan pameran yang ia kuratori. Entah kenapa Zaed sampai bisa ngambil itu tanaman,”
“Ada kekuatan magis yang menyuruh Zaed mengambinya kali Zan” Sahut Adjani.
“Mungkin. Bisa Jadi. Boleh,”
“Ih kok respon nya begitu sih!”
Kanzan hanya tersenyum, memandang wajah Adjani yang teduh sambil terus bercerita.
“Kira kira percakapan mereka sewaktu Zaed membawa kresek hitam itu begini, Ni”
Zaed: Beib, ini aku bawa Lidah Mertua. Ngambil tadi di jalan pas waktu balik.
Luz: Ih kok bawa bawa beginian? Mana udah pada layu, lagi …
Zaed: Ini masih ada yang segernya, tahu. Ya cuma dua sih, tapi kita tanam dan rawat aja, yuk.
Luz: Kamu serius?
Zaed: (hanya mengangguk)
Luz: Ya udah, deh. Toh, katanya juga Lidah Mertua bagus disimpan di dalam ruangan. Antipolutan katanya. Biar bersihin asap rokok kamu, tuh.
Kanzan melihat kearah Adjani. Ia melirik apakah perempuan itu masih betah mendengarkan ceritanya atau sudah bosan.
“Zaed dan Luz memutuskan untuk merawat tanaman tersebut. Sebelum ditanam, terjadi perselisihan. Mereka hendak memakai pot berwarna putih atau hitam. Luz memilih hitam, Zaed memilih warna putih. Mereka berdua berkebalikan memilih warna pot dengan kehidupan sehari hari mereka. Luz akrab dengan warna putih sedang Zaed akrab dengan warna hitam. Akhirnya Luz mengalah, menuruti keinginan Zaed yang memilih warna putih.”
“Mereka berdua setiap hari menyiram bergantian. Satu hari satu tutup botol, tidak banyak.”
“Satu bulan sudah berlalu. Lidah Mertua kembali segar dan sedikit bertambah tinggi dan lebarnya. Sesekali Lidah Mertua tersebut dibawa keluar untuk dijemur, bertemu dengan matahari. Kasih sayang yang ditularkan oleh mereka berdua, berpengaruh terhadap Lidah Mertua itu. Lidah Mertua mereka tumbuh segar.”
“Tanaman tersebut selalu menemani mereka berdua di kamar kosnya. Satu hari, orang tua Luz menyuruhnya untuk pulang ke kampung. Luz menuruti apa kata orang tuanya dan meninggalkan Bandung. Tapi, Luz meminta kepada Zaed untuk membawa lidah mertuanya ke kampung. Zaed setuju saja dengan hal itu. Menurutnya, tanaman itu di tangan Luz juga pasti bakal lebih terawat.”
“Zaed dan Luz akhirnya LDR. Satu, dua, tiga bulan, hubungan mereka baik baik saja. Sampai pada satu waktu, orang tua Luz menanyakan perihal hubungan mereka berdua. Dan ternyata, selama ini ibunya Luz tidak menyetujui hubungan mereka berdua. Hal itu baru terungkap sekarang-sekarang saja. Oh, pantaslah Ibu nyuruh aku pulang. Begitu pikir Luz.
Tapi, Luz tidak ambil pusing. Luz pun tetap menjalani harinya seperti biasa. Ia tidak pernah kelewatan untuk menyiram tanaman itu. Satu pagi, Luz tersadar bahwa menunjukkan gejala bakal layu. Dan benar saja, selang dua hari berikutnya, batang tersebut layu. Luz sadar ada yang aneh dengan hal ini.
Ibunya Luz ternyata diam-diam sudah menyiapkan seorang laki laki untuk menjadi pendamping Luz kelak. Dan, satu malam laki-laki tersebut berkunjung ke rumahnya. Jengki namanya, teman masa kecil Luz dulu.
Pagi ke-135 setelah meninggalkan Bandung, Luz melihat ibunya sudah ada di sampingnya. Berceritalah ibunya, kalau kedatangan Jengki kerumah tadi malam, bukanlah yang pertama kali melainkan sudah beberapa kali. Sebelum Luz balik ke kota M, Jengki berniat melamar Luz. Ibu dan bapaknya menerima lamaran tersebut, tanpa pikir panjang apakah Luz nantinya akan menerima atau tidak. Sebab mereka yakin, pilihan orang tualah yang terbaik untuk anaknya dan mana mungkin orang tua menjerumuskan anaknya ke jurang kesengsaraan.”
Pagi itu Luz seperti mendapat kabar buruk dari langit. Ia tak percaya akan hal itu, tapi ia yakin kalau ibunya itu tidak sedang berbohong. Luz menggigil luruh, luruh air matanya. Setelah selesai menceritakan hal tersebut, ibunya langsung beranjak memeluk Luz dan pergi keluar kamar. Luz tidak membalas pelukan ibunya, yang ada dalam pikirannya cuma ia berdosa.
Ia berdosa kepada Zaed. Kesetiaan yang selama ini ditunjukkan Zaed akan dirinya, dibayar hina oleh Ibu Bapaknya. Tapi apa daya? titah Ibu dan Bapak, Luz tidak bisa melawan. Lalu Luz bangun, teringat akan tumbuhan sederhana itu. Luz kalap, tidak bisa menahan kesedihannya. Ia lepas kendali dan berteriak. Ia mendapati yang ia rawat lebih sudah tujuh bulan lamanya layu, mati.”
Rokok ditangan Kanzan ternyata tidak habis ia bakar. Menyisakan setengahnya.
“Begitulah kiranya yang aku bisa ceritakan padamu tentang apa saja, bagaimana Adjani, apakah dirimu menyukainya?”
Angin kencang berhembus sore itu, menerpa pori-pori kulit mereka berdua. Mereka berdua diam. Tidak, Adjani tidak menjawab pertanyaan Kanzan apakah ia menyukainya atau tidak. Ia hanya tersenyum dengan iringan luruh air matanya.
Cicadas, 2 Mei 2023
ANJAY…
Sopan gini mas packaging nya🥲
Deep
Halo, terima kasih sudah membaca Nyimpang.com. Btw, Rolling in the Deep bukan, Kak?
Kekuatan berceritanya mantap.
Halo, terima kasih sudah membaca Nyimpang.com 🙂