Bapak-bapak sudah mulai berkumpul, duduk melingkar sambil mengamati dengan tatapan serius. Sodikin —Sod, begitulah panggilannya— datang paling akhir dengan perasaan canggung.
Plak! Suaranya begitu mantap diiringi seruan, “Poldan!”
Sod duduk di pojokan, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Ia belum mengenal bapak-bapak itu selain dari wajahnya yang sering ia lihat setiap hari. Satu di antara gerombolan bapak-bapak itu bernama Do, sudah sering ia dengar dari tetangga.
Dari apa yang didengar oleh Sod, Do adalah tipe orang yang banyak bicara dan selalu melemparkan humor begitu saja. Dan, katanya, jurus andalan Do adalah tebak-tebakan.
Tentu Sod tak tahu sebawel apa dan selucu apa lelucon dari Do itu. Malam ini mungkin akan tahu, pikir Sod.
Sod datang ke sana karena ajakan dari To selaku Kepala RT setempat. To mengajaknya untuk melakukan ronda bersama bapak-bapak lainya sekalian memberi tahu Sod wilayah RT serta orang-orang yang mesti Sod kenali. Sod mengiyakan niat baik tersebut agar ia bisa bertetangga dengan baik.
Angin yang mendayu-dayu membawa udara sejuk, membuat Sod tenggelam dalam rasa nyaman yang membuat kantuk. Bila istrinya tak mengingatkan, Sod tak akan datang ke Pos Ronda dan selamanya mungkin tidak akan bicara dengan tetangga.
“Ronda pertama masa bolos?” pikir Sod, “Memalukan!” katanya memotivasi diri sendiri.
Belum lama ia duduk di pojokan, To mengajaknya bermain gaple karena Do selalu kalah. Ia bingung menolak, makanya mau tak mau ia bergabung dalam permainan. Do pun mengocok kartu.
“Kamu sebelum ke sini tinggal di mana?” tanya To sambil menanti Do menyelesaikan kocokannya.
“Saya ngontrak di sana, Pak.”
“Oh,” jawab To sembari mengambil rokok dan menyalakannya. “Di sini kamu mesti hati-hati, ya. Soalnya di sini lebih rawan maling.”
“Ayo, mulai!” potong Do setelah mengocok dan membagikan kartu.
Mereka pun fokus menata kartu. Permainan demi permainan pun berlalu begitu saja.
“Kocok terus sampe lecet,” ejek To pada Do sambil meregangkan tangannya. “Bosen ah arelehan.”
“Bukan gitu, Pak Toto,” timpal Do. “Ini gara-gara Go. Coba Bapak duduk di sini.”
“Ah, alesan mulu!” timpal Go tidak terima.
Do, To, dan Go saling menjatuhkan mental satu sama lain. Sod hanya diam mencari aman.
Permainan pun terus berlanjut. Masing-masing memaksakan terus bermain untuk mempertahankan harga dirinya agar tidak disebut pecundang. Namun, di tengah-tengah permainan, Do tiba-tiba tertawa seakan baru saja mendengar lelucon terbaik selama hidupnya.
Ketegangan dalam permainan pecah begitu saja saat Do melontarkan pertanyaan. “Di lomba tarik tambang, siapa yang gak boleh ikut lomba?”
Sambil melihat kartu agar permainan tetap berlangsung, mereka mencoba menjawab pertanyaan itu.
“Almarhum,” jawab To.
“Almarhum kok ikut lomba?” timpal Do sambil tersenyum lebar.
“Persis?” Go mencoba menjawab.
Do tertawa kecil. “Bukan tambang yang itu, Pak Gozi”
“Nyerah? Nyerah?” tanya Do sambil mengangkat kedua alisnya.
Sebelum Do memberi tahu jawabannya, Sod mencoba mengutarakan jawaban yang ada di pikirannya. “Agus Buntung?”
Tak habis pikir dengan jawaban Sod, Pos Ronda akhirnya dipenuhi tawa. “Itu jawabannya?” tanya To.
“Ini lebih lucu sih,” saut Do dengan senyum lebar dan juga anggukan kepala.
“Iya lagi. Iya lagi,” jawab Go dengan tangan kanan menutupi tawanya.
“Emang jawabannya apa, Pak Dobleh?”
Semua memperhatikan Do.
“Yang gak boleh ikut lomba tarik tambang itu orang jelek,” katanya sambil menahan tawa.
Semua mengerutkan dahi tanda tak mengerti. “Naha?” tanya Go.
“Karena yang jelek,” jawab Do sambil menahan tawanya yang jelek itu, “tidak menarik.”
“Iya lagi. Iya lagi,” saut Go sepakat dengan tangan kanan menutupi mulutnya.
Do kembali kalah dalam permainan, namun ia berhasil membuat yang lain tak lagi meledek kekalahannya. Sebelum To kembali meledek atas kekalahan yang Do alami, Do melontarkan pertanyaan lagi.
“Nih, nih, saya ada tebakan lagi,” kata Do dengan senyum lebar, “Anak kembar, nih, ya,” senyumnya semakin lebar, “Siapa kakaknya?”
Sambil menunggu jawaban, Do membagikan kartu hingga selesai dan menyusun kartu miliknya. “Gimana?”
To menjawab, “Yang pertama lahir lah!”
Sod dan Go mengangguk sepakat sambil merapikan kartu. Dan Do menggeleng tanda jawaban salah. “Kakaknya yang lahir terakhir.”
Sod, To, dan Go diam seakan mencerna jawaban Do.
Go tak sepakat. “Kenapa yang terakhir?”
Do pun tertawa seakan leluconnya adalah mahakarya
“Nanti kalo kalian punya anak kembar, harus inget, kakaknya itu yang lahir terakhir.” Do diam sejenak membuang kartu gilirannya. “…Karena, kakaknya bantuin adeknya dulu keluar.”
Plak! Suaranya begitu mantap “Poldan!” jelas Do ekspresi kemenangan.