Wangi Semerbak Gang Nikmat (Bagian III)

Kehilangan orang yang disayangi adalah pukulan terberat.

“Ra, Mak Minati, Ra.”

Deg! Pada momen ini, ada getar yang tak ingin aku rasakan dalam hidup, tapi apa daya, semua manusia pasti mengalami momen seperti ini.

Bianca melepaskan pelukannya. Aku memandangi satu per satu penghuni rumah. Mata mereka sembab. Kanzan berdiri di sampingku. Tanganku meraih tangannya, memegangnya erat. Aku kemudian menatap matanya, dan tak terasa air mataku jatuh. Kanzan memelukku, lalu memapahku menuju kamar Mak.

Kami berdua kini berada di kamar Mak. Sosok yang tabah dan periang itu kini tertidur pulas untuk selamanya.

“Ra, aku keluar, iya.”

Kupegang tangan Kanzan—isyarat bahwa ia harus di sini menemaniku dan Mak. Barulah di sini aku tidak bisa membendung air mataku. Aku menangis sejadi-jadinya. Tidak ada satu kata pun yang aku ucapkan. Hanya tangis saja.

“Kita harus memandikan Mak sekarang, Ra. Temanmu tadi bilang tempat pemandiannya sudah siap. Baiknya kalian, penghuni rumah, semuanya ikut memandikan jenazah Mak.”

Aku mengikuti saran Kanzan agar ikut serta memandikan jenazah Mak. Walau berat, aku tetap melakukannya.

Setelah semua prosesi dilakukan, Mak tidak langsung dikebumikan. Mengingat jarak tempuh ke Tempat Pemakaman Umum yang lumayan jauh, barulah besok pagi Mak akan dikebumikan.

“Sesuai janji Lyra pada Mak, malam ini Lyra temani Mak tidur di ruang tengah ini, iya?”

Aku meminta Kanzan juga untuk bermalam saja di rumah dan mengikuti prosesi pemakaman Mak esok pagi. Kanzan mengiyakan. Sepanjang malam, aku tidak tidur, begitu juga dengan Kanzan. Ia menemaniku sambil terus-menerus membacakan Surah Yasin di depan jasad Mak.


Seluruh penghuni rumah berkumpul untuk bersiap menuju TPU. Aku teringat pesan yang Mak pernah sampaikan padaku.

“Tolong kau sampaikan pada orang-orang yang ikut mengantarku ke tempat pemakaman dan juga orang-orang yang mengiringi jenazahku. Ketika mereka mengangkat jenazahku, ucapkanlah dari lisan mereka bahwa aku perempuan baik-baik, penyayang kaum terpinggirkan, dan orang yang selalu berderma.”

Aku sampaikan pesan tersebut ke seluruh penghuni rumah dan Kanzan, juga pada orang-orang yang mengangkat jenazah Mak. Semua orang kaget, tapi juga tidak menolaknya. Mereka semua melakukan apa yang Mak inginkan.

Semua pengiring jenazah sudah meninggalkan tempat pemakaman umum, tapi tidak dengan kami berdua. Kanzan memintaku untuk tinggal lebih lama di pusara Mak. Katanya, kami harus menemani Mak terlebih dulu dan ada sesuatu yang ingin ia tanyakan padaku.

“Baru kali ini aku mengiringi prosesi pemakaman ketika jenazah diangkut dengan keranda tidak diiringi dengan kalimat ‘Laa ilaaha illallah,’ tapi dengan kalimat ‘Mak orang baik’. Aku juga heran, semua pengantar yang ikut tidak ada satu pun yang tidak mengucapkannya. Amalan apa, Ra, yang sudah Mak lakukan selama hidupnya?”

“Sejujurnya aku tidak paham arah pertanyaanmu. Dan aku tidak pernah tahu sepenuhnya apa yang Mak lakukan selama hidupnya. Iya, betul memang Mak seorang germo—maaf, bukan itu. Kami menyebut Mak sebagai seorang Ibu. Ibu yang membimbing dan merawat kami. Sepengetahuanku, empat tahun lebih Mak sudah tidak pernah lagi melayani hubungan badan.”

“Ia juga pernah mengatakan padaku: Lyra, maafkan Mak sudah menerima dan mempekerjakanmu sebagai pelacur, tapi apa daya Mak tidak punya kekuatan untuk mengubahmu kembali. Mak hanya berdoa semoga suatu saat kamu tidak di jalan ini lagi. Dan Mak berdoa semoga ada seorang lelaki yang menerima masa lalumu, baik buruknya.”

“Sepengetahuanku, Mak membiayai sekolah anak-anak Gang Nikmat ini, Zan. Ia mengatakan padaku bahwa pendidikan itu penting, agar rantai ini putus di generasi depan. Hanya cukup pada generasi ibu-ibunya saja.”

“Selebihnya, aku tidak tahu apa yang Mak lakukan, tapi aku berani bersaksi bahwa Mak orang baik.”

“Lyra, di hadapanmu dan di hadapan pusara Mak, aku juga bersaksi bahwa Mak adalah orang baik.”

Aku tersentak mendengar apa yang barusan Kanzan ucapkan. Bagiku, Kanzan orang luar. Tapi, mengapa ia juga ikut-ikutan bersaksi bahwa Mak juga orang baik?

“Kamu sadar apa yang kamu katakan tadi, Zan?”

“Sepenuhnya, Ra. Aku sadar sepenuhnya.”

“Terima kasih iya, Zan. Kamu sudah mau mengantarkan Mak ke tempat peristirahatannya yang terakhir.”

“Iya, Ra. Sama-sama. Iya sudah, kita pulang, yuk.”

Aku sadar betul, kehilangan orang yang disayangi itu pukulan terberat. Tapi bukankah kita juga kelak akan meninggalkan orang yang kita sayangi? Meninggalkan dan ditinggalkan itu hal yang wajar dalam hidup.

“Mak, selamat jalan. Selamat beristirahat dalam keabadian.”

Dalam perjalanan menuju tempat parkir, Kanzan berucap,

“Ra, kamu sadar nggak, jenazah Mak wangi banget. Sampai sekarang juga aku masih mencium bau melati, loh.”

Aku menatap matanya sambil tersenyum, begitu juga dengan Kanzan.

Suka warna hijau. Aktor di teater Samana. 

Related Post

No comments

Leave a Comment