The Witch: Cerita rakyat Amerika tentang Penyihir
Dibintangi oleh Anna Taylor Joy dan menjadi film debut bagi sutradara Robert Eggers yang langsung meraih penghargaan kategori penyutradaraan terbaik di Sundance Film Festifal, The Witch menyajikan sebuah kisah yang diangkat dari cerita rakyat New England (sebuah wilayah di Amerika Serikat bagian timur laut) pada sekitar tahun 1600-an.
Film diawali dengan adegan sidang di suatu ruangan ketika William memimpin keluarganya untuk protes karena memiliki pandangan yang berbeda dengan para pemimpin gereja di sana. Dengan level keangkuhan yang sangat tinggi, William mengecap bahwa selain keluarganya mereka semua adalah penganut ajaran kristen yang sesat. Dalam film tak dijelaskan apa yang bikin William sekeluarga dan otoritas gereja pecah kongsi, namun yang pasti kita semua tahu bahwa hal yang bersangkutan dengan agama begitu sensitif bagi sebagian orang. Terutama karena desa ini dibangun oleh para pendatang yang terdiri dari komunitas Kristen Puritan. Hasil dari sidang itu adalah keluarga William mesti segera keluar dari desa tersebut.
Keluarga yang sangat religius ini kemudian berpindah ke samping hutan jauh dari desa dan membangun rumah, ladang jagung, beternak ayam dan kambing untuk memenuhi kebutuhan pangan. Keluarga ini terdiri dari 7 anggota: William dan Kate sebagai orang tua, Thomasin anak sulung, Caleb anak kedua, dua bocah kembar Jonas-Mercy dan terakhir si bayi Samuel (sekitar 7 bulanan).
Sebagai film horor, The Witch tidak mengandalkan jumpscare sebagai senjata utama untuk menakuti penontonnya. Sutradara Robert Eggers menawarkan horor atmosferik lewat hutan yang sunyi, music yang mengganggu, domba dan kelinci yang gelisah, gagak yang bawel dan adegan-adegan yang tak disangka. Juga alur yang lambat, yang untungnya tidak jatuh pada kejenuhan adegan. Itu terjadi sebab Robert Eggers piawai dalam menjalin adegan-adegan yang menarik. Hanya butuh tujuh menit pertama untuk membuat penonton ikut khawatir ketika si bayi Samuel hilang di depan mata Thomasin yang mengajaknya main ciluk-ba di pinggir hutan.
Setelah insiden hilangnya si bayi Samuel, keluarga ini jatuh pada kesedihan (kecuali si kembar Jonas – Mercy) terutama Thomasin yang merasa sangat bersalah dan pekerjaannya semakin menumpuk sebab ibunya terus meringkuk di kasur meratapi bayinya yang hilang.
Dan William si pemimpin keluarga yang sedari awal film terlihat begitu angkuh ternyata tak lebih hanyalah pria payah yang Cuma becus memotong kayu. Ia tak punyai kemampuan survival yang cukup untuk bertahan tanpa pertolongan orang lain: hasil panen jagungnya buruk, gagal menembak kelinci dan malah melukai diri sendiri, menjual cawat perak istrinya diam-diam, dan tak bisa mengurusi keluarganya.
Ditimpa kesedihan dan ekonomi yang memburuk membuat keluarga ini perlahan mulai berantakan, keimanan merekapun mulai goyah. Jujur saja ketika melihat keluarga ini semakin hancur saya jadi teringat pada quote Albert Camus yang berbunyi: Salah satu bentuk keangkuhan spiritual adalah merasa mampu hidup tanpa uang.
Keangkuhan spiritual, mengutip tulisan Agung Ngurah seorang hindu yang aktif menulis di blognya Padurasana: Keangkuhan spiritual bukan hanya bersifat destruktif bagi yang mengidapnya, namun juga bisa sangat destruktif bagi orang-orang dan mahluk di sekitarnya. Begitulah yang dialami keluarga ini. Kekalutan akibat kurangnya makanan, kesedihan yang eskalasinya terus meningkat membuat keluarga ini sering cekcok. Yang paling menggetirkan hati adalah ketika Thomasin mulai dituduh sebagai penyihir, ini lah bagian yang enggan saya ceritakan dan harus ditonton pembaca sendiri.
Pada akhir film penonton akan diperlihatkan jalan hidup yang dipilih Thomasin, jalan hidup yang membuat Thomasin memunculkan senyumnya yang paling lebar (bahkan tertawa) di sepanjang 88 menit film berlangsung.