Breakfast at Tiffany’s: Dear Hollywood, Berhenti Ngerusak Cerita Epic!

Arini

Sekali lagi, orang bodoh mana yang menghanguskan tiket liburan ke LN hanya buat ciuman sama laki-laki di bawah hujan?! Argh!

Saya selalu berkali-kali jatuh cinta pada hal yang sama. Film, buku, lagu, apapun sama saja. Itu sebabnya saya kadang gak update sama those things. Saya selalu enjoy membaca buku yang sama, mendengar lagu yang itu-itu aja, menonton film puluhan kali, atau mencintaimu sekali lagi~

Holly Golightly, yang namanya catchy banget ini merupakan karakter utama dari buku Breakfast at Tiffany’s karya Truman Capote. Novel romance (yang gak romance-romance amat) yang akhirnya diekranisasi ke sebuah film dan berhasil meraih penghargaan Oscar untuk kategori Best Music dan Original Song, dapat juga Grammy kategori Record of The Year.

Kisah akan berfokus pada Holly (Audrey Hepburn), seorang pelacur yang berteman baik dengan Paul Varjak (George Peppard). Paul, pria simpanan sekaligus penulis medioker yang gak terkenal, miskin, dan cukup bodoh buat memahami dunia.

Entah, saya rasa Paul Varjak tipe karakter anak sekolahan yang juara terus tapi ansos. Berpikir bahwa dunia akan lurus saja, optimistis, sekaligus goblok. Sedangkan Holly, tentu saja sudah lebih dulu melanglang buana sebagai pemain cinta dan pemenang kehidupan.

Sejak usia 14 tahun, ia menikah dengan juragan kuda di desanya. Memiliki banyak anak tiri yang bahkan beberapa lebih tua umurnya. Lalu satu waktu, ia pergi saja lalu bertualang keliling kota, melintasi negara, dan jadilah si cantik Holly Golightly. Pengantar pesan bos narkoba sekaligus pelacur kelas eksekutif.

Ya sebetulnya itu-itu saja cerita di buku dan di filmnya. Kisah Holly yang ketangkep polisi karena jadi messenger bos narkoba, gagal menikah dengan anak menak, tapi tetap pergi ke Rio karena sayang aja tiketnya cenah meskipun ia masih gak boleh ninggalin New York karena harus lapor 1×24 jam itu.

https://id.pinterest.com/pin/492649953225781/

Babak pertama dibuka dengan sebuah adegan Holly berjalan pagi-pagi, dengan gaun hitamnya yang menggelegar ala-ala Syahrini, menggenggam sebuah roti dan kopi, lalu berhenti di depan etalase perhiasan bernama Tiffany and Co.

Kemudian dengan busana yang terlalu ribet cuma untuk jajan roti di pinggir jalan, Holly aktif saja mengunyah dan tidak membiarkan seseorang pun mengganggu ritualnya itu.

Saya lalu membayangkan kalau saja tahun 2000an saya sudah dewasa, mungkin saya akan melakukan hal yang sama di Jalan Tuparev. Menggunakan baju-baju princess saya, membeli roti di Famansa Cake atau Roti Dewi, lalu berdiam diri di depan toko emas Cemerlang.

Lalu sebagai Holly dengan kearifan lokal, setelah rotinya habis, saya akan masuk ke Alun-Alun dan duduk di sana. Alun-Alun tempo dulu yang gak usah lepas alas kaki, ya. Merokok di sana sambil menunggu malam. Sebab begitu lah karakter Holly.

Seorang pelacur kelas atas yang hidup semaunya, sesukanya, seyogyanya. Kalau ada yang benci, siapa peduli? Omongan orang masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Semua dilakukan Holly dengan bebas dan merdeka.

Holly menyukai uang, dan dia tahu betul cara memaksimalkan tubuhnya untuk uang. Saya rasa, Holly juga sebetulnya berpura-pura bodoh saja. Kalau ia benar-benar suka uang, harusnya ia sudah jadi Holly yang suka mengelabui bos-bos tajir itu. Tapi ia paham kalau berhubungan baik dengan orang-orang semacam itu justru akan lebih baik karena once dia kesangkut masalah, akan dengan mudahlah dia keluar dari jerat itu. Wah, integritasnya bagus sekali.

FYI, saya itu terlebih dahulu nonton filmnya daripada baca bukunya. Di sini saya merasa Tuhan sangat sayang sama saya. Terdapat dua perbedaan krusial antara buku dan filmnya.

Di buku, setelah ditangkap dan kembali dilepas kepolisian dengan syarat, Holly terus melanjutkan hidupnya dan memilih terbang ke Rio (tempatnya menikah). Alasannya? Sayang aja tiketnya. Well! So Holly! Di buku, kucing peliharaannya pun dilepaskan dan Holly benar-benar pergi meskipun Paul bilang fafifu soal cinta. Jauh lebih masuk akal untuk karakter Holly ketimbang Holly tersentuh dengan kata-kata Paul lalu melepaskan tiket ke Rio itu, lalu mereka berciuman di bawah hujan, yang kalau saya sih, geus lah ciuman mah bisa ngke deui. Jalan-jalan kan lebih menarik.

Lagipula, sebagai seorang pelacur professional, jalan-jalan fancy lebih menggiurkan daripada ciuman di bawah hujan ala-ala Hollywood. Akhir dengan mentalitas Hollywood: semua masalah bisa selesai dengan ciuman, berakhir bersama, dan barulah bisa bahagia.

Padahal karakter utama di Breakfast at Tiffany’s ini bukan perempuan yang nunggu diselamatkan. Holly lebih mirip angin malam di Purwakarta: kumaha aing, random, dan gak bisa dipaksa diam.

Ia tetap memilih jalan sendiri—selayaknya Holly yang bikin kita teriak: Holy, Holly! Apalagi dengan kecintaannya sama uang, argh! Untuk apalah dia luluh dengan Paul Varjak hanya karena dikhotbah cinta.

Kenapa Hollywood selalu kompromis sama hal-hal begini?! Katakanlah A Walk to Remember, atau The Notebook. Di dunia ini, ada berapa banyak pasangan yang meninggalnya damai bareng, sih?! Gak realistis dan terlalu ngadi-ngadi romansa, deh.

Atau ada lagi Little Women. Di bukunya, Louisa May Alcott gak menikahkan Jo dengan siapa-siapa. Jo dibiarkan hidup bebas, menulis, dan menjadi dirinya sendiri. Tapi di film, penonton diiming-imingi harapan bahwa mungkin Jo bertemu dengan seseorang yang ngerti cara mencintai tanpa mengurungnya. Wk. Basi.

Saya lalu membayangkan Holly yang asli lagi geli melihat cerita-cerita perempuan terus dinegosiasikan. Penulis dan sutradaranya yang laki-laki itu tentu saja gak punya sudut pandang perempuan diantara pilihan: kebebasan dan cinta, kesepian dan keramaian, menjadi diri sendiri atau menerima pelukan orang lain. Padahal mah,

Nya mendingan jalan-jalan lah tipada bobogohan ayeuna keneh mah.

Sebab kenyataannya, mungkin kita memang butuh sedikit ditampar kalau orang-orang seperti Holly tuh memang ada, loh. In case kita ketemu satu diantaranya aja, kan. Jadi gak patah hati-patah hati banget.

https://id.pinterest.com/pin/281543723642155/

Kemudian sekali lagi, orang bodoh mana yang menghanguskan tiket liburan ke LN hanya buat ciuman sama laki-laki di bawah hujan?! Argh!

Saya sendiri sebetulnya gak keberatan dengan ending film yang berbeda itu, kalau misalkan bukan dari buku favorit saya. Hehe. Tapi ya, bisa lah saya menikmatinya berkali-kali, dengan tidak menontonnya sampai habis.

Ya siapa sih yang tidak ingin percaya bahwa suatu hari, seseorang akan tetap mengejar kita di tengah hujan, memeluk kita erat meskipun kita kacau dan sulit diatur? Tapi kan keur teu hujan ge teu diudag!

Mungkin satu-satunya prestasi Hollywood dalam film ini adalah dengan menjadikan Audrey Hepburn sebagai pemeran utama. Saya baca-baca di akhir bukunya yang versi terbaru, Capote tuh sebenernya ingin Marylin Monroe. Cuman, saya rasa Audrey adalah sosok yang pas banget. Entah, aura Marylin somehow terlalu metropolitan, dan postur tubuh Audrey Hepburn lebih mumpuni sebagai buron dari kampung yang kebanyakan menghisap tembakau dan kopi. Problematik tapi tetap cantik.

Kalau Breakfast at Tiffany’s versi saya, mungkin akhirnya akan menjadi seperti ini: karena pusing mendengar khotbah cinta Paul yang bikin dia terlambat ke bandara dan tiket liburannya hangus sia-sia, Holly hujan-hujanan dan neduh ke warkop, memesan Indomie, minum kopi lalu merokok santai. Setelah itu dia pulang, lalu mencari calo untuk melamar kerja dengan sisa-sisa uangnya mungkin, apapun itu yang umum dan normal seperti masyarakat umumnya.

Dan seperti Holly, kita semua akan terus menjalani semuanya—mencintai, ditinggalkan, lari lagi, jatuh cinta lagi, ilfeel, lalu cinta lagi. Begitu saja.

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 3, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). Buku ke-empat proses diterbitkan. Suka pamer dan suka bikin pameran.

Related Post

No comments

Leave a Comment