Bagus Mazasupa dan Upaya Merawat Memori Kolektif lewat Musik

Minpang

Menelusuri keheningan dan ingatan bersama Bagus Mazasupa.

Profil Singkat

Bagus Mazasupa mulai menulis lagu sejak bangku SMP pada 1994, jauh sebelum memandang musik sebagai profesi. Lahir di keluarga yang bukan berlatar musisi—meski sang paman di pihak ibu adalah pemain musik—ia justru menangkap getaran pertama dari radio dan kaset lokal seperti Ebiet G. Ade, Grace Simon, Gesang, serta pop Indonesia zaman itu.

Rasa ingin tahu dan kegembiraan itu semakin tumbuh di bangku SMA ketika ia berkenalan dengan piano akustik dan berani tampil di lomba musik meski tanpa gelar juara. Ketekunan ini kemudian membawanya diterima di ISI Musik Yogyakarta pada 1999, meski sebelumnya sempat ditolak, tetapi dengan ketekunan belajar, akhirnya bisa tembus juga.

Perjalanan musikal Bagus Mazasupa diperkaya oleh beragam mentor: Margo Sujono Hadi yang membangkitkan kecintaannya pada penciptaan lagu, Joko Setyono yang membukakan cakrawala pada formula musik Barat, dan beberapa pianis Belanda melalui master class yang menekankan pentingnya sikap serta disiplin sebagai fondasi berkarya. Dari tiap guru, ia meramu referensi baru hingga mampu membentuk karakter musiknya sendiri.

Keberanian menjajal berbagai genre membuat Bagus Mazasupa terlibat dalam proyek seperti Sirkus Barock— yang empat albumnya membawa ia keliling Indonesia hingga pentas di Amsterdam—kemudian Bulan Jingga, yang bermula sebagai pentas solo namun berkembang menjadi album kolaboratif, serta BAGAVA yang menjadi penyeimbang antara karya solo piano yang melankolis dan nuansa rock 90-an.

Setiap proyek, ia tekuni demi menyalurkan hasrat menulis dan berekspresi, walau memerlukan keluwesan membagi fokus serta merajut mood antar kegiatan.

Bagi Bagus Mazasupa, musik bukan hanya penyaluran emosi, tapi juga upaya merawat ingatan kolektif, seperti yang diajarkan mentornya. Upaya ini bisa dilihat dari lagunya yang berjudul “Sandekala” yang berkisah tentang pengalaman petani Kaliaget pulang ke rumah setelah bekerja yang terasa lepas.Tantangan terbesar baginya adalah mengukur kepuasan diri—menemukan titik keseimbangan antara rasa puas dan kebutuhan merilis karya.

Tantangan terbesar bermusik baginya adalah mengukur kepuasan diri—menemukan titik keseimbangan antara rasa puas dan kebutuhan merilis karya.

Mari simak wawancara Nyimpang dengan Bagus Mazasupa untuk memahami perjalanannya sebagai komposer sekaligus musisi di bawah ini:

Dari latar belakang Bagus Mazasupa, terlihat mulai menulis lagu sejak 1994. Apa yang memicu ketertarikan awal Bagus Mazasupa pada musik, dan siapa tokoh yang paling berpengaruh dalam perjalanan karier musik Bagus Mazasupa?

Tahun 1994 itu bisa dibilang belum profesional, masih embrio gitu, Mas. Masih SMP, iya senang musik karena memang bukan dari keluarga musisi. Pengaruhnya saya dapat dari media seperti radio, tapi playlist-nya masih terpengaruh orang tua. Musik lokalnya kayak keroncong Pak Gesang, kaset Grace Simon, Ebiet G. Ade, tapi juga dengerin pop Indonesia seperti Ari Wibowo, Vicky Vendy, dan Tomy J. Pisa.

Kebetulan orang tua saya dua-duanya nggak main musik, tapi dari pihak ibu, om saya berasal dari kalangan musisi. Di situ kemudian, saya sedikit mendapat pengaruh. Lalu saya mulai agak serius belajar musik saat SMA, mulai kenal piano yang memukul senar—bukan elektrik. Ikut lomba musik, meski nggak pernah menang. Lalu ikut ISI Musik Yogyakarta, awalnya nggak langsung keterima. Saya lebih minat ke musik klasik. Belajar, dites, dan akhirnya diterima tahun 1999. Tapi, sampai semester enam saya nggak ikut ujian karena fokus kerja.

Saya manfaatkan waktu yang lama itu untuk membentuk jaringan, ketemu banyak orang, dan  bergabung di band seperti Sirkus Barock, yang di mana saya bergabung di tahun 2006.

Bagus Mazasupa belajar dari banyak mentor, seperti Margo Sujono Hadi, Joko Setyono, hingga pianis dari Belanda. Bagaimana pengalaman belajar dengan mereka membentuk identitas musikal Bagus Mazasupa?

Setiap guru punya sumbangsih, terutama dari segi referensi musik. Mereka sedikit banyak mempengaruhi kualitas musik saya. Pak Margo, misalnya, seorang pencipta lagu. Saya jadi terinspirasi untuk mulai menulis lagu di tahun 1994. Kalau nggak ada beliau, mungkin saya nggak akan terpicu.

Kemudian Joko Setyono memberi saya referensi musik Barat. Saya jadi dapat formula-formulanya. Sedangkan untuk pianis dari Belanda, itu sebuah keberuntungan. Waktu itu, ISI bekerja sama dengan NGO dan kedutaan, termasuk Belanda. Mereka mengadakan master class di Jogja, dan saya ikut di situ. Itu sangat mempengaruhi selera saya, memperluas referensi, dan memperkaya racikan musik saya.

Pianis-pianis Belanda dan beberapa musisi Eropa itu mengajarkan saya untuk tidak terlalu menekankan teknik, tapi lebih ke fondasi sikap. Sikap sebagai musisi—bagaimana memperlakukan diri sendiri: dengan disiplin yang tidak bisa ditawar.

Kalau kita punya bakat, tapi tidak tahu bagaimana mengasahnya, itu seperti punya panci bagus tapi nggak bisa masak, begitu menurut para pengajar dari Belanda. Saya juga pernah menjadi kru musik di samping jadi pianis, dan itu dikritik oleh pianis Belanda tersebut. Alasannya karena mengganggu kelenturan jari dan juga saya jadi tidak bisa fokus mencurahkan perhatian saya pada musik. Maka saya kurangi, tanpa menghilangkannya.

Bagus Mazasupa terlibat dalam berbagai proyek musik, mulai dari Sirkus Barock, Bulan Jingga, hingga BAGAVA. Apa yang membuat Bagus Mazasupa tertarik mengeksplorasi genre yang berbeda-beda, dari musik teater hingga rock?

Waktu di Sirkus Barock, saya masih usia 20-an. Saya nggak mau menolak hal-hal baru, jadi saya manfaatkan ajakan dari Sawung Jabo untuk bergabung di Sirkus Barock. Kami sempat menggarap empat album. Saya tertarik karena bisa eksplor banyak hal, temannya banyak, belajar hal baru, dari musik etnis Nusantara hingga musik dunia. Kesempatannya juga banyak, bisa keliling Indonesia, sampai ke Amsterdam tahun 2015.

Bulan Jingga awalnya proyek solo saya. Saya bikin pentas dengan tiga karya musik. Tapi teman-teman Bulan Jingga antusias, mereka menyetor lagu juga. Akhirnya tujuh lagu itu dijadikan album pada 2014, dan album kedua rilis 2015.

Sementara BAGAVA itu baru, belum sampai dua tahun. Proyek ini semacam balancing. Saya juga punya proyek solo piano yang notabene sepi, melancholy, dan solitude. Lalu ada juga yang lebih psychedelic. Saya merasa proses dengan Band ini sebagai penyeimbang. Meski begitu, saya jadi agak kesulitan membagi fokus dan mood antar proyek.

Tapi, semua ini memberikan kepuasan batin tersendiri. Saya merasa sedang menuangkan dan mengekspresikan diri lewat proyek-proyek ini.

Piano dan keyboard menjadi instrumen utama Bagus Mazasupa. Apa alasan khusus di balik pilihan instrumen tersebut?

Saya sebenarnya tidak terlalu memilih piano. Perjalanan yang membentuk saya ke sana. Awalnya saya main gitar, lalu drum saat SMP. Bahkan sebelum itu saya sempat nyanyi. Main gitar saat SMA, lalu secara kebetulan main piano. Semua mengalir saja.

Saya ingin bisa main gitar juga. Idola saya Pat Metheny, seorang jazzer Amerika dan musisi otodidak. Itu berpengaruh besar buat saya, dari sisi genre dan gaya solo. Saya pernah mengimitasi gaya dia, bukan plek ketiplek, tapi ada gaya tertentu yang saya suka dan saya pindahkan ke piano. Dari lagu gitar, saya alihwahanakan ke piano. Itu membuat karakter musik saya jadi berbeda dari pianis lain.

Bagaimana proses kreatif Bagus Mazasupa saat mengomposisi musik untuk proyek seperti teater (misalnya dengan Garin Nugroho dan Rukman Rosadi)?

Kalau dengan Mas Garin, proses kreatifnya selalu berasal dari cerita atau plot dulu. Musisi wajib riset dari segi wacana, lewat buku, musisi lain, dan sebagainya. Di dalam plot itu ada latar waktu, tempat, karakter, dan perjalanan antar babak—semuanya harus kita baca dan pelajari. Dari situ kita bisa tahu alat musik apa yang cocok dengan naskahnya.

Tujuannya adalah mendukung skenario dan kebutuhan pentas. Kalau musisi memaksakan ego artistiknya, malah bisa merusak. Semua harus baca naskah dulu agar paham setting-nya, lalu digarap secara musikal.

Ada perbedaan antara garapan live dan studio. Live performance lebih rumit, apalagi untuk naskah realis. Contohnya saat menggarap proyek realis dengan kelompok teater Saturday Acting Club Rukman Rosadi.

Saya harus membayangkan suara depan, belakang, kanan, kiri—misalnya, rumahnya di pinggir hutan, maka harus ada suara hewan. Kalau ada adegan masak di tungku, harus ada bunyi api yang realistis. Semua harus spesifik. Itu pengalaman yang menyenangkan.

Saya ingin mengajak teman-teman muda untuk terlibat juga, karena ini bidang yang menyenangkan walau tidak semua orang suka. Tapi, ini melatih kesabaran dan membuat ilusi realitas di panggung yang bisa dirasakan penonton.

Bagus Mazasupa disebutkan terlibat dalam Hari Bumi 2025. Bisakah Bagus Mazasupa ceritakan peran atau kontribusi spesifik dalam acara tersebut?

Saya main solo piano dua lagu. Yang pertama berjudul “Exploded Heaven” berisi refleksi saya tentang Bom Bali I. Tempat yang begitu aman dan indah, tiba-tiba meledak. Saya ingin menyampaikan bahwa kekerasan di bumi ini dilakukan hanya karena kepentingan segelintir orang. Mereka yang berperang kebanyakan disuruh oleh orang-orang tertentu itu.

Selain itu, saya juga ingin menyampaikan lewat musik saya, bahwa kita jangan menjadi orang yang reaksioner, mudah dalam merusak alam. Pikirkanlah berkali-kali sebelum menebang pohon.

Lagu kedua berjudul “Sandekala,” dari album Bulan Jingga. Lagu ini tentang aktivitas petani di sawah Kaliaget, menggambarkan momen jam pulang kerja.

Saya ingin orang-orang merasa relate dengan itu: bagaimana suasana pulang kerja setelah bertani itu menyenangkan, terasa lepas, dan menenangkan itu terasa dekat. Ini adalah memori kolektif yang diabadikan lewat lagu. Seperti kata mentor saya, “Musisi adalah pengamat sekaligus perawat memori kolektif.”

Album solo Past baru saja dirilis pada tahun 2024 lalu. Apa konsep atau cerita di balik album ini, dan bagaimana ia berbeda dengan karya-karya sebelumnya seperti bersama Sirkus Barock atau Bulan Jingga?

Pertama, album ini sangat individual, tidak melibatkan pikiran musikal musisi lain. Kedua, justru karya ini terbentuk dari karakter musikal solo saya sebelum saya bermusik di band-band tersebut.

Apa saja makna personal lagu-lagu dalam album Past bagi Bagus Mazasupa?

Ada delapan lagu. Lima di antaranya tentang penolakan cinta, Mas. Hehehe. Sisanya, ada yang tentang refleksi peristiwa Bom Bali I, dan ada juga cerita tentang kesibukan saat menjadi mahasiswa—saking sibuknya sampai tidak bisa mengakomodasi diri sendiri untuk berkarya. Tema paling dominan memang tentang penolakan, tapi ada satu lagu yang bukan, judulnya “Silent Beauty.” Itu karena gadis itu kini sudah menjadi istri saya.

Saya baru merilis album solo ini di umur 44 tahun, tapi saya memegang kutipan ini dengan seimbang, “Tidak ada yang terlambat.” Hati-hati dengan perkataan dan pikiran kita sendiri. Why not, gitu? Nggak ada yang terlambat, kecuali kalau kamu menyerah—maka silakan: rilis saja.

Tantangan terbesar apa yang pernah Bagus Mazasupa hadapi saat memproduksi album Past?

Tantangan terbesarnya lebih ke dalam diri. Apalagi untuk album solo, kita jadi harus mengukur diri sendiri—apakah sudah puas atau belum. Semua musisi mengalami itu.

Tapi ada yang perlu diingat: mungkin hampir setiap seniman pasti pernah bilang, “Tidak ada seni yang selesai.” Saya percaya itu muncul dari tolok ukur yang tidak pernah pasti. Kalau kita terlalu berpegang pada itu, kita tidak akan pernah puas dan karya kita tidak akan pernah dirilis.

Padahal karya harus dirilis ke publik. Kalau tidak menemukan titik itu, ya tidak akan jadi. Tapi di sisi lain, kita juga ingin puas. Nah, tantangannya adalah menyeimbangkan dua hal itu.

Proyek #Musikono menggabungkan konser keliling dengan lecture-recital. Apa tujuan utama dari inisiatif ini menurut Bagus Mazasupa?

Iya, namanya #Musikono, itu artinya “musik ada”. Inisiatifnya berangkat dari fakta bahwa musik tidak selalu terjangkau. Contohnya, kalau mau dengar musik Mozart, harus ke gedung konser, tidak bisa langsung ditonton. Itu salah satunya.

Saya ingin membuka literasi musik di pedesaan, supaya orang-orang desa punya pilihan, Mas. Jadi jangan hanya manut pada media, mereka bisa memilih selera musik kiri-kanan, walaupun musik yang saya bagikan adalah dari selera saya sendiri: jazz, soundtrack film, dan musik klasik. Ini ada supaya musik menjadi bukan sekadar hiburan, tapi juga tempat perenungan. Ia bisa menjadi sesuatu yang inspiratif.

Saya juga tidak setuju dengan konser musik dangdut di ruang publik yang menampilkan penyanyi perempuan berjoget erotis di depan anak-anak. Saya menentang hal itu karena mengobjektifikasi tubuh perempuan dan berbahaya bagi tumbuh kembang anak. Kegelisahan itulah yang mendorong saya membuat alternatif pertunjukan yang ramah anak.

Di setiap implementasi konsernya, penonton mendapat lecture juga—menggabungkan recital dengan lecture.

Bagus Mazasupa aktif di komunitas seni seperti Lambaran dan SAC. Menurut Bagus Mazasupa, bagaimana kolaborasi antar-disiplin (musik, teater, tari) dapat memperkaya industri kreatif Indonesia?

Kalau bicara soal industri kreatif, agak sulit menjawabnya, karena secara frekuensi atau persentase, kegiatan saya tidak terlalu banyak yang langsung berhubungan dengan industri. Saya lebih fokus mengembangkan diri. Sebenarnya pekerjaan rumahnya bukan di kita, tapi di penyokong dan penyelenggara.

Seni apa yang akan dikonsumsi? saya yakin, seni apa saja akan dilahap oleh penikmat. Tapi kalau kita selalu berpikir dari sisi ekonomi, itu nggak bakal maju.

Sebagai musisi berpengalaman, perubahan apa yang Bagus Mazasupa harapkan untuk industri musik tanah air, terutama dalam mendukung musisi independen?

Itu tadi: harus ada penyokong, entah itu produser, promotor, dan lain-lain. Mereka harus memperluas sensor dan jaringan mereka, agar persoalan tidak selalu dikaitkan dengan ekonomi. Saya paham uang itu penting, tapi kalau ada orang yang mampu mendorong hal-hal tersebut, maka bakat-bakat lokal dan nasional kita bisa diwujudkan.

Saya ingin ada lebih banyak kesempatan terbuka, tapi artis lokal juga harus mampu memproduksi karya yang bagus supaya bisa viral—bukan dengan melakukan hal bodoh atau konyol di media sosial.

Semua terbentuk oleh kebiasaan, selera, dan itu di tangan masyarakat sendiri. Kalau mereka tidak terbuka pada literasi, ya akan sulit.

Saya sempat protes saat di #Musikono: “Apakah ada musisi Indonesia yang cukup berpengaruh untuk mengubah selera musik orang Indonesia?” Ini bukan cuma soal individu, tapi juga jaringan, circle, dan sebagainya.

Apa impian atau proyek besar yang ingin Bagus Mazasupa wujudkan dalam 1 tahun ke depan?

Kalau dalam satu tahun saja, saya ingin mewujudkan album berjudul Present. Saya ingin mengadakan pertunjukan sebelum atau sesudah peluncurannya—pertunjukan musik yang tidak hanya didengar tapi juga ditonton secara visual. Lebih ke seni pertunjukan, performing art.

Apa pesan Bagus Mazasupa untuk pembaca Nyimpang?

Yang tadi, Mas. Sebagai kreator—bukan hanya musisi—jangan ragu mempresentasikan karya dalam usia berapa pun, dalam situasi apa pun, selama itu membawa kebaikan. Bring it on, dan just do it.

Dan untuk para penikmat, wujudkanlah kebebasan kalian dalam menikmati karya seni, tanpa pengaruh apa pun—circle, lingkungan, atau apa pun itu.

Minpang di sini~

Related Post

No comments

Leave a Comment