Bersama Totto-Chan, Ayo Kita jadi Orang Tua yang Kalcer!

Arini

Sekolah yang menggunakan gerbong kereta sebagai ruang kelasnya, dekat dengan sawah dan kebun, pelajarannya bebas milih, pokoknya sekolah yang kalcer banget pokoknya!

Suatu hari pada tahun 2016, setelah membaca Dunia Adin yang ditulis Sundea, Dikdik yang pada saat itu mengampu mata kuliah Sastra Anak menugaskan kami untuk membaca sebuah novel terjemahan berjudul Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela.

Saya langsung mencari buku Totto-Chan yang akhirnya saya dapatkan di Gramed BEC. Dengan ongkos Damri yang pada saat itu hanya sekitar Rp6.000 rupiah, saya melanjutkan perjalanan dan pulang ke Jatinangor untuk menghabiskan buku itu.

Seperti sastra anak kanon lainnya, saya terperengah takjub dan mulai menuliskan pengalaman membaca saya untuk dipamerkan kepada Dikdik dan teman-teman saya. Iya, mengumpulkan tugas buat saya waktu itu semacam ajang pameran.

Waktu berlalu, hidup menggerus saya, dan sampai di pertengahan tahun 2023 saya mengadakan pameran kecil-kecilan. Iya, pameran kecil-kecilan pertama saya. A Quarter Century. Saya membuat sebuah lukisan bertajuk Modrey Valley, sebuah lembah yang damai seperti pada film The Sound of Music.

Ketika saya membuat lukisan tersebut, saya memikirkan nama-nama seperti Anne Frank, Gadis Berkerudung Merah dalam Schlindler List, anak-anak di Gaza, si Pangeran Cilik, dan Totto-Chan.

Totto-Chan, sudah lama saya tidak melihatnya, dan 2025 ini, saya kembali bertemu Totto-Chan. Meskipun kali ini dalam bentuk yang lain, namun saya tetap menyukainya.

Oh iya, sedikitpun saya tidak kecewa dengan ekranisasi Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela ini, karena gak banyak ngubah esensinya juga.

Sinopsis Tipis-Tipis

Totto-Chan: The LIttle Girl at The Window mengisahkan kehidupan Tetsuko, alias Totto-Chan. Gadis SD (SD awal banget saya lupa kelas berapa) yang dikeluarkan karena dia sangat aktif di kelas. Di kelas di sekolah biasa sebelumnya itu, Totto-Chan sangat suka memanggil “pengamen” jalanan dari jendela ruang kelasnya sampai semua anak jadi bernyanyi dan melongo semua ke jendela, tentu za gurunya dicuekin.

Totto-Chan memanggil pengamen jalanan dari jendela ruang kelasnya di sekolah lama (bukan Tomoe-Gakuen)

Pokoknya tingkah Totto-Chan sudah membuat si guru-guru di sekolah ini sangat geram, lah. Sampai akhirnya, si Ibu mencari-cari sekolah di pedesaan dan tadaam! Ketemulah Tomoe-Gakuen.

Sekolah yang menggunakan gerbong kereta sebagai ruang kelasnya, dekat dengan sawah dan kebun, pelajarannya bebas milih, pokoknya sekolah yang kalcer banget pokoknya! Mirip-mirip Kaliaget gitu vibesnya.

Totto-Chan memasuki ruang kelas di sekolah barunya, Tomoe-Gakuen

Di sekolah Tomoe, Totto-Chan sangat senang sekali! Sebab kepala sekolahnya pun sangat ngerti dengan anak-anak. Di pertemuan pertama waktu Totto-Chan mendaftar, si Kepsek mendengar dan merespons omongan si Totto-Chan dari jam 8-sampai jam 12 siang. Sebagai orang dewasa, itu adalah waktu yang panjang -kecuali kalau dihabiskan dengan si Sayang. Awokwok.

Tapi tentu saja, sebagai orang yang tulus, si Kepsek mendengarkan Totto-Chan dengan terkesima dan penuh semangat. Keren pokoknya!

Di sana Totto-Chan juga berteman dengan anak-anak yang berasal dari berbagai latar belakang. Ada satu teman kesayangan Totto-Chan, Yasuaki. Penderita polio yang semenjak Totto-Chan hadir, ia jadi lebih berani. Bahkan Yasuaki diajarin naik pohon sama Totto-Chan;’)

Totto-Chan mengajak dan membantu Yasuaki naik ke pohon di area Tomoe-Gakuen

Di buku dan dalam film, Yasuaki tetap meninggal. Saya menangys tapi tetap senang, sebab realitanya, anak-anak memang sering bertemu dengan realita yang menyedihkan. Film ini sangat jauh dari kata mengada-ada, sangat jujur apa adanya, seperti anak-anak saja.

Selebihnya, film ini menceritakan keseharian Totto-Chan di sekolah yang sistem pendidikannya unik ini. Sayang, saat perang berkecamuk, Tomoe-Gakuen dihancurkan bom oleh Sekutu dan film pun berakhir.

Totto-Chan adalah Kita Semua

Totto-Chan: The Little Girl at The Window dirilis pada Desember 2023. Digarap oleh Shinnosuke Yakowa dan sukses menarik hati para pembaca Totto-Chan. Adaptasi yang dilakukan sejauh ini menurut saya sudah sangat mumpuni.

Dengan gaya-gaya animasi Jepang yang sudah gak usah diragukan lagi, film adaptasi ini berhasil bikin saya menangys seperti bukunya. Kalau Para Penyimpang pernah menonton film Taare Zameen Par, ada beberapa bagian dalam film Totto-Chan yang bikin saya teringat sama si Ishaan.

Kalian tahu? pada saat Totto-Chan naik kereta dan melihat ke jendela, ia lalu membayangkan ia berada di suatu tempat. Luar angkasa, kemudian ke dalam laut, berenang atau terbang bersama paus dan ikan-ikan lucu. Begitu pun ketika Ishaan melihat angka dan mengubahnya menjadi pesawat atau planet-planet dalam imajinasinya.

Sangat khas anak-anak, dan mampu membuat kita bernostalgia, -karena kita pernah menjadi anak-anak, dan membuat kita yang mungkin sudah menjadi orang tua yang menyebalkan ini ingat lagi bahwa anak-anak punya daya imajinasi yang luar biasa yang gak boleh kita matikan.

Saya sangat setuju bahwa Totto-Chan adalah kita semua. Kita yang di waktu kecil sering dilarang kalau berlarian ke sana-ke sini, dilarang main tanah, dilarang main ke sawah, sering ditakut-takutin bakal diculik hantu kalau masih suka bermain di atas jam 6 sore, sering ditakut-takutin bakal ditangkap polisi kalau kita gak nurut sama orang tua, dan yang paling parah: takut dimasukkin ke barak sama Dedi Mulyadi. Anjirlah.

Padahal, anak-anak butuh teman untuk bicara karena anak-anak memang suka bicara. Anak-anak gak bisa dilarang berlarian ke sana-ke sini, tapi ya coba saja kamu sebagai orang tua ikuti kami dan cukup jaga kami biar kami gak jatuh.

Scene yang Unik

1. Berenang tanpa Busana

Ada banyak yang ingin saya ceritakan sebetulnya tentang scene yang unik ini. Satu diantaranya adalah ketika memasuki musim panas. Pada satu hari yang terik sekali, pihak Tomoe memutuskan untuk mengisi kolam renang di area sekolah itu.

Kemudian spontan saja anak-anak disuruh berenang.

“Ayo yang mau berenang, sok berenang ya. Soalnya kolamnya lagi diisi.”

Totto-Chan kaget, “Tapi aku gak bawa baju renang Pak Kepsek.”

“Emang kenapa harus pake baju renang?” kata Kepsek.

Begitu Totto-Chan pergi ke kolam renang, ternyata semua anak berenang tanpa baju. Benar-benar scene yang gak akan saya lihat di Indonesia karena masih banyak pedofil berkeliaran dengan bebas, bahkan beberapa diantaranya menjelma guru dan/atau ustas.

Murid-murid di Tomoe-Gakuen berenang pada satu hari di musim panas. Totto-Chan juga mengajak Yasuaki.

2. Kejatuhan Dompet dan Ngubek-Ngubek Septictank

Pada satu hari, ketika Totto-Chan berak di toilet sekolah, Totto-Chan tanpa sengaja menjatuhkan dompetnya sampai kesiram dan hanyut bersama tahi. Lalu Totto-Chan mencari-cari cara untuk mengubek-ngubek septictank.

Totto-Chan mencari dompet diantara tumpukan tahi dari dalam septictank

Kalau itu terjadi di rumah kita, sudah pasti terbayang lah ya. Ya teriakan menggema, ya dicubit, ya dipukul, ya dimarahin karena dompetnya hilang, plus dimarahin karena ngubek-ngubek tahi. Padahal, si anak ini sedang menunjukkan bahwa dia bertanggung jawab pada benda yang dia miliki. Dia mencari, tak peduli itu bau atau apa lah. Padahal, mun budak kotor mah nya tinggal pandian. Amun baju beunang tai mah nya tinggal seuseuh. Kan semudah itu sebetulnya.

Ketika si Kepsek melihat, dia lalu nanya, “Totto-Chan, lagi ngapain?”

Totto-Chan menjawab, “Aku lagi cari dompetku tadi jatuh pas aku lagi di toilet.”

Lalu si Kepsek itu membiarkan Totto-Chan (sambil mengawasi biar gak jatuh ke dalam septictank). Tak lupa, si Kepsek bilang,

“Ya udah nanti kalau udah ketemu balikin lagi (tahinya) ke tempat semula.”

Sudah. Selesai. Teu kudu dicarekan. Teu kudu ngagerewek.

Kepsek Tomoe-Gakuen mengawasi Totto-Chan dan bilang kalau sudah ketemu kembalikan lagi saja ke tempatnya.

Akhirnya, film ini mengajarkan kepada kita bahwa mungkin sebenarnya kita gak siap-siap amat jadi orang tua karena kitanya malas. Kita sibuk sama HP dan bikin story, jadi budak lulumpatan saeutik ge dicaram. Padahal biarkan saja. Anak-anak wajar berlari. Kita membiarkan anak-anak kita menghirup rokok yang berbahaya hanya karena kita gak bisa nahan napsu untuk gak ngerokok. Padahal, kalau napsu untuk gak ngerokok aja kita gak bisa nahan, apalagi napsu yang lain?

Argh! Shame on you para orang tua yang ngerokok atau nge-vape di depan anak-anak! Dengan tegas saya katakan: kalian belum layak menjadi orang tua!

Film ini banyak mengajarkan kepada kita bahwa anak-anak memiliki hak untuk ruang yang aman, ruang yang jauh dari perang, ruang yang jauh dari pedofil dan orang dengan otak-otak mesum, ruang hijau untuk bermain dan bersenang-senang!

Oh iya, funfact. Ini adalah kisah nyata dari penulis bukunya, Tetsuko Kuroyanagi. Saat ini beliau aktif di Unicef, membantu anak-anak korban perang dan daerah konflik.

Good job! Keprok untuk adaptasi film ini. Mari kita menjadi orang tua yang sehat lahir dan batinnya, finansialnya! Mari kita menjadi orang tua yang kalcer dan memahami anak!

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 3, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). Buku ke-empat proses diterbitkan. Suka pamer dan suka bikin pameran.

Related Post

No comments

Leave a Comment