Lingkungan dalam kapitalisme bukanlah entitas suci yang dihormati demi dirinya sendiri. Ia adalah sumber daya: sesuatu yang harus diekstraksi, dikelola, dan jika perlu, direstorasi.
Menangys di Depan Kamera: Retorika Lingkungan DM dalam Gimik Politik

Lingkungan hidup, dalam beberapa dekade terakhir telah menjadi medan naratif yang semakin ramai diperebutkan. Dalam dunia kapitalisme lanjut, wacana krisis ekologis semakin memburuk, kesadaran publik meningkat, dan para aktor politik tidak lagi bisa mengabaikan isu ini.
Sebaliknya, mereka harus menunjukkan, sekurang-kurangnya di permukaan, bahwa mereka peduli, bahwa mereka melakukan sesuatu, bahwa mereka adalah bagian dari solusi. Di sinilah retorika lingkungan menjadi penting dan bukan hanya sebagai ekspresi kepedulian moral, tetapi juga sebagai strategi politik dan ekonomi.
Kang Dedi Mulyadi membaca konteks ini dengan cermat. Ia tampil sebagai sosok yang membela alam: membersihkan sungai, menanam pohon, berbicara tentang harmoni manusia dengan alam sebagaimana nilai-nilai leluhur Sunda mengajarkan. Narasi ini kuat, emosional, dan resonan dengan keprihatinan masyarakat terhadap kerusakan lingkungan yang semakin nyata. Dalam berbagai aksi lapangannya, KDM tampak berjuang untuk membangun kembali relasi manusia dengan alam, mengembalikan keseimbangan yang dirusak oleh industrialisasi dan urbanisasi.
Namun, sebagaimana kritik Marxian mengingatkan kita, penting untuk membedakan antara ekspresi moral individual dengan perubahan struktural material. Lingkungan dalam kapitalisme bukanlah entitas suci yang dihormati demi dirinya sendiri. Ia adalah sumber daya: sesuatu yang harus diekstraksi, dikelola, dan jika perlu, direstorasi. Bukan demi keseimbangan ekologis, tetapi demi kelangsungan reproduksi kapital. Dalam logika ini, peduli pada lingkungan tidak menghapus kapitalisme. Ia justru memperhalus wajahnya, membuatnya tampak lebih manusiawi, lebih lestari, lebih hijau.
Inilah yang disebut banyak kritikus hari ini sebagai greenwashing—proyek-proyek kapitalistik yang eksploitatif dilapisi dengan slogan hijau tipis-tipis: taman kota, program tanam seribu pohon, CSR ramah lingkungan, sertifikasi produk organik, dan seterusnya. Semua ini menciptakan citra perubahan tanpa mengubah struktur produksi dan konsumsi yang menjadi akar kehancuran ekologis.
Dalam konteks ini, aksi-aksi lingkungan KDM harus dibaca dengan hati-hati. Tentu saja, membersihkan sungai atau menanam pohon adalah tindakan yang baik dalam dirinya sendiri. Namun pertanyaannya, sebagaimana Gramsci mengajarkan, adalah:
Bagaimana tindakan-tindakan ini berhubungan dengan struktur kekuasaan dan produksi? Apakah mereka mengganggu logika kapitalistik yang mendasari kerusakan lingkungan? Ataukah mereka justru berfungsi sebagai katup pelepas tekanan, mengalihkan perhatian masyarakat dari akar masalah yang lebih dalam?
Sejauh ini, narasi lingkungan yang dibawa KDM tampak beroperasi dalam logika simbolik. Dengan mengangkat aksi-aksi kecil yang konkret dan emosional, ia membangun rasa bahwa perubahan itu mungkin, bahwa perbaikan itu terjadi, bahwa ada masa depan ekologis yang lebih baik.
Namun yang nyaris tidak pernah dibahas adalah model pembangunan ekonomi saat ini—termasuk ekspansi industri, agribisnis, pertambangan, dan urbanisasi masif—terus memperparah krisis ekologis di level struktural. Tidak ada seruan untuk merevisi logika pertumbuhan tanpa batas yang menjadi jantung kapitalisme. Tidak ada kritik terhadap penguasaan tanah dan sumber daya oleh segelintir elite. Tidak ada proyek radikal untuk membangun ekonomi alternatif berbasis solidaritas ekologis dan produksi berkelanjutan.
Dengan kata lain, yang terjadi adalah estetisasi krisis. Sungai yang dibersihkan, pohon yang ditanam, foto-foto hijau yang disebarkan di media sosial menciptakan narasi bahwa dunia sedang diperbaiki, padahal sistem yang merusaknya tetap berjalan tanpa gangguan berarti. Inilah yang Adorno sebut sebagai the culture industry effect dalam konteks sosial: alih-alih membangkitkan kesadaran kritis, representasi visual ini justru memperdalam pasivitas sosial.
Dalam kacamata industri budaya, lingkungan menjadi komoditas baru: sesuatu yang dapat “dijual” sebagai citra politik, yang meningkatkan daya tarik personal, yang membangun loyalitas publik. Dan dalam kapitalisme kontemporer, loyalitas itu bukan hanya penting untuk elektabilitas politik, tetapi juga untuk menciptakan iklim sosial yang stabil bagi ekspansi modal.
Mungkin ada yang berargumen bahwa perubahan besar harus dimulai dari langkah kecil misalnya satu sungai dibersihkan, satu desa diajak menanam pohon, satu komunitas diajak mencintai alam. Ada benarnya. Tetapi, seperti yang diingatkan oleh banyak ekolog kritis, langkah-langkah kecil itu haruslah terhubung dengan proyek perubahan struktural, bukan menjadi pengganti atau alibi bagi ketidakmauan politik untuk menggugat sistem yang lebih luas. Tanpa hubungan ini, aksi-aksi lokal, seberapapun tulusnya, hanya menjadi bagian dari operasi moral kosmetik yang memperpanjang usia kapitalisme ekologis yang makin destruktif.
Maka, ketika kita menyaksikan aksi-aksi lingkungan KDM, kita harus mempertanyakan:
Di mana letak proyek perubahan strukturalnya? Di mana kritik terhadap industrialisasi tanpa kendali? Di mana pembelaan terhadap komunitas adat yang tanahnya dirampas atas nama pembangunan?
Tanpa itu semua, retorika lingkungan, betapapun memesona, hanya akan menjadi bagian dari mekanisme hegemoni baru. Mekanisme yang membuat rakyat merasa bahwa mereka hidup di dunia yang membaik, padahal dunia itu, dalam kenyataannya, semakin rapuh.
Dalam pembacaan kritis ini, isu lingkungan dalam politik Kang Dedi Mulyadi bukan sesederhana menghijaukan bumi. Isu ini adalah pertarungan ideologis tentang bagaimana kita memahami dunia, tentang apa yang kita anggap mungkin dan layak diperjuangkan. Di satu sisi, retorika ini membuka ruang untuk membangkitkan kesadaran ekologis. Tetapi di sisi lain, ia berisiko besar menjadi anestesi sosial, memperhalus wajah krisis tanpa mengubah mesin yang terus menggiling bumi dan manusianya.
Leave a Comment