The Odd Life of Timothy Green: Kita Upayakan Anak yang Lahir dari Doa itu

Arini

Kenapa kalian berpikir kalian sudah layak jadi orang tua?

The Odd Life of Timothy Green, sebuah film yang sudah lama sekali tidak saya tonton ulang. Mungkin seumur hidup, film ini baru saya tonton 2x dengan kemarin.

Pertama kali saya menonton tentu saja karena membeli VCD-nya di Ucu, tukang kaset khusus VCD/DVD bajakan di depan RS Dewi Sri zaman baheula. Sekitar usia SMP akhir, 2012 mungkin ya. Ya sekitar itu, lah. Sebelumnya saya mau ngomong dulu: Ya Tuhan ampuni dosa saya membeli kaset bajakan.

Kemarin, di tahun 2025 (setelah 13 tahun lamanya), saya kembali nonton ini video lagi. Bukan tanpa sebab, sejak akhir tahun 2022, infertilitas selalu jadi sesuatu yang mengganjal pikiran saya. Film ini saya saksikan ulang ketika saya mau menghadapi rangkaian tes untuk perkembangan penyakit saya dengan niat, apapun yang terjadi, ya sudah.

Kalau saya memang dinyatakan memang tidak bisa memiliki anak, ya sudah. Toh, sejauh ini saya juga belum bisa menanggalkan gelar perokok berat saya. Kalau masih bisa, ya berarti masih ada harapan saya disayang mertua dan punya anak seganteng Nicholas Saputra. Hwek~

Seperti yang sudah-sudah, tentu saja saya memiliki pandangan yang lebih luas dan perasaan yang lebih kompleks ketika menonton ulang suatu film.

Sinopsis

Film ini bercerita tentang pasangan suami istri yang tinggal di sebuah kota kecil yang hijau dan damai. Saya bisa membayangkan daerahnya semacam Pangalengan. Kota kecil yang semua orang saling mengenal dan ya kebanyakan warganya bekerja di sebuah pabrik pensil, produk andalan daerah itu. Jim bekerja sebagai buruh pensil, lalu Cindy bekerja di museum pensil yang ikonik banget di kota kecil tersebut. Pasangan itu bernama Cindy dan Jim Green.

Pada scene awal, Cindy dan Jim mendatangi lembaga adopsi untuk interview. Ya. Di Amerika sana, adopsi adalah hal yang legal dan ribet. Gak ada cerita ngambil anak saudara untuk ‘mancing’ atau sekadar ‘ngurus’ dan ‘ngebiayain’, kalaupun ada ya harus serumit itu ngurusinnya. Sama seperti ngelamar kerja di negeri yang presidennya penjahat HAM itu: harus apply, bikin CV, interview, kemudian probation.

Nah, pasangan ini ceritanya sudah sampai ke tahap wawancara. Mereka ditanya,

“Kenapa kalian berpikir kalian sudah layak jadi orang tua?”

Cindy dan Jim ketika interview di semacam lembaga adopsi

Dari pertanyaan itu, runutlah cerita bahwa selayaknya pasangan suami istri lain, Cindy dan Jim Green ini sering bertengkar. Perkara 10 tahun belum punya anak selalu jadi topik utama pertengkaran mereka. Ya kalau lagi sama-sama waras, berakhir jadi pelukan tangis yang saling support, atau kalau lagi sama-sama rujit ya sudah jadi adu mulut.

Suatu hari, Cindy sudah mulai menyerah. Apalagi ketika dokter yang sudah menangani mereka saja bilang,

“Udah, deh. Gak usah coba lagi.”

Cindy dan Jim ketika dokter yang sudah bertahun-tahun menangani mereka berkata bahwa mereka sebaiknya mulai menerima kenyataan bahwa mereka infertil.

Mabuk lah mereka. Sambil saeutik keleyengan, mereka berkhayal dan menuliskan keinginan mereka tentang, “Bagaimana jadinya ya kalau kita punya anak?”

Mereka menuliskan semua sifat-sifat, karakter, dan ciri-ciri fisik anak tersebut di setiap lembar kertas. Uniknya, pasangan ini menyadari setiap kali mereka memikirkan sesuatu yang terlalu sempurna, mereka bilang,

“Eh, gak deh. Gak usah terlalu sempurna. Biasa aja. Gak usah bisa segalanya, yang jelas dia bakal keren!”

Cindy dan Jim ketika bersama-sama menuliskan khayalannya

Nah, kemudian harapan-harapan akan mereka terhadap anak mereka lantas mereka simpan di sebuah kotak. Lalu dengan keadaan sambil mabok saeutik mah itu, mereka mengubur kotak itu di pekarangan rumah mereka. Lalu dengan gaya ala-ala, muncullah hujan yang menyirami tanah halaman mereka dan boom.

Masih tengah malam, seorang anak muncul memasuki rumah mereka seperti maling. Dengan kondisi badan penuh tanah, anak itu hadir sekonyong-konyong menyebut Ibu dan Ayah.

Seorang anak yang tiba-tiba muncul di rumah Cindy dan Jim

Ya bingung lah Cindy dan Jim ini. Jim langsung menelepon polisi untuk menanyakan kasus anak hilang, lalu Cindy langsung memandikannya sambil nanya-nanya,

“Nama kamu siapa?”

“Kamu kabur dari rumah?”

“Kamu tinggal di mana?”

Tapi anak itu hanya menjawab dengan polos “Namaku Timothy.” dan ya… dia memanggil mereka Ibu dan Ayah.

Sudah tentu kita (atau saya aja) akan menuduh cerita ini gak masuk akal. Tapi The Odd Life of Timothy Green memang gak peduli sama logika aja kayaknya. The Sims pun kalah.

Singkat cerita, kemunculan Timothy dirahasiakan oleh ketiganya, sedangkan Cindy dan Jim lalu bersikap seolah-olah mereka mengadopsi Timothy saja.

Kisah Timothy Green gak muncul sebagai film sci-fi atau kisah misteri, tapi sebagai perumpamaan. Sebagai perasaan. Sebagai alegori tentang kehilangan, tentang keajaiban yang muncul di sela keputusasaan, dan tentang alternatif kita butuhkan.

Ketika saya menonton film ini, rasanya ganjil, lembut, seperti menonton film anak-anak tapi tahu bahwa film ini bukan dibuat untuk anak-anak jujurly. Atau setidaknya, bukan cuma.

Timothy ini buat sebagian penonton mungkin aneh, tapi dia sangat manusia. Dia terlalu jujur, tapi kadang ngumpetin sesuatu. Gak jago dalam semua hal, bahkan payah dalam olahraga, main musik juga sekadar ketrak ketrok kayak orang bangunin sahur, dan selalu jadi pemain cadangan di klub bola sekolahnya, dan yang paling menarik adalah: di pergelangan kakinya tumbuh daun. Betul-betul daun hijau. Seperti semacam pertanda, atau mungkin semacam jam hidup. Kemudian seiring film ini berjalan, daun-daun itu akan mulai gugur, satu per satu.

Timothy dengan inisiatifnya memberikan pelatih air minum. Hal ini ia lakukan juga kepada semua tim sepakbolanya.
Daun-daun yang tumbuh di kaki Timothy

Sebagai penonton, kita pelan-pelan tahu bahwa Timothy tidak akan tinggal selamanya tapi bukan itu pointnya, melainkan hal-hal yang berhasil ia ubah selama hadir di kehidupan Cindy dan Jim.

Tentang Kota Kecil dan Orang-Orangnya

Satu diantara kekuatan film ini adalah latar kota kecilnya, Stanleyville. Semua orang saling kenal, dan semua orang—meski gak dijelasin gamblang—punya beban sendiri. Jim dengan kehidupan pekerjaannya dan bos yang piistigfareun, Kakak Cindy yang selalu jadi anak emas dan selalu manas-manasin Cindy dengan perkembangan anaknya, ada anak perempuan penyendiri yang jadi satu-satunya teman Timothy, dan ya banyak lah.

Timothy, dengan caranya sendiri yang polos dan penuh rasa ingin tahu khas anak-anak, menjalin koneksi dengan semua orang ini. Ia menyembuhkan luka-luka kecil yang gak terlihat dan berhasil membawa kehangatan di tengah perang dingin yang diam-diam menyala.

Kemudian seperti yang mungkin sudah bisa ditebak, ia juga mengubah Cindy dan Jim. Pasangan yang sebelumnya sering bertengkar seperti saya dan si Sayang perkara bawa kucing ke kamar dan/atau nyimpan handuk di kasur jadi belajar tentang sabar, pengorbanan, dan membuka mata saya khususon buat sadar kalau,

Tah, ajig boga budak teh lain saukur selebrasi yeuh aing bisa boga budak,” tapi kan lebih dari itu dan hese eta teh.

Kita yang Selalu Punya Harapan

Film ini emang bukan fairytale ala-ala Disney atau hero Amerikasentris ala-ala Marvel. Timothy datang sebagai anak yang random, ajaib, dan bawa banyak pelajaran hidup. Ia mengubah Cindy dan Jim. Ia membuat keluarga kecil yang cuma berdua ini utuh. Waduw! Tertampar.

Keras tapi hangat., sebab seperti banyak hal dalam hidup, kadang yang datang buat menyembuhkan kita juga diutus kehadirannya untuk sementara za.

Saya jadi teringat satu momen ketika Timothy menyematkan daun-daunnya terus bergumam,

“Kalau ini jatuh semua, aku selesai.”

Saya menangys. Tentu za.

Timothy Green bukan cuma cerita anak yang muncul dari dalam tanah, Timothy tuh lebih kek bentuk harapan yang datang terlambat, yang justru datang tepat saat kita nyaris menyerah. Anjay. Bijak gini istri Nicholas.

Timothy adalah kita—aku, kamu, dan semua yang pernah merasa hidup ini tidak berjalan seperti seharusnya. Perwujudan dari semua cita-cita yang pernah ditanam dalam diam, dalam mabuk, dalam doa-doa yang dirapalkan dengan suara yang tidak lantang. Seperti semua impian yang kita kubur di halaman rumah, berharap alam semesta tahu bahwa kita sudah kehabisan cara.

Timothy Green adalah kita yang muncul dari segala yang tiba-tiba. Bisa jadi kejutan sebelum hari ulang tahun juga, sih.

Kesimpulannya

Di tengah-tengah kebahagiaan saya mendapat kabar bahwa saya telah sembuh dan mampu memiliki anak, saya mendapatkan pesan bahwa anak bukan alat pencapaian. Bukan tender “proyek keluarga bahagia.”

Anak adalah manusia kecil yang punya dunianya sendiri, dan tugas orang tua adalah menjaga dan merawat dunianya.

Saya dapat pesan bahwa menjadi orang tua tuh teu gampang anjrit. Bahwa kalau kamu gak bisa nahan teriak waktu anakmu kotor-kotoran di sawah, mungkin masalahnya bukan di anaknya — tapi kamu aja yang udah terlalu jauh dari tanah dan hoream mandianana.

Mungkin, saat waktunya tiba dan anak saya nanti bertanya,

“Ayah, Ibu, aku boleh jadi random gak?”

Saya tentu akan menjawab, “Boleh banget, Cuy! Dunia ini terlalu biasa kalau semua orangnya sama. Kalau salah juga gakpapa namanya juga manusia, bukan nabi boy!!!!!!

Menulis puisi, prosa, melukis, dan bermusik tipis-tipis. Bukunya sudah 3, As Blue As You (2022), Jayanti (2023), Notes of The Lost Sheep (2024). Buku ke-empat proses diterbitkan. Suka pamer dan suka bikin pameran.

Related Post

No comments

Leave a Comment