TRIGGER WARNING.
Tulisan ini mengandung konten sensitif, bisa jadi beberapa bagian sangat menganggu kenyamanan kamu. Jika kamu merasa gak nyaman membacanya, gakpapa, kok. Kamu bisa berhenti membaca ini dan menenangkan dirimu. Saya cuma ingin kamu tahu, kamu gak sendiri. #MeToo
Tulisan ini saya dedikasikan untuk diri saya, juga untuk semua korban pelecehan dan kekerasan seksual, laki-laki atau perempuan.
Spesial, tulisan ini saya dedikasikan untuk pelaku pelecehan seksual dalam tulisan ini, Raden Iman Saepul. Selamat membaca.
[ Bagian pertama: https://nyimpang.com/saya-memutuskan-untuk-bicara-soal-pelecehan-yang-saya-alami-waktu-itu-bagian-i/ ]
Saya melihat Iman melucuti pakaiannya. Membuka sabuk, celana, dan kemejanya. Cuma tinggal tersisa kaos oblong dan kolor di badannya. Saya mual lihatnya tapi saya gak boleh menunjukkan itu. Pintu dikunci dan saya harus keluar dari kamar itu.
Sambil melipat pakaian yang baru saja dilepasnya, dia bilang,
“Kalau saya itu harus rapi, Rin. Nah, saya di rumah tuh gini. Gak bisa saya lihat sedikit-sedikit berantakan.“
Saya udah gak terlalu peduli dia mau ngomong apa, karena saya langsung jawab,
“Pak, maaf tapi ini berkas buat menunya ketinggalan di kantor, deh.” Saya langsung cari alasan untuk keluar dari kamar itu.
Iman bilang, “Ah, udahlah. Kamu ngapain buka laptop? Simpan dulu aja kerjaan mah. Malam ini kita santai dulu.“
Saya mengambil sebatang rokok., menyulut api dan menghisapnya. Saya panik. Hati saya sakit. Pada kondisi seperti itu, saya cuma ingat saya kerja buat Ayah saya, buat adik saya, buat keluarga saya. Mereka bergantung sama saya. Beras, air, listrik, wifi, tempat tinggal, bensin, sekolah, BPJS, saya yang nanggung. Saya berpikir kenapa saya bisa sampai di kamar hotel itu. Saya berpikir kenapa saya bisa sampai jadi tulang punggung yang harus biayain semua keperluan anggota keluarga saya. Saya pikir kenapa Ayah harus bangkrut, kenapa saya harus bekerja susah-susah dan banyak hal yang saya benci malam itu.
Iman lalu ambil anduk, dia masuk kamar mandi. Saya lihat baik-baik jendelanya. Ternyata bisa dibuka, cuman gak bisa dibuka lebar dan gak cukup buat badan saya. Saya merogoh-rogoh kantung dan semua yang memungkinkan untuk ditaruh kunci sama Si Iman. Gak ada. Saya rasa kuncinya dia bawa ke kamar mandi.
Saya cek hp, Ilman sudah sangat khawatir. Baterai saya tinggal 4%. Saya sangat panik dan saat itu saya bilang ke Ilman.
Man, jangan pernah berhenti telepon gue. Sekalipun gue reject, tetep telepon gue.
Pintu kamar mandi terbuka. Saya kaget dan mash tetap gak boleh kelihatan panik. Saya harus dapetin kunci itu. Saya lalu bilang.
“Udah Pak mandinya?”
“Udah, Rin. Kamu mandi, gih. Ganti baju.“
Saya pun membawa hp saya. Hp pertama yang saya beli dengan gaji pertama “kerja beneran” saya di tahun 2019, iPhone 5S yang layarnya sudah mau copot dan saya ganjal pakai sobekan bungkus rokok. Yang bekerja di restoran itu pasti tahu:) hp yang dalam kondisinya yang serba berkecukupan itu mampu menyelamatkan saya.
Saya juga membawa totebag berisi baju saya (sepulang tanggal 21 Juni yang gak jadi nginap itu, Iman me-whatsapp saya, ‘mengingatkan’ biar saya bawa baju salin. Iya, di malam dan subuhnya dia whatsapp. Saya gak ada alasan untuk gak bawa, menolak dibaweli dan diomeli, dan toh sekali lagi, saya masih positive thinking waktu itu karena saya tahu dia ditekan owner resto untuk segera beresin pekerjaannya, jadi saya juga harus selesaikan pekerjaan saya)
Saya masuk ke kamar mandi. saya cuma menyalakan shower supaya Iman berpikir saya betulan mandi. Waktu itu saya pakai kemeja dan rok, dan saya langsung menggantinya degan celana training dan kaos yang saya bawa di totebag saya. Tujuannya? mempermudah gerak saya kalau-kalau saya harus adu fisik dan saya perlu lari buat kabur.
Di kamar mandi itu, saya juga chat teman kerja saya, Riki. Rumahnya di Purwakarta dan dia keponakan salah satu owner restoran itu. Jadi, saya merasa lebih aman kalau minta jemput dia, pertama karena lokasinya lebih dekat dengan saya (Ilman posisi waktu itu di Cikampek), kedua kalau dia yang jemput, Iman tentu ketangkep basah dan Riki akan jadi saksi kalau-kalau terjadi sesuatu sama saya. Tapi, Riki gak kunjung balas. Lagipula itu sudah jam 11 dan saya pikir, semua orang sudah tidur.
Saya kemudian mondar-mandir, berpikir saya harus gimana lagi? Kemudian, pintu kamar mandi saya diketuk-ketuk. Saya panik lagi. Saya keluar dari kamar mandi dan terlebih dahulu cari casan. Saya memberikan ‘kode’ berupa chat ke Ilman untuk mulai saat itu, telepon saya dan jangan pernah berhenti.
Maka, Ilman terus menelepon saya. Jujur, perasaan saya sangat bingung saat itu. Saya gak tahu saya harus gimana selanjutnya, saya harus apa. Celakanya, baterai hp saya juga sedikit lagi. Malam itu dingin sekali. Lantai hotel buat saya sedingin es batu yang kalau nempel itu malah jadi sakit. Pokoknya yang saya tahu malam itu, saya harus nge-charge hp.
Di hotel itu, colokan cuma 2. Pertama di pojok bawah (dekat standing lamp), kedua, tepat di samping ranjang. Iya, menyeramkan. Saya memutuskan untuk men-charge hp saya di pojok bawah. Saya terus teleponan dengan Ilman meskipun dari kasur, Iman sudah menyuruh-nyuruh saya untuk naik ke kasur. Saya cuma sanggup bertahan duduk di lantai yang dingin itu sekitar 30 menit.
Mana kondisinya, iPhone keramat itu kadang bisa ngecas kadang enggak. Ya pokoknya, masalah hp-hp yang sudah uzur pada umumnya lah. Benar-benar celaka saya.
Lantai sudah sangat dingin, kaki saya kesemutan dan pegal karena saya duduk di lantai yang dingin. Tulang saya linu, belum lagi hati saya gak tenang, pikiran saya ngawang. Saya gak kuat lagi, tulang saya sakit. Hp saya masih 7%, gak banyak bertambah karena mungkin casannya juga sudah jelek. Saya gak ngerti.
Lalu, saya mengambil posisi duduk dengan kaki diselonjorkan di pinggir ranjang sambil masih menelepon Ilman. Iya, saya masih terhubung dengan Ilman. Kami menelepon seolah-olah kami sepasang kekasih. Ilman berprilaku seperti pacar yang superposesif, karena ya itu yang bisa kami berdua lakukan untuk menjaga saya tetap aman dan mengulur waktu.
Ilman juga tentu sudah di jalan, Ilman cuma ingin memastikan saya baik-baik saja dan saya sangat berterima kasih untuk hal itu. Lalu, saat saya berada di posisi itu, Iman tiba-tiba mengunci saya dengan badannya. Posisi dia di kasur, tapi dia tiba-tiba memeluk saya dengan gerakan kakinya mengunci kaki saya. Mulutnya di leher saya, bahkan sampai napasnya dia di leher saya pun terdengar Ilman di seberang telepon sana. Bisa dibayangkan betapa dekat jarak itu. Saya nguat-nguatin hati. Ya tentu. Apalagi yang bisa saya lakukan?
Sekitar 20 menit, dia menggerayangi saya. Meraba payudara saya, mengendus-endus leher saya. Sedangkan di seberang sana, Ilman memacu motornya lebih cepat, dan di dalam hati saya, saya menjerit sejadi-jadinya, mengingat saya harus kuat karena saya adalah tulang punggung keluarga. Saya satu-satunya yang bisa diharapkan keluarga saya untuk sekadar bikin lampu di ruang tengah tetap menyala, air terus mengalir, dan Ayah tetap bisa ke rumah sakit.
Raden Iman terus mengupayakan kesediaan saya buat dia tiduri dengan terus mendekatkan tubuhnya ke tubuh saya. 30 menit berlalu, saya rasa dia sudah capek dan sedikit ngelenyep. Kunci pintu kamar hotel itu tergelincir dari dalam kantung di celana pendeknya ke atas kasur. Saya harus menunggu waktu yang lebih lama lagi buat memastikan dia tertidur dan mengambil kunci itu.
Saya perlahan turun dari kasur, mengambil kunci itu dan membuka pintu. Perlahan. Semua saya lakukan secara perlahan dan rapi. Saya hanya menggenggam ponsel saya. Saya masih bingung ke mana saya harus pergi karena Ilman juga belum sampai.
Saya duduk di lobby hotel itu menahan tangis. Saya chat semua teman-teman saya yang kiranya masih bangun. Nihil.
Saya ketakutan, takut tiba-tiba Iman bangun dan tiba-tiba menarik saya masuk ke dalam kamar lagi. Lobby sangat sepi. Itu sudah tengah malam. Ilman gak kunjung datang dan Raden Iman muncul meneriaki saya,
“ARINI! MASUK KAMU SINI CEPAT KALAU NGGAK SAYA PECAT!!!”
Bersambung