TRIGGER WARNING.
Tulisan ini mengandung konten sensitif, bisa jadi beberapa bagian sangat menganggu kenyamanan kamu. Jika kamu merasa gak nyaman membacanya, gakpapa, kok. Kamu bisa berhenti membaca ini dan menenangkan dirimu. Saya cuma ingin kamu tahu, kamu gak sendiri. #MeToo
Tulisan ini saya dedikasikan untuk diri saya, juga untuk semua korban pelecehan dan kekerasan seksual, laki-laki atau perempuan.
Spesial, tulisan ini saya dedikasikan untuk pelaku pelecehan seksual dalam tulisan ini, Raden Iman Saepul. Selamat membaca.
2021 saya bekerja di sebuah restoran yang pada saat itu masih dalam tahap pembangunan di Purwakarta. Saya bekerja sebagai Supervisor/Assistant Manager di sana. Kejadian ini menimpa saya pada bulan Juni, 2 hari sebelum ulang tahun saya yang ke-23.
21 Juni
Malam itu tim manajemen (saya, manajer, dan seorang kepala dapur) menunggu calon vendor bean bag datang ke restoran untuk survey kebutuhan jenis dan jumlah bean bag yang diperlukan restoran, sekaligus negosiasi.
Saya sudah terbiasa pulang larut malam di Bandung naik kendaraan umum. Maka waktu di Purwakarta, saya gak terlalu khawatir karena saya juga dekat dengan Ilman, teman saya yang bekerja/yang punya kedai perlengkapan naik gunung di Purwakarta. Jadi kalau ada apa-apa, saya kadang minta tolong dia jemput.
Itu sudah jam 9 malam. Urusan dengan vendor sudah selesai, dan saya bersiap-siap pulang, tapi manajer saya menahan saya.
“Menu kan belum selesai.“
“Iya, Pak. Begitu sampai rumah saya selesai-in.”
“Lho, jangan. Owner udah nagih.”
Saya mengambil ponsel saya, berniat untuk melihat jam.
“Udah, kamu selesaikan aja di mess. Malam ini kamu nginep di mess.” [restoran itu memiliki mess di perumahan dekat dengan lokasi restoran untuk tim kitchen, dihuni oleh laki-laki yang rumahnya berada di luar kota]
Pertama, saya mungkin terbiasa bergaul dan nongkrong sampai larut dengan laki-laki seusia saya. Tapi untuk laki-laki yang usianya jauh di atas saya, tentu saja saya gak nyaman. Kedua, Ayah saya sedang sering-seringnya sakit. Sakitnya bukan main-main, sakit jantung. Saya gak bisa ninggalin Ayah saya kalau tengah malam dia butuh sesuatu. Ketiga, saya gak bawa baju ganti dan keempat, saya sudah sangat lelah. Bulak-balik Cikampek-Purwakarta tentu bukan slangkah-dua langkah nyampe. Apalagi saya gak setiap hari bawa motor, dan hari itu juga saya naik angkot.
Saya tahu manajer saya orangnya saklek. Kalau harus selesai saat itu, ya saat itu juga harus selesai. Meskipun saya tentu tahu betul dia banyak lupanya dan tugas saya seringkali menyelesaikan pekerjaan dia yang “lupa-lupa” itu. Akhirnya, saya menawarkan alternatif untuk menginap di rumah Jeje, tim service yang rumahnya tepat berada di samping restoran. Tapi manajer saya menolaknya. Dia keukeuh saya harus menginap di mess. Saya sudah beralasan saya gak bawa baju, tapi dengan gaya so tajirnya, dia bilang gampang baju mah saya beliin. Gak ketinggalan akal, saya langsung whatsapp Ayah saya. Intinya, saya bilang kalau manajer saya telepon untuk minta izin saya harus menginap, jangan dikasih. Saya me-whatsapp Ayah dengan gaya saya yang slengean. Tentu saja supaya Ayah gak khawatir.
Ayah, kalau manajer Neng nelepon suruh nginep buat ngerjain menu atau lembur bilang enggak gitu. Neng teh capek lah meuni teu eureun-eureun gawe teh titatadi teu anggeus-anggeus!
Benar, kan. Saya tahu manajer saya sifatnya seperti itu dan dia langsung telepon Ayah saya (pakai handphone saya). Syukurlah, Ayah saya menunaikan keinginan saya dengan baik. Selain itu, saya juga minta tolong sama Ilman untuk jemput saya di alfamart depan jalan restoran itu. Manajer saya mengantar saya sampai alfamart dengan mobil perusahaan. Sepanjang perjalanan dari restoran sampai ke depan jalan, dia terus mengingatkan saya untuk mengerjakan menu dan besok jangan lupa bawa baju. besok lembur. Begitu sampai di depan alfamart, Ilman sudah nunggu saya di sana. Setelah saya turun dari mobil dan naik motor Ilman, saya langsung bilang ke Ilman,
“Serem anjir manajer gua maksa nyuruh nginep di mess.”
22 Juni
Waktu itu, Purwakarta lagi sering-seringnya diguyur hujan rintik. Beberapa vendor dan pekerjaan yang berkaitan dengan persiapan pembukaan restoran agak terhambat, termasuk penambahan daya listrik yang melelahkannya bukan main. Kami harus memastikan listrik itu tetap menyala dengan kesesuaian jumlah freezer, showcase, dan yang tersulit, mesin kopi “elit” yang memakan daya cukup besar.
Kami pihak manajemen, para barista, dan beberapa tim kitchen turut menunggu instalasi mesin kopi. Tim service sudah kami pulangkan sebab pekerjaannya sudah selesai. Sambil menunggu, saya berada di ruang kantor yang juga masih setengah jadi. Lampunya juga masih mati. Ingat, ya. Hari itu sedang ada penambahan daya, jadi semua aliran listrik terpaksa shutdown. Semalam, saya sudah mengirim usulan menu lengkap dengan deskripsinya. Tapi, manajer saya bilang itu harus direvisi. Jadi, sambil menunggu instalasi dan penambahan, saya merevisi menu pada laptop di ruang kantor. Sudah masuk waktu isya dan gelap sekali di sana.
Manajer saya mengajak saya dan kepala tim dapur untuk makan di luar. Tapi, kepala tim dapur waktu itu menolak. Saya agak kaget karena beliau biasanya hayu-hayu aja. Saya merasa ada gelagat yang aneh, tapi sampai sekarang saya gak mau suudzon. Waktu itu, yang ada di kepala saya adalah manajer saya sudah kongkalikong dengan kepala tim dapur untuk membiarkan saya berduaan dengan manajer saya. Tapi, toh sampai saat ini hal itu gak pernah terbukti, jadi pikiran saya tentu jha gak sahih.
Perasaan saya udah gak enak tapi tentu saya juga gak bisa lagi-lagi suudzon sama manajer saya. Saya diminta untuk membawa tas saya, laptop, dan berkas-berkas pekerjaan. Saya udah sangat gak enak, karena saya pikir dia hanya ngajak makan aja. Tapi kalau hanya ajak makan, kenapa saya harus bawa semua perlengkapan? Akhirnya, saya dengan sengaja meninggalkan se-bundle berkas paling penting di ruang kantor, maksud saya supaya ada alasan balik lagi ke kantor.
Kami naik mobil. Manajer saya awalnya membelokkan mobil ke sebuah cafe di tengah kota Purwakarta. Namun, tahun itu masih zaman Covid dan cafe itu udah gak menerima tamu di atas jam 7 malam. Alhasil, manajer saya keliling-keliling di jalan Purwakarta, (pada saat itu saya belum gitu tahu jalan Purwakarta, jadi saya gak ngeh lokasi yang terlewati itu mana aja).
Saya inisiatif untuk bilang,
“Pak, gak usah di tempat yang mahal-mahal makan mah. Yang penting ada mejanya aja untuk laptop.” (karena fokus saya pada saat itu memang revisi menu, kan.)
Setelah saya bilang gitu, akhirnya manajer saya berhenti di tempat pecel lele. Dia turun terlebih dahulu. Saya turun di mobil. Masih di lawang pintunya, saya nanya, seperti biasa
“Pak, apa aja yang diturunin?” (Biasanya, saya yang selalu bawakan barang-barang dan berkas-berkas ke mana pun. Jadi, malam itu juga saya nanya ke dia. Lagi-lagi, karena fokus saya revisi menu, da di perjalanan juga dia terus mengingatkan saya untuk merampungkan menu)
Manajer saya jawab, “Udah makan dulu weh. Jangan bawa apa-apa.“
Saya berpikir oh yaudah lah nanti meren ngobrolin kerjaannya abis makan. Saya juga lapar, lelah, dan rasanya ingin sejenak gak ngurusin kerjaan. Makan, selesai. Saya berniat ambil laptop ke mobil, lagi-lagi, masih untuk merampungkan menu.
“Pak, Arin mau ambil laptop ke mobil mau nitip apa?” (Saya nanya biar saya gak usah bulak-balik ambilin keperluan dia)
“Ck udah nanti lagi aja menu mah. Sekarang tolong ambilin hp outlet aja di dashboard.“
Perasaan saya gak enak lagi. Saya semakin curiga tapi tetap saya gak boleh kelihatan panik. Itu rules pertama yang saya dapat dari film-film. Saya ambillah handphone itu. Setelah saya duduk lagi di meja tempat pecel lele tadi, manajer saya bilang,
“Tolong kamu download Traveloka. Setelah itu kamu cek hotel terdekat dari sini.“
Semakin gak tenang ya, hati ini. Tapi kalau saya teriak saat itu, apa yang saya dapat? Dia tidak terbukti melakukan pelecehan atau apapun kepada saya dan saya gak bisa gitu aja suudzon sama orang. Saya gak bisa meneriakinya penjahat hanya karena minta tolong sama saya untuk cek hotel terdekat, kan?
Ketemu lah sebuah hotel yang letaknya dekat sekali dengan Situ Buleud. Lalu, saya tunjukkan sama dia,
“Ini, Pak.”
Dia ngangguk sambil bilang, “Nah, sok pilih kamar.”
“Lho, buat apa, Pak?”
“Buat kamu, buat saya.”
“Ngapain?”
“Ya kerja. Kita ngerjain menunya biar nyaman, kamu juga enak, jadi lebih cepet selesainya.”
“Ah enggak, Pak. Saya pulang aja.”
“Lho, kenapa?”
“Enggak, ah.”
“Yaudah.“
Saya tahu, meskipun dalam percakapan itu saya terdengar sangat tegas, tapi di dalam hati saya ada sesuatu yang bergetar seperti gempa bumi. Meruntuhkan kekuatan-kekuatan yang bikin suara saya gemetar pada saat kejadian langsung.
Lalu, saya meninggalkan handphone itu di meja. Akhirnya, saya gak tahu kamar itu dipesan atau enggak. Yang jelas, kejadian selanjutnya adalah kepala tim dapur restoran itu whatsapp ke manajer itu minta untuk dibelikan kaos. Saya bernapas lega pada fase ini, karena itu berarti saya akan kembali ke restoran. Setelah pergi dari pecel lele pun, saya dan manajer melanjutkan perjalanan. Ia parkir di sebuah distro.
Sekali lagi, waktu itu saya belum tahu jalanan di Purwakarta. Purwakarta masih terlalu asing buat saya. Kami berhenti di sebuah distro. Saya merasa lebih tenang, karena pikiran saya tentu saja saya akan pulang ke restoran. Saya juga disuruh milih kaos, saya asal pilih karena pikiran saya ke mana-mana. Selesai, transaksi di kasir. Saya masuk ke mobil, tapi tiba-tiba mobil itu dibelokkan ke sebuah hotel yang berada tepat di dekat belokan hotel itu.
Saking dekatnya, saya gak sadar kalau saya sudah ada di parkiran hotel. Jantung saya rasanya mau copot. Tapi saya gak boleh panik. Itu rules pertamanya. Manajer saya turun dari mobil. Ia masuk ke dalam lobby. Sebelum turun, dia bilang sama saya untuk tunggu di dalam mobil.
Percaya, deh. Saya takut setengah mampus. Pikiran saya waktu itu udah membayangkan kalau saya bakal jadi mayat dan ditemukan lusa di dalam kamar hotel karena menolak untuk disetubuhi manajer itu.
Saya mencoba mengalihkan kepanikan saya dengan berpikir bahwa ia akan memulangkan saya dengan grab atau gojek. Iya, dia akan booking hotel tapi mungkin itu hanya untuk dia sendiri dan bukan buat dipakai dengan saya. Ingat, rules pertamanya gak boleh panik. Itu yang selalu saya terapkan di kondisi gawat-darurat. Kenapa? karena ketika kita panik, justru kita gak bisa berpikir jernih.
Saya langsung ambil hp saya yang tinggal 5% itu. Saya minta tolong sama Ilman dengan nge-chat,
“Man, kalau gue kirim pesan ‘P’, itu berarti darurat ya.“
Tanpa basa basi juga, saya langsung shareloc. Saya mengirimkan pesan itu ke beberapa teman saya yang saya rasa akan siap menjemput saya. Di grup whatsapp tim service (yang tanpa manajer saya di dalamnya), saya sempat nge-chat
“Ada yang masih bangun?”
Tapi gak ada jawaban, dan saat itu saya berpikir Okay. It’s my own fight. Saya berniat untuk ke lobby hotel, maksud saya untuk memastikan bahwa manajer saya hanya memesan kamar untuk 1 orang. Tapi begitu saya sampai di pintu, manajer saya telanjur melaksanakan transaksinya dan saya diminta untuk membawakan barang-barangnya dan barang-barang saya. Okay. I knew it was hard, tapi saya harus tetap gak boleh panik.
Saya menenangkan pikiran saya. Seiring langkah saya menurunkan barang dari mobil, membawanya, dan berjalan dari lobby ke kamar, saya terus berpikir bahwa manajer saya akan memesankan gojek saat saya menurunkan barang-barangnya ke kamarnya. Tapi kemudian saya dikunci saat saya masih mencoba menurunkan bawaan dia.
Tidak. Tentu saja tidak. Saya gak lantas berteriak. Saya terlebih dahulu melihat situasi dan kondisi. Saya melihat jendela, memperhatikan kemungkinannya untuk kabur dari sana, Saya membuka laptop, Mencari kegiatan untuk membantu saya bernapas dengan lebih stabil di tengah kepanikan.
Bersambung
Comments 1