Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti pelatihan di Ciwidey, Bandung selama 12 hari. Waktu itu saya merasa sangat bersemangat dan antusias karena kesempatan tersebut tidak hanya menawarkan pembelajaran, tetapi juga pengalaman indah di tengah alam yang sejuk dan menenangkan.
Setiap hari saya mengembangkan ilmu dan belajar hal baru, saya juga makan sayur dan buah-buahan, lalu bertemu orang-orang dari berbagai penjuru daerah dan merasakan hangatnya kebersamaan. Pengalaman itu terasa sempurna, bahkan menjadi sebuah pelarian dari rutinitas sehari-hari saya.
Namun, di hari-hari terakhir, sebuah kejadian buruk menimpa saya. Kejadian yang tidak pernah saya bayangkan. Saya mengalami pelecehan. Perasaan syok, marah, bingung, dan takut berkecamuk dalam diri saya. Semua kenangan indah yang saya rasakan selama 10 hari seolah lenyap dalam sekejap.
Satu peristiwa itu berhasil menghapus semua kebaikan yang saya alami. Rasa takut mulai mengambil alih pikiran saya, membungkus diri saya dalam kebingungan, dan perasaan tak berdaya. Malam terakhir, saya dihabisi perasaan kalut, sampai dini hari mata saya sembab-sembab.
Beberapa waktu setelah pulang, saya berusaha menenangkan diri. Namun, semakin saya diam, semakin rasa takut itu menguasai saya. Saya merasa tidak ada jalan keluar dari rasa sakit dan ketakutan. Saya kira, ada monster besar yang menguasai diri saya.
Saya bertanya-tanya mengapa hal ini terjadi dan mengapa saya harus menghadapinya. Namun, saat merenung lebih dalam, saya menyadari bahwa rasa takut tidak bisa diatasi dengan lari atau diam. Satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari cengkeraman rasa takut adalah dengan membangun keberanian—keberanian untuk menghadapi kenyataan, keberanian untuk berbicara, dan keberanian untuk tidak membiarkan peristiwa buruk mendefinisikan diri saya.
Berbicara tentang pengalaman ini, bahkan melalui tulisan ini merupakan satu di antara langkah saya untuk membangun keberanian. Mungkin saya masih merasa takut, tetapi dengan berbicara, saya mulai meruntuhkan tembok ketakutan yang selama ini membelenggu saya.
Saya ingin memulihkan kembali kenangan indah yang pernah saya alami di sana, walaupun satu kejadian buruk telah merusaknya. Saya menyadari bahwa keberanian bukanlah ketidakhadiran rasa takut, tetapi keberanian adalah kemampuan untuk melangkah maju meskipun rasa takut itu ada.
Pelecehan yang saya alami dampaknya menjadi perasaan yang sulit saya kontrol. Namun, dengan adanya alasan pelaku yang katanya “…bukan bermaksud sengaja,” lalu “seriusan…,” lanjutnya, saya ingin menulis dengan lantang dan tegas bahwa pelecehan tetaplah pelecehan! Maka, sadari setiap langkah dan perbuatan! Kuncinya adalah tidak ada suka sama suka pada saat itu dan perlu dicatat bahwa diam tidak berarti setuju. Sekarang, saya memiliki kendali penuh atas respons terhadap kejadian itu.
Beberapa waktu, saya telah tenggelam dalam ketakutan, namun saya akan terus bergerak agar tidak hanyut dengan monster besar. Saya telah membangun kembali diri saya dan tidak akan membiarkan peristiwa ini menjadi belenggu hari-hari ke depan.
Saya tidak bisa dan tidak ingin menjelaskan kejadian tersebut secara rinci di sini. Ada banyak perasaan yang masih sulit saya terima dan kata-kata seolah tidak cukup untuk menggambarkannya.
Namun, satu hal yang membuat saya merasa kuat adalah dukungan dari beberapa teman dan lingkungan di sekitar saya. Mereka memeluk saya dengan erat, tidak hanya dalam arti fisik, tetapi juga secara emosional. Mereka ada untuk mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan ruang bagi saya untuk merasakan dan mengekspresikan apa yang perlu saya keluarkan.
Tulisan ini bukanlah sebuah upaya untuk menjatuhkan siapapun atau entitas apapun, maka saya melarang keras siapapun atau alasan apapun untuk menarik tulisan saya jika telah published! Tentu saya telah mengambil tindakan untuk pelaku dan tidak membela perbuatannya.
Tujuan saya menulis ini adalah sederhana: saya ingin lekas lega. Saya ingin bisa mengenang pengalaman selama di Ciwidey tanpa beban kesedihan yang semakin mendalam. Ada begitu banyak hal baik yang terjadi di sana, setidaknya selama 10 hari telah terbangun kebersamaan, pembelajaran, tawa hingga rencana kerja sama. Saya ingin kenangan-kenangan indah itu tetap utuh dalam ingatan saya.
Teruntuk teman-teman yang telah membaca tulisan saya sampai sini, saya berharap teman-teman berkenan memeluk erat hanya dari jauh dan tidak dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan seputar kejadian yang tidak ingin saya ceritakan atau hanya dua pertanyaan yang saya harap akan dapat saya terima, yakni “kamu makan teratur?” atau sekedar “bagaimana waktu tidurmu?” dan tidak ada yang lain.
Sejumput kalimat penutup saya tujukan untuk pak Idi, satu diantara 38 peserta yang membangun gairah menulis dalam rangka “Secuil Cerita Permintaan Pak Idi.” Beliau menulis dalam bilah Whatsapp group “Saya nunggu kiriman cerpen perjalanan dari peserta magang😀”
Rasanya seperti anak sekolah yang ditodong tugas dari guru bahasa Indonesia setelah libur panjang.
Terima kasih saya haturkan, pak. Lambaian yang bapak buat berhasil membangun gairah menulis teman-teman dan membacanya menjadi suatu distraksi perasaan sedih saya🌻
Banyak hal yang dapat dipahami dan dipelajari, semogq dimudahkan untuk aplikasikan, ditunggu kelanjutanya teh hehe.
Sehat dan sukses selalu teh.
semoga selalu ada kesempatan untuk kembali kesini.