TRIGGER WARNING.
Tulisan ini mengandung konten sensitif, bisa jadi beberapa bagian sangat menganggu kenyamanan kamu. Jika kamu merasa gak nyaman membacanya, gakpapa, kok. Kamu bisa berhenti membaca ini dan menenangkan dirimu. Saya cuma ingin kamu tahu, kamu gak sendiri. #MeToo
Tulisan ini saya dedikasikan untuk diri saya, juga untuk semua korban pelecehan dan kekerasan seksual, laki-laki atau perempuan.
*
Pengalaman saya adalah pengalaman yang mungkin sulit diterima, tapi kejadian ini membuat saya percaya bahwa pelecehan dan kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, apapun gendernya.
Nama saya Irfan. Saya laki-laki dan saya berusia 19 tahun pada saat kejadian. Saya bekerja di perusahaan agency startup di Solo tahun 2023 kemarin. Semua pekerja di sana adalah perempuan kecuali saya dan Agung.
Semua karyawan di tempat kerja itu dipimpin seorang Supervisor perempuan. Ibu Ika namanya. Usianya sekitar 30 tahunan. Bicaranya di kantor sangat vulgar, mesum, dan barang tentu bikin risih. Lazim di telinga saya kalimat seperti,
“Dunia kerja itu jauh lebih jahat daripada sekolah.”
“Alah, baru dikasih tugas segini apalagi nanti kalau sudah kerja?!”
dan saya berpikir, oh mungkin ini maksudnya. Saya harus menahan rasa malu, rasa kesal, dan rasa gak nyaman setiap Bu Ika ada di sekeliling saya. Bukan saya merasa sok suci, tapi saya rasa pembicaraan semacam itu tidak layak dilontarkan dilingkungan pekerjaan. Karyawan yang lain juga sering bercerita ketidaknyamanannya terkait hal ini. Bahkan bisa dibilang, di kantor tidak ada lagi yang respect pada Bu Ika, tapi tentu saja kami harus bertahan karena kami membutuhkan gaji.
Itu kali pertama saya bekerja setelah selesai pendidikan, dan saya percaya bahwa dunia kerja itu menyeramkan seperti kata orang-orang.
Hari demi hari saya lewati di kantor masih dengan perasaan gak nyaman, perasaan resah, kesal, dan malu setiap kali ada Bu Ika, tapi saya harus tetap bertahan buat Mama. Mama satu-satunya orang yang saya miliki setelah Papa meninggal 8 tahun yang lalu, dan saya ingin membantu Mama memenuhi kebutuhan hidup kami berdua.
Ketika saya menulis ini, saya harus menggali ingatan buruk saya soal pengalaman buruk ini. Saya merasa tidak berdaya, tidak berharga, merasa begitu rapuh dan kecil. Pada sekitar bulan September-November, di beberapa waktu, Bu Ika mendekati saya. Menyentuh beberapa bagian tubuh saya yang membuat saya kesakitan.
Di usia yang masih 19 tahun dan baru lulus sekolah, saya merasa takut dan tidak berani. Tentu saja saya bisa berteriak gemas dan menggerutu ketika saya melihat film pembunuhan dan korban berada di posisi yang terjepit. Namun ketika saya sendiri mengalaminya, secara otomatis nyali saya hilang menguap ke udara, saya menjadi ciut dan merasa pengecut. Saya merasa kerdil dan hanya bisa berteriak di dalam hati saya sendiri.
Tanpa merasa bersalah, Bu Ika terus melecehkan saya di depan rekan-rekan kantor saya. Mereka pun hanya terdiam dan tidak percaya, tidak ada yang berani. Rasanya sangat sakit, mual, dan heneg seperti dada kalau terkena tendangan bola. Begitu rasanya. Beberapa orang mungkin akan berkelakar dan tertawa, tapi saya sangat tidak nyaman. Saya kesakitan. Di kepala saya lantas terngiang kalimat-kalimat,
“Masa laki-laki nangis?!”
“Laki-laki mah harus jagoan! Harus kuat!”
“Laki-laki itu harus ngalah sama perempuan!”
Laki-laki juga manusia, dan semua manusia berhak untuk menangis. Mungkin ini akan jadi bahan kelakar beberapa orang, tapi saya menulis ini sambil mengingat ingatan saya yang paling buruk. Sakit sekali. Saya merasakan keram sampai perut dan susah napas. Di sisi lain, Bu Ika tidak merasa bersalah sama sekali dan saya hanya bisa menahan sakit, menahan malu, dan menahan marah. Tapi saya merasa saya tidak bisa apa-apa selain bersabar, karena saya harus membiayai hidup saya dan Mama. Saya harus bantu Mama.
Bulan November pertengahan, saya sudah tidak kuat lagi. Terlalu banyak ketakutan saya, saya tidak menyangka dunia kerja akan semenakutkan ini. Saya begitu muda dan satu-satunya pertolongan yang saya pikirkan adalah melaporkan kejadian itu ke polisi.
Dengan ragu dan pastinya rasa malu, saya menceritakan kejadian ke polisi yang berjaga di Polsek. Dan ya. Responsnya sudah bisa pembaca tebak. Polisi malah tertawa. Menertawakan saya dengan raut wajah menyepelekan,
“Pelecehan itu cuma dilakuin cowok ke cewek!” katanya “Kamu kan cowok, kok bisa dilecehin cewek?! Kalau aku jadi kamu, si atasan kamu itu aku ajak check in ke hotel sekalian hahah.” begitu respons polisi jaga di Polsek.
Bahkan, Si Polisi memberikan saya tips busuk mengajak perempuan check in ke hotel, yang ia selingi dengan tawa dan berakhir dengan kalimat “Maaf, kami gak bisa memproses laporan kamu karena kamu laki-laki.”
Polisi itu lagi-lagi tertawa dan menggeleng-geleng.
Saya pergi dari Polsek dengan perasaan makin terhina.
Akhir bulan Desember, saya mengajukan resign dari kantor. Sampai saat ini, saya masih berupaya untuk menyembuhkan kepedihan saya terhadap kejadian itu. Agung dan seorang teman perempuan membela saya dan berani mengadu ke pihak CEO. Namun, teman perempuan saya itu akhirnya dicut-off, sedangkan Agung masih aman sebab sepupunya adalah orang HRD.
Saya mencari pertolongan ke semua tempat dan instansi pemerintah. Sampai saya ke Dinas Sosial, namun responsnya sama saja. Mereka bilang, saya sudah dewasa dan laki-laki dewasa gak perlu bantuan dari Dinas Sosial. Mau ke psikolog pun saya gak punya keberanian. Sampai saat ini, saya masih harus menahan rasa malu sama diri saya sendiri. Saya merasa rendah, dan tentu saja saya merasa bersalah karena teman perempuan saya dicut-off. Meskipun saya tahu dia tidak menyalahkan saya. Tapi perasaan-perasaan yang buruk ini bercampur menjadi satu, menguras energi saya.
Terlebih, saya laki-laki dan tidak banyak orang yang percaya kalau laki-laki bisa mengalami pelecehan. Beberapa kali saya hanya mampu menulis di media sosial yang anonim, dan saya bisa sedikit merasa lega. Saya yakin, fase ini akan saya lewati walau tidak dengan baik-baik saja. Meskipun saya tahu ke depannya hidup saya gak akan sama lagi, tapi saya masih mau hidup dengan bahagia. Saya mau hidup saya lebih berarti, saya mau menjaga Mama lebih lama lagi.