Sedikit intermezo dulu waktu lagi booming-boomingnya buku ini, saya tuh udah beli dan udah selesai baca, hanya saja buku ini dipinjam sama teman dan tidak balik lagi. Akhirnya saya beli lagi untuk mengulang lagi apa yang dibaca.
Buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur ini sangat memberikan kesan menarik bagi pembacanya. Banyak pesan yang diutarakan lewat emosi-emosi tokohnya. Teman-teman mendengar judulnya saja, pasti sudah punya multipersepsi.
Tokoh utama buku ini adalah Nidah Kirani atau sering dipanggil Kiran. Latarnya bertempat di Yogyakarta, di area kampus, iya betul. Kampus dunia pendidikan. Kampus-kampus yang diistilahkan dengan Kampus Putih, Kampus Biru, Kampus Baret dan Kampus Matahari Terbit.
Awal cerita mengisahkan seorang perempuan yang sedang mondok yaitu Nidah Kirani (Kiran). Dia mempunyai teman pondok bernama Rahmi. Bersama dengan Rahmi, Kiran mengikuti pengajian Tarbiyah. Hal tersebut membuat Kiran berusaha meningkatkan ketaatan beribadah. Kiran merasa memiliki kawan sejalannya.
Selain itu, Kiran terus merasa tertantang untuk meningkatkan ibadahnya. Hanya saja, ada satu waktu Kiran harus berpisah dengan Rahmi karena menemani Ibunya di rumah. Rahmi kemudian menitipkan surat setelah Kiran pulang dari kuliahnya.
Sampai akhirnya terjadi perkenalanannya dengan Dahiri, seorang laki-laki yang vokal di sebuah forum mencoba mendebat Kiran. Dahiri pun mengajak Kiran untuk ikut bersama dengan gerakannya bernama Darul Islam. Singkat cerita, Kiran pun dibaiat dalam gerakannya. Sampai pada titik Kiran merasa sebuah keanehan dan keabsurdan serta merasa kecewa. Kiran pun merencanakan dan berhasil kabur dari tempat gerakan ini.
Transisi Kiran
Kenapa Tuhan seperti ini? kenapa Engkau mengecewakan cintaku dan ibadahku? tanya Kiran kepada dirinya sendiri.
Kiran kecewa semua yang dia lakukan. Seperti ditinggal pas lagi sayang-sayangnya gitu. Kiran mulai kehidupan baru, ngekos. Mulai kebiasaan-kebiasaan buruknya seperti minum tolak angin eh, minum pil terlarang gitu guys. Emosi batin Kiran tertekan sampai-sampai kadang dia berpikir,
Akulah mahlukmu, kaulah yang menciptakan aku. Semua tindakan yang aku lakukan, kau yang akan bertanggung jawab di hari penentuan. Tindakan ku seperti ini, sampai sejauh mana kau bisa menangguhkan takdirku. Aku yakin dengan jalanku sendiri.
Kiran pun mulai melakukan hubungan seks bebas. Oh seperti ini asyiknya. Namun dalam hatinya, batinnya bergejolak seperti air yang dipakai masak mie rebus.
Kiran ingin mengetes seberapa jauh omongan laki-laki bisa dipegang. Bahwa tidak tidur dengan perempuan lain, tidak selingkuh, dan memperlakukan perempuan dengan baik itu semua bohong. Sampai pada akhirnya ada seorang laki-laki yang suaranya lembut mengikuti kajian membahas syair-syair sufi. Kiran mencoba mendekati laki-laki itu, namun pada akhirnya takluk juga. Disitulah Kiran menemukan apa yang namanya kemunafikan.
Kiran pun hidup di jalanan dengan teman-teman kampusnya beserta kehidupan gemerlap dunia malam. Ada titik Kiran diajak menikah oleh seorang teman laki-lakinya. Tapi Kiran menolak mentah-mentah, apa-apaan tuh cinta? semua munafik. Pernikahan hanya melanggengkan perbudakan atas perempuan, melegalkan prostitusi di mata hukum. Perempuan tidak memiliki haknya sendiri. Kiran takut memiliki ketergantungan pada laki-laki.
Sampai pada akhirnya Kiran mendengar kabar bahwa ayahnya meninggal. Kiran sempat depresi mencoba untuk bunuh diri. Tuhan masih baik hati, Kiran masih terselamatkan dan masih bisa hidup. Hanya saja Kiran masih sama dengan logika dan pendiriannya semula. Kiran pun berada pada masa skripsi di perkuliahannya dan mendapatkan dosen pembimbing.
Akhirnya sang dosen yang merupakan salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pun ditaklukan oleh Kiran dengan tubuhnya. Singkat cerita sang Dosen pun menjadi germo dari Kiran. Kiran pun masih teguh dengan apa yabg menjadi keyakinannya. Kehidupan Kiran semakin kacau. Karena telah menemukan keabsurdan dalam Tuhan, agama, laki-laki, dan cinta. Hidup dari pelukan laki-laki ke laki-laki lain. Mereka yang pernah ditaklukan Kiran laki-laki dari kalangan aktivis sayap kiri maupun kanan.
“Tuhan, saksikan aku, Nidah Kirani, akan melanggar tabu-Mu. Kalau kau marah, marahlah, kutuklah aku.” (127).
Buku ini bagus hanya saja berbau kontroversi, ada yang mengatakan bahwa buku ini telah mencemarkan nama baik islam dan wajib ditarik dari peredaran. Ada yang menyebut bahwa buku ini sampah yang tak layak dibaca. Tapi ada beberapa pujian seperti buku ini telah memulai suatu pengungkapan beberapa hal yang tak terungkap, menerobos tabu-tabu yang banyak dihindari orang. Bahkan seorang psikolog yang turut membedah buku ini telah memerkaya khasanah dunia psikologi ihwal kejiwaan seorang manusia ketika bersentuhan dengan agama.
Karakter personal yang dimiliki Kiran seolah-olah terdekonstruksi, seolah-olah runtuh. Pergulatan batin, perubahan pola pikir, dan cara Kiran memandang sesuatu di luar dirinya seolah menjadi jauh berbeda. Nilai yang sudah dibangun, dianut, dan dipertahankan dengan kokoh akhirnya runtuh juga. Salah-benar sudah jadi bias.
Novel ini tak cukup berbahaya bagi yang imannya lemah. Tapi, akan sangat berbahaya bagi mereka yang hatinya tersakiti, jiwanya ternodai, nalarnya tersakiti, dan mendoan pakai cengek.
Yaudahlah ya guys, gimana pun persepsi kalian jika ada kebaikan diambil tapi jika ada keburukan dari buku ini tinggalkan. Nilai kehidupannya bagaimana seseorang bisa melakukan transisi di dalam kehidupannya. Karena menurut saya, tidak ada mahluk yang tercipta sia-sia seberapa pun besar dosa yang melumurinya. Tuhan Maha Pemberi Rahmat. Jangan berputus asa dengan Rahmat-Nya. Kalau kata Friedrich Nietzsche, Amor Fati Fatum Brum (Cintailah Takdirmu Walaupun Itu Kejam). Sebuah refleksi tentang kehidupan sekaligus bagaimana cara untuk memaknai hidup.