Trailernya yang memperlihatkan Laura Basuki nongol dari kaca mobil sambil memegang senapan sukses menarik atensi saya. Saat itu juga 24 Jam Bersama Gaspar langsung saya masukan ke dalam list film yang paling saya antisipasi tahun ini. Wara-wiri di berbagai festival dan masuk dalam nominasi FFI membuat ekspektasi saya kian meninggi terhadap film ini. Belum lagi jika menilik “dapurnya”, di sana ada nama Yoseph Anggi Noen dan Visinema, barang tentu jadi jaminan mutu kalau film ini tidak akan terjerembab ke dalam film adaptasi yang hanya asal jadi. Ketika diumumkan masuk Netflix, tiba saatnya penantian saya untuk mencicipi film ini. Tapi sayang, penantian panjang saya malah berujung kekecewaan.
Film ini bercerita mengenai Gaspar (Reza Rahadian), seorang detektif yang hanya punya waktu 24 jam untuk hidup. Sisa waktu hidupnya ia pakai untuk merencanakan pencurian sebuah toko emas milik Wan Ali (Iswadi Pratama) guna mengambil sebuah kotak hitam yang ada di dalamnya. Konon menurut cerita Babaji (Landung Simatupang), kotak hitam tersebut dapat mengabulkan apapun permintaan Gaspar. Termasuk bertemu kembali dengan kedua orang tuanya atau bertemu kembali dengan teman masa kecilnya.
Layaknya film-film heist pada umumnya, tentunya Gaspar juga punya sebuah tim. Di sini, tim Gaspar beranggotakan Agnes (Shenina Cinnamon), Kik (Laura Basuki), Njet (Kristo Immanuel), Yadi (Sal Priadi), dan Dr. Tati (Dewi Irawan). Walaupun anggotanya tidak punya skill-set masing-masing yang menunjang rencana pencurian. Tapi bukan masalah besar. Toh filmnya memang tidak disetir ke arah sana. Tapi yang paling penting ketika suatu film punya banyak karakter, yaitu penulisan karakter itu sendiri.
24 Jam Bersama Gaspar sebenarnya punya karakter yang dihidupkan dengan baik oleh para pemerannya. Sayang naskahnya membuat karakternya tidak dapat berkembang. Jangankan berkembang, untuk dapat terikat dengan karakternya saja terasa sulit. Bahkan Gaspar sebagai pemeran utama pun tidak dapat membuat kita simpati. Padahal kita tahu, dia mau meninggal dalam beberapa jam lagi. Sisa waktu Gaspar untuk hidup pun turut diperlihatkan beberapa kali, tapi tidak membuat tensi meningkat. Minimal bikin kita berharap kalau Gaspar punya waktu hidup lebih lama, lah. Itu pun gak terjadi. Paling parah tentu karakter Agnes yang hanya dijadikan Manic-Pixie Dream Girl. Agnes cuma dijadikan objek satu dimensi tanpa motivasi apapun. Sungguh sangat menyia-nyiakan seorang Shenina Cinnamon. Sekali lagi ini bukan salah pemerannya. Murni salah penulisannya.
Saya tidak pernah membaca novelnya, dan tidak tahu bagaimana lore dari novel 24 Jam Bersama Gaspar. Namun penggambaran latar distopia dalam filmnya patut diacungi jempol. 24 Jam Bersama Gaspar banyak berbicara lewat visual untuk menggambarkan dunianya. Tulisan “Bensin adalah Emas” yang terpampang di suatu adegan, membuat kita paham dunia seperti apa yang ditinggali Gaspar: dunia yang mungkin kita rasakan dalam beberapa tahun ke depan.
Berbicara Visinema, maka barang tentu berbicara tata produksi yang top-notch. Sayang, tata produksi yang solid itu gagal diimbangi dengan cerita yang solid pula. 24 Jam Bersama Gaspar seperti senior kampus yang sedang bercerita, namun bikin kita keblinger dengan ceritanya. Alhasil kita cuma bisa “Iya.. Iya…” aja mendengar ceritanya. Adegan pencurian yang harusnya membayar tuntas rasa pusing kita di babak sebelumnya pun cuma bikin garuk-garuk ketek dan bergumam “Lah kok gitu? Lah kok gini?”
Penyakit yang umum diderita film adaptasi adalah keterbatasan waktu untuk merangkum banyak hal dari sumber aslinya. 24 Jam Bersama Gaspar juga menderita hal ini. Paling terasa di paruh akhirnya yang sangat tergesa-gesa. Padahal ketika sampai ending, ceritanya gak begitu kompleks, masih bisa dicerna sama otak saya yang gak seberapa ini, tapi entah kenapa penuturannya sangat njelimet dan melelahkan.
Fun fact, saya dua kali mencoba menonton film ini. Kenapa dua kali? Karena pada percobaan pertama, saya kalah telak karena ketiduran. Saking penuh perjuangan untuk connecting-the-dots alur ceritanya.
Jika ditanya filmnya bagus atau tidak, sejujurnya 24 Jam Bersama Gaspar bukanlah film yang jelek. Filmnya punya premis menarik, punya tata produksi yang patut diacungi jempol, punya jajaran cast yang tampil baik. Singkatnya punya banyak potensi. Tapi terlalu banyak “sayangnya”, euy. Ibarat kita punya bahan masakan yang dapat diolah menjadi makanan yang lezat, tapi kita tidak terampil dalam meracik bumbunya hingga hasilnya berakhir hambar. Lantas kita menyesali karena kesempatan menikmati makanan lezat itu sudah pupus. Itulah 24 Jam Bersama Gaspar.