Sejak dari tahun yang lalu, aku berniat untuk mengirimkan tulisanku di Nyimpang. Namun niat itu selalu aku urungkan karena rasa takut yang tumbuh subur dalam pikiranku.
Dan mungkin rasa takut ini sama dengan yang dialami oleh orang lain, yang ingin konsen di dunia penulisan. Rasa takut tulisan jelek, tidak ada yang mau baca, kesalahan dalam menyusun kalimat atau yang utama takut ditolak oleh redaktur.
Padahal aku sendiri sadar, bahwa menulis adalah sebuah proses. Tidak tiba-tiba langsung ahli.
Takut tulisan jelek misalnya, harusnya aku tidak usah merisaukan tulisan yang jelek. Karena ya pasti jelek, namanya juga baru nulis ga tiba-tiba langsung bagus. Atau takut tidak ada yang baca, padahal setiap tulisan pasti akan ada pembacanya masing-masing.
Rasa takut selanjutnya yaitu takut salah menyusun kalimat. Nah padahal pada kasus ini harusnya tidak ada yang perlu ditakutkan, sebab ketika tulisan kita ditolak oleh redaktur artinya banyak kalimat yang tidak koheren pada setiap paragrafnya.
Sebenarnya rasa takut tersebut tumbuh akibat kita sering melakukan komparasi dengan tulisan orang lain. Sebagai contoh, aku sering membaca tulisan-tulisannya Sulak, Dea, Dee, Ulil dan Mas Eka Kurniawan. Ketika selesai membaca tulisan mereka, pikiran mendadak ingin menuliskan sebuah artikel sebagus mereka. Akan tetapi ketika aku selesai menulis, dan mencoba membacanya, astaga, betapa buruknya tulisanku ini. Dan pada akhirnya, tulisan yang diselesaikan pun dihapus kembali karena kualitasnya jauh dari kualitas tulisan-tulisannya Sulak dkk.
Padahal harusnya di situ aku sadar diri, mengingat mereka semua sudah mempunyai banyak jam terbang dalam ihwal dunia kepenulisan, sedangka aku, nulis di Nyimpang saja baru kali ini.
Namun sejujurnya aku ingin sekali menguraikan pemikiran-pemikiran Pinker, Kahneman, Harari, Diamond, Dawkins, Brown, Orwel, Gorky, Coelho, Illich dll. Tapi apa daya, jari masih belum sudi untuk menuangkannya dalam bentuk cerita akibat rumput yang bernama ‘rasa takut’ tadi masih tumbuh subur dalam pikiranku.
Menulis itu tidaklah mudah, akan tetapi menulis itu membahagiakan hati. Terutama dipenghujung bulan, ketika admin dari leasing menelpon kita untuk segera membayar cicilan atau ketika ibu kost gedor-gedor pintu meminta uang sewa kosan yang saban bulan telat melulu.
Mengutip dari produk kaosnya Serikat Ayr Mata: Membaca untuk Menulis, Mencintai untuk Menangis.”