Di umur yang menginjak 26 tahun ini, mayoritas teman saya yang masih hidup di kampung hanya tinggal tersisa dua golongan saja. Sebagian jadi mama muda calon influencer Facebook, sebagian sisanya jadi anggota KPPS.
Awalnya saya nggak punya sentimen buruk sama sekali kepada kedua golongan ini. Khususnya kepada para teman yang memutuskan untuk menjadi anggota KPPS. Saat banyak kreator konten sok kocak membuat konten parodi soal betapa songongnya kelakuan anggota KPPS, saya masih biasa saja.
Bahkan saat saya menyadari proses perekrutan anggota KPPS di sini kental dengan nepotisme pun saya masih biasa saja. Toh nepotisme memang bukan hal nyeleneh kan di negara ini? Tapi penilaian saya berubah setelah saya datang ke TPS untuk menggunakan hak pilih saya pada gelaran pemilu kali ini.
TPS Kece Harga Mati
Menghabiskan hari tanpa upload story tentunya adalah hal tabu di zaman serba update seperti sekarang. Bahkan nggak sedikit orang bisa mengunggah lebih dari setengah lusin story di media sosialnya setiap hari. Termasuk teman-teman saya yang sudah dibaiat jadi anggota KPPS ini.
Dari update story mereka inilah saya bisa tahu rangkaian kegiatan yang mereka jalani. Mulai dari bimbingan teknis, diskusi soal seragam kece macam apa yang akan dipakai di hari penugasan, sampai keriweuhan mereka meniup balon warna-warni yang akan dipakai untuk menghias TPS.
Awalnya, saya mengira kerja keras mereka menghias TPS itu berorientasi kepada kenyamanan para pemilih yang sedang menunggu giliran masuk ke bilik suara nantinya. Tapi ternyata perkiraan saya tidak sepenuhnya benar. Kenyamanan para pemilih ternyata tidak sebegitu pentingnya jika dibandingkan dengan gelar TPS terbaik atau terunik dan secuil hadiah yang akan dicicipi oleh para abdi pemilu ini nantinya.
Pemilu Pertama Sebagai Orang Yang ‘Tidak Normal’
Sebagai seseorang yang sudah hidup lebih dari seperempat abad, tentunya pemilu kali ini bukanlah pemilu pertama yang saya ikuti. Tapi pemilu kali ini tidak sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Bukan hanya pemilu kali ini penuh kekocakan soal penentuan lokasi TPS yang terkesan capcipcup sehingga banyak orang harus datang ke TPS yang justru lumayan jauh dari tempat tinggalnya, ini adalah pemilu pertama yang saya ikuti setelah saya kehilangan kemampuan berjalan secara normal dan mulai berkarib dengan tongkat bantu jalan.
Saat datang ke TPS, saya sudah menyiapkan mental untuk menghadapi pandangan penuh belas kasihan dari para pemilih yang sedang mengantri. Saya juga sudah bersiap menahan rasa sakit di punggung yang biasanya bakal muncul kalau saya terlalu lama duduk seperti menunggu giliran untuk masuk ke bilik suara. Tapi untungnya persiapan saya nggak terlalu kepakai. Bapak saya berhasil melobi petugas KPPS untuk mengizinkan saya masuk bilik suara dan menggunakan hak pilih saya duluan, menyalip beberapa yang sudah lebih dulu menunggu.
Saya Kira Saya Spesial, Tapi Ternyata Tidak
Sejujurnya saya pernah punya harapan khusus kepada para petugas KPPS yang di kehidupan sehari-hari menjadi teman dan tetangga saya itu. Saya berharap mereka yang mengerti betul bagaimana sulitnya saya bergerak sehari-hari ini mau mengantarkan surat suara ke rumah saya yang nggak terlalu jauh dari TPS ini. Sehingga saya nggak perlu susah payah datang ke TPS untuk menggunakan hak pilih saya.
Tapi setelah menyadari kalau hak aksesibilitas yang dimiliki para penyandang disabilitas dianggap tidak terlalu penting dan menghias TPS secantik mungkin jauh lebih penting, saya pun mengalah. Atau lebih tepatnya saya tak punya pilihan lain selain berusaha tetap legowo datang ke TPS meskipun tidak mudah. Saya juga berusaha tetap legowo saat akses masuk ke bilik suara sangat sempit dan menyulitkan orang yang menggunakan kruk berkaki empat seperti saya.
Tentu saya tidak berhak menyalahkan para petugas KPPS yang sudah berjuang menguras waktu dan tenaga untuk mempersiapkan yang terbaik dalam menyambut pesta demokrasi ini. Dan karena sadar saya nggak mungkin berdoa kepada Tuhan untuk menciptakan lebih banyak penyandang disabilitas di wilayah ini agar hak-hak kami bisa lebih dipertimbangkan oleh orang normal, saya hanya bisa berdoa semoga para petugas KPPS di pemilu 2029 mendatang mau mempertimbangkan untuk menciptakan lingkungan TPS yang lebih mudah diakses meskipun penyandang disabilitas di wilayah ini hanya ada satu atau dua orang saja.