“Kapan kita bisa menikmati kesehatan dan pendidikan tanpa penyekatan status sosial?”. Pertanyaan ini selalu menghantui saya. Mahalnya biaya pengobatan, buruknya pelayanan buat orang yang berobat pakai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) atau dana pas-pasan seperti saya, pagi, siang, sore, makan sama beras sembako gratis. Coba aja kalau saya pemilik franchise Pertamina, anak pemilik yayasan sekolah, anak pemilik rumah sakit ternama kayanya enak. Masuk hotel tinggal pilih kamar mana yang paling bagus. Masuk sekolah dan rumah sakit tinggal pilih. Meskipun kalau dipikir-pikir, hotel sama rumah sakit gak ada bedanya. Semakin mahal biaya yang dikeluarkan, semakin besar ruangan yang didapat, pelayanannya semakin oke pula. Tapi masalahnya, Rumah Sakit (RS) sama hotel ya beda sih. Bedanya gak ada dokternya aja. Nah tapi direnungin lagi, ya kita kan pilih ruangan juga. Berarti rumah sakit juga dibuat bukan semata-mata menyembuhkan yang sakit, ya? Ya iyalah, RS juga butuh modal untuk operasional kali. Ya pasti harus balik modal lah. Namanya juga usaha~ apalagi kalau yang usaha itu nanam modal gede-gedean, otomatis turn overnya harus tinggi dan caranya ya mahalin biaya kesehatan. Hm, masuk akal sih sejauh ini.
Misalnya nih ya kalau dalam istilah anak ekonomi seperti ini, pemain dapat menguasai pasar tanpa kompetisi dari pemain lain. Status sosial masih menjadi primadona dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak dapat dipungkiri. Klasifikasi yang digunakan untuk membedakan orang berdasarkan pengaruh ekonomi, politik, dan kondisi sosial mereka. Erat kaitannya dengan jenis pekerjaan, pendidikan, kemampuan ekonomi, dan lokasi tempat tinggal. Ukuran status sosial bisa dilihat dari tingkat pendapatan, akses pendidikan, prestise pekerjaan, maupun jumlah bantuan yang diterima.
“Orang miskin tidak boleh sakit karena sakit itu mahal.” Tidak ada alasan untuk meninggalkan orang miskin tanpa perawatan yang tepat. Semua orang memiliki hak untuk mendapatkan perawatan medis yang dibutuhkan, tidak peduli seberapa miskin dia.
Pendidikan dan kesehatan tidak harus dibatasi oleh status sosial. Namun kenyataannya, yang masih mengalami diskriminasi terkait dengan akses untuk kesehatan dan pendidikan berdasarkan status sosial.
Contoh akses kesehatan dan pendidikan yang diskriminatif berdasarkan status sosial dapat berupa ketidaktersediaan pelayanan kesehatan tertentu untuk golongan yang memiliki status sosial yang lebih rendah, seperti buruh, penyandang cacat, dan masyarakat marginal lainnya. Hal ini dapat mengakibatkan kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan yang rendah, kurangnya informasi, dan biaya yang tinggi. Ini juga dapat berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. Selain itu, diskriminasi status sosial dapat berdampak pada tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah dan kurangnya hak istimewa bagi masyarakat yang memiliki status sosial yang lebih rendah.
Kasus ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa contoh akses sumber daya yang tidak memadai termasuk akses alat kesehatan, obat-obatan, informasi kesehatan, dan layanan kesehatan yang berkualitas tinggi. Terkadang, biaya untuk mencapai layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai juga merupakan faktor yang menghalangi masyarakat untuk mengakses layanan tersebut.
Seperti pada film Medicine for All (2020) sebuah film yang bercerita tentang monopoli industri kesehatan dan pendidikan, bagaimana perusahaan besar bisa mengendalikan biaya dan kualitas layanan yang diberikan. Pesan moral dari film ini memberitahu penontonnya bahwa semua orang berhak mendapatkan layanan yang tepat dan adil. Kita harus berjuang menjamin semua orang mendapat akses layanan yang mereka butuhkan.
Seorang rakyat dari Negara Wakanda sedang memimpikan kesehatan dan pendidikan tanpa sekat. Kapan ya, kira-kira? Hal tersebut berawal dari kegelisahan masih ditemukan adanya layanan kesehatan yang tidak memprioritaskan rakyat jelata yang merindukan akses terhadap layanan kesehatan berkualitas. Masih adanya berita mengenai robohnya gedung sekolah. Merindukan biaya yang terjangkau bagi mereka yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.
Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah telah meningkatkan jumlah ketersediaan rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya. Sedangkan dalam bidang pendidikan terdapat beberapa jenis pendidikan dan program kursus bagi masyarakat. Masalahnya, bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan dan bersama-sama memberikan edukasi terkait kesadaran hidup sehat, sedangkan dalam bidang pendidikan masih ada generasi-generasi masa depan yang tidak bisa melanjutkan mimpinya hanya karena ekonomi keluarganya.
Kesehatan dan pendidikan seperti dua sisi mata uang. Dua-duannya sangat mempengaruhi satu sama lain. Dengan pendidikan kita menjadi tahu dalam menjaga kesehatan dan mempersiapkan generasi yang unggul di masa depan. Berharap suatu saat nanti kita akan bebas berobat dan memilih pendidikan tanpa status sosial. Monopoli kesehatan dan pendidikan dapat menyebabkan rendahnya kesejahteraan masyarakat dan kelangkaan akses terhadap kesehatan dan pendidikan yang berkualitas tinggi.
Jadi, untuk mencapai tingkat kesehatan dan pendidikan tanpa diskriminasi sosial, pemerintah harus mengambil tindakan menghapus struktur sosial yang menyebabkan diskriminasi, seperti perbedaan pengelolaan sumber daya dan hak-hak politik. Pemerintah juga harus menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan yang tersedia untuk semua orang, seperti layanan kesehatan gratis, dan memastikan bahwa semua orang memiliki akses yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Dengan cara ini, kita dapat membantu untuk memastikan bahwa semua orang dapat menikmati kesehatan dan pendidikan tanpa diskriminasi sosial.