Menulis Nama Tuhan di Langit

Menulis nama Tuhan adalah dedikasi dan kecintaan Idris.

Malam itu, langit begitu luas, tanpa awan, seolah menyisakan ruang bagi bintang-bintang untuk bercerita. Di atas bukit sepi, seorang lelaki tua duduk di kursi reyot, menatap langit dengan mata redup yang menyimpan kerinduan. Tangannya menggenggam sebuah pena, dan di hadapannya terbuka sebuah buku tua yang penuh dengan tulisan tangannya sendiri.

Lelaki itu bernama Idris. Seumur hidupnya, ia menulis. Namun, bukan untuk koran, bukan untuk buku, bukan pula untuk pujian. Ia menulis untuk sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang hanya bisa ia pahami dalam kesunyian.

Malam demi malam, ia menggoreskan kata-kata di halaman kosong, mengisahkan perjalanan hidupnya, doanya, kegelisahannya, pertanyaannya yang tak pernah menemukan jawaban. Namun, ada satu hal yang selalu ia tuliskan berulang-ulang: nama Tuhan.

Ia menulis nama-Nya dalam berbagai bahasa, dalam berbagai bentuk. Di setiap halaman, di setiap celah kosong, selalu ada nama yang ia ulang dengan khusyuk, seolah berharap bahwa jika ia menuliskannya cukup banyak, Tuhan akan membacanya.

“Kenapa kau menulis nama Tuhan begitu banyak?” tanya seorang bocah yang sering datang ke bukit itu, menemani Idris.

Idris tersenyum, matanya tetap menatap langit. “Karena aku ingin Tuhan tahu bahwa aku selalu mengingat-Nya.”

Bocah itu mengernyit. “Tapi, Tuhan sudah tahu segalanya.”

Lelaki tua itu menghela napas panjang. “Aku tahu. Tapi aku hanya ingin menuliskannya. Seperti seseorang yang terus-menerus menyebut nama kekasihnya dalam rindu.”

Bocah itu terdiam. Ia tidak sepenuhnya mengerti, tapi ada sesuatu dalam kata-kata lelaki itu yang membuatnya tak ingin bertanya lebih jauh.

***

Suatu malam, Idris menatap buku tuanya yang sudah penuh. Tidak ada satu halaman pun yang tersisa. Ia menutupnya perlahan, lalu mengangkat kepalanya ke langit.

“Aku sudah menulis di kertas, tapi mungkin itu tidak cukup,” gumamnya.

Lalu, dengan perlahan, ia mengangkat pena di tangannya, mengarahkannya ke angkasa, dan mulai menulis di udara kosong.

Bocah yang melihatnya mengerutkan dahi. “Apa yang kau lakukan?”

Idris tersenyum. “Menulis di langit.”

“Tapi, itu tidak akan terlihat.”

Idris hanya tersenyum lagi. “Tidak apa-apa. Mungkin Tuhan bisa membacanya.”

Keesokan paginya, bocah itu kembali ke bukit. Namun, lelaki tua itu sudah tiada. Yang tertinggal hanyalah kursi kayu yang sunyi dan buku tua yang tertutup rapi.

Ia membuka buku itu dengan hati-hati, menelusuri halaman demi halaman yang dipenuhi dengan nama Tuhan.

Dan di halaman terakhir, ada satu kalimat yang membuatnya terdiam lama.

“Aku menulis nama-Mu di langit, Tuhan. Jika Kau membacanya, ingatlah aku.”

Bocah itu menutup buku itu dengan hati yang berat, lalu menatap langit yang luas.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa seolah benar-benar melihat sesuatu yang tak kasat mata—sebuah nama yang tergores di antara bintang-bintang.

Seorang hamba yang suka nulis, doyan ngopi, dan gemar mendalami berbagai hal baru.

Related Post

No comments

Leave a Comment