Sekeping Kertas 

Di dalam, semua barang masih ada di tempatnya, kecuali satu hal—sosok yang seharusnya ada di sana.

Senja itu turun perlahan, menggoreskan warna jingga di langit yang mulai lelah. Di sudut sebuah kafe kecil, seorang pria duduk sendiri, menatap kosong ke dalam secangkir kopi hitam yang sudah mulai dingin. Uapnya sudah hilang, meninggalkan aroma samar yang bercampur dengan bau hujan yang baru saja reda.

Namanya Damar. Ia sudah duduk di sana selama hampir satu jam, tapi hanya sedikit kopi yang ia teguk. Di samping cangkirnya, ada secarik kertas kusut dengan tulisan tangan yang tampak ragu-ragu, seolah setiap hurufnya lahir dari kebimbangan.

Damar mengambil kertas itu lagi, membaca isi yang sudah ia hafal di luar kepala:

“Aku lelah. Segalanya terasa samar. Aku ingin pergi. Maaf.”

Hanya itu. Tidak ada nama, tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tapi Damar tahu siapa yang menulisnya.

***

Malam sebelumnya, ketika ia pulang ke apartemen kecilnya, pintu kamarnya sedikit terbuka. Di dalam, semua barang masih ada di tempatnya, kecuali satu hal—sosok yang seharusnya ada di sana.

Naya telah pergi.

Tidak ada tanda-tanda perpisahan, tidak ada pesan panjang yang menjelaskan alasannya. Hanya kertas itu, tergeletak di atas meja dengan secangkir kopi yang sudah dingin.

Damar tidak mengerti. Apakah ia yang salah? Atau memang sudah waktunya?

Pertanyaan itu berputar di kepalanya sepanjang malam, sampai akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke tempat yang biasa mereka datangi—kafe kecil di ujung jalan, tempat mereka sering menghabiskan senja bersama.

Tapi kali ini, Naya tidak ada di sana. Hanya Damar, secangkir kopi, dan sekeping kertas yang masih ia genggam.

Damar menutup mata, membiarkan pikirannya kembali ke hari-hari yang lalu.

Ia teringat bagaimana mereka pertama kali bertemu di tempat ini, ketika hujan turun deras dan Naya datang dengan wajah kesal karena sepatunya basah. Ia teringat bagaimana Naya selalu mengaduk kopinya terlalu lama, seolah mencari sesuatu di dalam cangkir itu.

“Kenapa kamu selalu mengaduk kopi selama itu?” tanya Damar suatu hari.

Naya tersenyum kecil. “Kadang, aku berharap kalau aku bisa mengaduk pikiranku juga, biar lebih jernih.”

Damar hanya tertawa saat itu, menganggapnya sekadar candaan. Tapi sekarang, kalimat itu terasa begitu nyata.

Mungkin Naya sudah terlalu lama mencoba mengaduk pikirannya, tapi tetap tidak menemukan jawabannya. Mungkin itulah sebabnya ia pergi.

Damar menghela napas, meletakkan kembali kertas itu di meja. Ia sudah lelah mencari jawaban yang mungkin tidak akan pernah ia temukan.

Saat ia hendak berdiri, tiba-tiba seseorang duduk di kursi seberangnya.

Seorang pelayan datang, meletakkan secangkir kopi di meja. “Pesanan Anda, Mbak.”

Damar menoleh. Dan di sana, di hadapannya, duduk seseorang yang tidak ia duga akan ia temui lagi.

Naya.

Ia masih sama, dengan mata yang selalu tampak berpikir, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ada kelelahan yang lebih dalam.

Mereka tidak langsung berbicara. Hanya ada keheningan di antara mereka, seperti jeda yang terlalu panjang dalam sebuah lagu yang belum selesai.

Akhirnya, Naya membuka suara. “Kamu masih suka pesan kopi yang sama.”

Damar mengangguk. “Dan kamu masih suka mengaduk kopi terlalu lama.”

Naya menatap cangkirnya, tersenyum kecil. “Aku kembali, Dam.”

Damar tidak bertanya kenapa ia pergi. Tidak bertanya kenapa ia kembali.

Senja masih ada di luar sana, kopi mereka masih mengepulkan uap hangat, dan di antara mereka, ada sesuatu yang tak perlu dijelaskan—hanya perlu diterima.

Seorang hamba yang suka nulis, doyan ngopi, dan gemar mendalami berbagai hal baru.

Related Post

No comments

Leave a Comment