Darah itu masih segar mengalir perlahan dari pergelanganku, kamu menatapnya jerih selama beberapa saat lalu kalap meraihku yang limbung dan mencoba menghentikan cairan merah itu keluar lebih banyak lagi. Pandanganku buram melihat dirimu panik, menelepon seseorang mencari bantuan. Ah, aku jadi teringat saat dirimu yang juga sama paniknya melihat diriku yang terjatuh saat kita pertama kali bertemu. Tatapan itu ternyata tidak berubah, hanya kami yang berubah.
Semenjak masuk kuliah, aku tidak pernah bermimpi untuk turut berpartisipasi dalam hubungan romantis dengan siapapun, aku yang berambisi untuk lulus dengan predikat tinggi mencoba fokus belajar. Namun menginjak semester tiga, ketika aku sedang berdiskusi dengan salah satu organisasi mahasiswa yang bergerak pada pencegahan dan penanganan kekerasan dan pelecehan seksual di kampus, kita bertemu di sana. Esoknya kita menikmati kopi di setiap kedainya dengan tema pembahasan diskusi yang beragam. Kau selalu bilang bahwa perempuan ibarat bunga kacapiring, harum tapi menyimpan misteri, dan seperti kaca yang mudah pecah jika tidak hati-hati memperlakukannya.
Aku lupa siapa yang memulai duluan, menginjak semester empat, kita sudah berkencan. Caramu memimpin organisasi dalam pergerakan yang progresif dan mengedepankan isu yang harus diusut tuntas membuatku yakin bahwa kamu laki-laki yang bisa dipercaya. Kita pernah menangani kasus pemerkosaan adik tingkat yang dilakukan oleh oknum TU fakultas, kita bereskan masalah itu meskipun kamu harus membayar mahal. Kita juga selidiki kasus mahasiswa yang berhubungan seksual di gedung kelas baru yang berakhir penemuan fakta bahwa perempuannya melakukan aksi bunuh diri karena tertekan akibat ulahnya sendiri.
Hidup di tengah hiruk pikuk kota besar, hubungan secara bebas terjalin di semua sudut. Kita menjalani hubungan yang cukup romantis meskipun kadang aku dibuat kesal karena kamu harus memimpin rapat setiap Kamis yang tentu saja aku juga ikut serta. Hanya saja aku yang terlanjur mencintaimu, menginginkan waktu lebih lama untuk bercumbu walaupun kita sudah satu atap, berdua saja di kosan, aku dan kamu menghabiskan waktu tidur bersama. Tentu saja tanpa sepengetahuan orang tua kita berdua.
Kita sudah seperti binatang jalang yang menggembor-gemborkan keadilan. Kita berdua menikmati malam yang kita habiskan, lalu esoknya kita mengedukasi krisisnya iman dan ideologi mahasiswa zaman sekarang.
Kamu benar, aku adalah setangkai bunga kaca piring yang kau pecahkan benang sarinya. Janji yang kau sebut-sebut di setiap malam menjelang tidur hanya manis saat habis bulan purnama. Setelah kau titipkan benih, kau memaksa untuk menguburnya bersama cacing-cacing di kamar mandi, di atas tisu-tisu yang habis dalam semalam. Aku tidak terima, aku mencintaimu. Ini adalah bukti bahwa aku mempercayaimu. Namun kau bilang, komunitas tidak bisa menanggung malu jika ketuanya terbukti melakukan hal yang menjadi pergerakan utama komunitas itu berjalan. Ini semua demi nama baik organisasi dan kepentingan bersama.
Aku kembali menolak, mempertahankan tunas yang sudah kamu tanam. Dua minggu kamu mendiamkanku, aku mencoba meminta pertanggung jawaban, kau selalu berdalih sibuk melakukan program baru, padahal aku tahu program yang kamu unggulkan hanyalah pelarian. Kamu tetap dengan keputusanmu, aku berpegang teguh dengan argumenku.
Satu kali, kamu menampar kelopak bunga itu. Aku mulai mencari pertolongan, kau menahanku dengan berbagai alasan.
Dua kali, kamu mulai mengikat tangkai bunga dengan tali harapan, aku kembali percaya. Tapi ternyata kamu menggugurkan kelopak-kelopak lainnya dalam sekali ikat. Aku sesak, kamu kalap. Baiklah, ini yang kamu minta. Kita selesaikan semuanya malam ini, di dalam kamar kos beraroma keringat kita berdua.
Haruskah kita bunuh diri bersama?
Aku mulai menyayat fakta-fakta tentangmu yang aku simpan selama ini membuat kita berdua terluka. Aku tikam semua ideologi yang kamu banggakan dan membuatnya lebur dibakar api nafsu amarah. Aku tekan segala hal yang kugenggam di tangan ini hingga semuanya muncrat membasahi baju PDH yang kamu pakai. Luka itu semakin menganga, darah dan nanah keluar semua.
Kamu menarik diri, mencari sesuatu agar kamu bersih kembali. Kini, aku yang kalap, dirimu ternyata hanya aktivis kiri cabul yang berlindung di balik kepentingan bersama, jabatan yang kamu emban hanya untuk mencari kekuatan relasi kuasa.
Tiga kali aku memelukmu yang berlumur darah, menunjukan bahwa aku benar-benar mencintaimu.
Sebaiknya kita mati bersama. Itu akan lebih adil dibandingkan hanya aku yang masuk neraka.
Peluklah aku, sayang. Bukankah kau menyayangiku sama seperti kau menyayangi organisasimu? Organisasi kita berdua yang di dalamnya aku tumbuh bersama dirimu. Dan malam ini kita berdua akan mati, bersama. Membusuk bersama ideologimu yang murahan itu, yang bisa digadai hanya dengan kursi parlemen universitas.
Kita mati malam ini, dalam pelukan angin malam beraroma keringat kita berdua.