Beberapa hari yang lalu, aku baca tulisan Mahasiswa Purwakarta Harus Tahu Konsep Agropolitan dari Kang Koy yang baru aja selesai mengemban amanah sebagai Koordinator Aliansi Bem Purwakarta, cmiw. Selamat ya Kang sudah menyelesaikan tugasnya dengan sangat baik. Anyway, tulisannya tentang konsep agropolitan katanya sih bisa mengurangi kemiskinan di desa-desa. Misalnya, Desa Wanayasa dengan produk manggisnya, dan desa yang aku tau menghasilkan produk lainnya yaitu Desa Ciawi dengan gula arennya, Anjun dengan kerajinan dari tanah liat, Tanjungsari dengan Simping dan Dodol, dan masih banyak lagi tentu jha~
Benar juga kata Kang Koy,
Kenapa dari 18 kampus yang ada di kota tercinta ini tidak ada kolaborasi dengan desa-desa sekitar? Atau mungkin sebenarnya ada tapi aku nggak tau?
Atau mungkin, pertanyaannya bisa kuganti jadi Apakah organisasinya sudah berkolaborasi dengan baik antaranggota? Karena menurutku, acapkali kita luput sama kenyamanan teman-teman kita sendiri. Gak sedikit produktivitas atau kerja-kerja organisasi itu terhambat karena pelecehan seksual, lho. Hal itu tentu bikin seseorang takut lagi untuk datang ke organisasi tertentu, dan bahayanya lagi, seseorang itu jadi takut untuk berorganisasi.
But before we go any further, aku mau bahas sedikit dulu tentang gender, ya. Tapi kalau kalian mau pembahasan yang lebih panjang dan detail boleh tanya-tanya Teh Yayu untuk diskusi hehe.
Gender adalah pembagian peran (sama kaya kalau kita bekerja di perusahaan) pada laki-laki dan perempuan yang dilakukan berdasarkan aspek sosial budaya, atau nilai yang berlaku di suatu masyarakat. Gender disini bukan jenis kelamin, ya. Kalau jenis kelamin ya penetapannya dilakukan berdasarkan bentuk dan fungsi biologis aja.
Sebab kita hidup di negara yang patriarikinya mengakar cukup dalam, seringkali pembagian peran tuh gak seimbang, ya. Akibatnya, memicu konflik kepentingan laki-laki dan perempuan misalnya marginalisasi, double burden, fenomenasuperioritas-inferioritas yang ujung-ujungnya nyiptain arogansi dan bisa jadi tindak tanduk violence suatu kelompok yang merasa yeuh aing sia saha? juga.
Teman-teman sadar gak sih? Setiap kali scrolling medsos pasti ada berita Ferdy Sambo yang bakal dihukum mati, anak petinggi pajak yang aniaya anak pengurus GP Ansor, suami yang lempar istrinya ke laut, dan beberapa kasus tentang pelecehan seksual. Terakhir, saya membaca di instagram ada salah satu mahasiswa UPH dianiaya mantan yang juga senior di kampusnya sendiri. Mengerikan, bukan?
Dunia pendidikan toh nyatanya gak lepas dari fenomena pelecehan dan kekerasan seksual. Untuk kasus pelecehan dosen terhadap mahasiswinya, abuse of power bisa sangat mungkin terjadi. Dosen sengaja menggunakan kuasanya buat mendapatkan kepuasan. Gak sedikit juga kasus yang sengaja ditutup-tutupi kampus buat melindungi pelaku daripada korban pelecehan.
Satu minggu yang lalu, jatim.idntimes.com publish tulisan terkait pencabulan guru MI di Surabaya yang melakukan ‘aksi’nya pakai alasan belajar indera perasa dengan mata tertutup. (Linknya di sini https://jatim.idntimes.com/news/jatim/khusnul-hasana/pelajaran-indera-perasa-modus-guru-mi-di-surabaya-cabuli-muridnya) Nah kan, semua bisa menjadi korban dan oknum tanpa memandang bulu. Tua-muda, dewasa-muda, bahkan anak-anak pun bisa jadi korban.
20 Januari kemarin aku meminta data KPAI untuk kelengkapan data di proposal skripsi. Hasilnya bisa teman-teman lihat sendiri
834 anak menjadi korban kejahatan seksual dengan komposisi:
- 395 anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan;
- 14 anak sebagai korban kekerasan seksual pemerkosaan/persetubuhan sesama jenis;
- 400 anak sebagai korban pencabulan, dan
- 25 anak sebagai korban pencabulan sesama jenis.
Beralih ke ceritaku sebulan yang lalu. Aku punya teman, Radit namanya (iya, tentu jha bukan nama asli). Radit ini cerita bahwa ia baru saja dimintai tolong oleh temannya yang baru jadi korban pelecehan di kampus. Pada saat itu, yang terpikir oleh Radit untuk membantu adalah ya dengan membicarakannya pada dosen yang ia percayai. Tapi eh tapi, si dosen gak menanggapi laporan Radit dan bilang bahwa laporan itu hanya untuk cari perhatian saja. Miris sekali, kan?
Saya khawatir angka kekerasan seksual di Purwakarta khususnya di lingkup pendidikan meningkat karna rendahnya kesadaran teman-teman dalam ruang aman. Pertanyaanku cuma satu,
Apakah di setiap kampus yang ada di Purwakarta memiliki Satgas Pelecehan Seksual? Kalau enggak, apakah kita sebagai mahasiswa akan pasrah dan diam lagi sama seperti Kang Koy katakan di tulisan sebelumnya?