Saya mengenal Budi sebagai seseorang yang kalau nulis bikin saya harus cari tahu dulu artinya. Iya, Budi doyan banget bikin saya kesal karena pakai kosakata Arab, terus juga kosakata khas Islam(?) yang saya kadang gak paham. Bukan karena saya gak Islam, tapi karena referensi bacaan saya masih kurang luas aja, dan gak mungkin saya nyalahin Budi untuk kemalasan dan kebodohan saya, kan. Padahal berkat Budi saya jadi sering googling ayat Alquran nih. Subhaanalloh.
Saya lupa kapan pertama ketemu Budi, tapi saya sering dengar namanya. Saya pernah diceritakan Ahmad Farid tahun 2022. Katanya,
“Penjualan buku paling bagus tuh Budi Hikmah tau!” katanya bersemangat
Saya, Majid, dan Sidik waktu itu cuma mengangguk dan ketawa kagum waktu diceritain Budi beneran nodong Lurah/Kades buat beli bukunya, Budi juga nge-DM semua (atau beberapa ya) followersnya untuk promosi bukunya, dan gak semua orang bisa gitu, kan. Mau heran tapi ini Budi, dan Budi memang se-nyentrik itu, kan. Siapa lagi yang mau datang jauh-jauh ke base untuk curhat tengah malam ke Baginda Farid? Budi za!
Meskipun gitu, saya akui Budi tuh suka nyaut-nyaut di grup dan apresiatif, selalu support juga meskipun suka bikin pakuciweuh. Beberapa orang di Nyimpang memang punya suasana yang support terus seperti Fahrul dan Budi, yang setiap ada acara teh hadir dan khidmat gitu, lho.
Budi ngaku ke saya dia suka nulis sejak SMA, cuman mulai disiplin kepenulisan sih sejak 2016. Katanya, Budi nulis karena pingin punya media lain biar bisa silaturahmi sama orang. Masyaalloh. Budi tertarik nulis sejak ada media semacam Facebook dulu.
“Lalu ke sini-sininya tau juga kalau ternyata gak sedikit dari sebuah tulisan teh bisa memberikan dampak sosial ke pembacanya. Ada yang bisa mengubah pribadi seseorang, bahkan ada juga kan yang sampai ngerevolusi satu negara. Dari situ jadi tertarik sih sama dunia kepenulisan. Hihi.”
Budi juga ngerasa dilatih nalar pribadinya kalau dia nulis.
“Ya seru aja gitu. Nulis juga bikin kita dapet ilmu yang bermanfaat. Hiks 33x. Semoga A Farid gak tahu aku ngomong gini.” kata Budi. Ya silakan saja bayangkan Budi ketika ngomong itu, lah.
Saya, sebagai public enemy yang karyanya dianggap selalu menyinggung orang lalu nanya ke Budi,
“Bud, emang maneh ngaharapkeun naon tina karya maneh?”
Budi jawab, “Dibaca banyak orang. Syukur-syukur bisa sampai dikritik.”
ANZAY.
Satu hari, muncullah cerbung adufiksi Fahrul VS Budi yang berjudul Lekas Sembuh Manusia Bumiku. Cerbung yang fokus isunya tentang krisis iklim, yang karakternya nyeleneh dan “relate banget” sebenarnya mah. Se-relate saya yang suka pesan kamar melati. Astaga.
Ketika kita membaca/berbicara soal krisis iklim, seringkali yang jadi tayangan kita adalah film-film distopia yang dibumbui teknologi (sebut saja Wall-E dan Interstellar). Lekas Sembuh Manusia Bumiku justru akan terasa sangat dekat dengan kehidupan kita (mungkin), sebab kita dapat melihat bagaimana orang-orang kecil (termasuk saya) memandang krisis iklim.
Saya mana tahu agenda besar pebisnis tambang? Sesuatu yang saya tahu hanya: tiap tahun ini bumi makin panas. Pokoknya yang saya tahu ini lahan tiap tahun makin kecil jagungnya, ini lahan tiap tahun makin kering airnya.
Gitu.
Intinya, Bud. Hatur nuhun sudah jadi orang yang terus berkarya dan selalu melihat sebuah kritik sebagai sesuatu yang positif. Teu loba da jelema/seniman/pengkarya nu siga kitu. Selamat, ya, Bud!
Jangan sedih ketika menyadari kalau 2 teritorialmu itu daerah coret semua. Tenang, kita sama-sama orang coret, Bud.