Kang Yaya berupaya melestarikan musik tradisional lewat pendidikan dan kegiatan bermusik.
Semangat Budaya Tradisional dalam Suara Kendang Yaya Sunarya

Profil Singkat
Yaya Sunarya, atau yang akrab disapa Kang Yaya, adalah seorang pengajar dan seniman musik tradisional asal Karawang yang lahir pada 23 Juni 1993. Sehari-hari ia mengajar Bahasa Indonesia di SMPN 1 Pabayuran, Kabupaten Bekasi, sembari aktif melatih dan memainkan beragam alat musik tradisional seperti angklung, gamelan degung, kecapi, hingga seling di Karawang.
Kecintaannya terhadap musik tradisional tumbuh dari lingkungan keluarga, terutama sosok almarhum ayah yang juga seorang musisi. Dari sang ayah, ia mendapat warisan pengetahuan kendang dan gamelan, yang kelak menjadi pondasi bagi perjalanan kreatifnya.
Komitmen Kang Yaya terhadap pelestarian musik tradisional tercermin dalam upayanya membentuk kelompok musik tani bersama para petani di Karawang. Meski jadwal latihan terbatas dan kelelahan menjadi tantangan, semangat mereka tak padam, terutama ketika tampil di acara Hari Bumi dan penghormatan untuk mendiang Paul.
Bagi Kang Yaya, musik bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari warisan budaya dan spiritualitas yang menghargai alam serta sejarah leluhur. Ia berharap generasi muda dapat melihat musik tradisional sejajar dengan musik modern, sehingga keduanya bisa berjalan beriringan dan terus berkembang dalam harmoni.
Halo, Kang Yaya, apa kabar nih? Boleh memperkenalkan diri dulu ke para pembaca Nyimpang?
Halo. Alhamdulillah, kabar saya baik. Nama lengkap saya Yaya Sunarya. Saya asal Karawang, tinggal di Sindang Kaluya, dan lahir pada 23 Juni 1993. Kegiatan saya sehari-hari ngajar di sekolah, tepatnya di SMPN 1 Pabayuran, Kabupaten Bekasi. Kalau di Karawang, saya melatih musik tradisional seperti angklung, gamelan degung, kecapi, dan seling. Di SMPN 1 Pabayuran saya ngajar mata pelajaran Bahasa Indonesia karena saya lulusan S1 Pendidikan dan Sastra Bahasa Indonesia.
Oh, jadi sehari-hari ngajar, ya, Kang. Omong-omong, ayah Kang Yaya juga musisi, kan? Boleh ceritakan sedikit tentang sosok ayah dan bagaimana pengaruh beliau dalam perjalanan bermusik Kang Yaya?
Berpengaruh banget, termasuk juga wejangan-wejangan dari almarhum ayah. Jadi, di masa tuanya, ayah sempat ngasih pengetahuan soal gamelan dan kendang, yang jadi modal awal saya untuk berkesenian di musik tradisional. Mungkin tanpa ilmu itu, saya gak akan bisa seperti sekarang. Setelah itu, saya ketemu juga sama teman-teman yang aktif bermusik di Karawang. Dari situ, kemampuan saya makin terbentuk.
Apa motivasi utama Kang Yaya terus mengajar musik tradisional, khususnya kendang?
Pertama karena dari keluarga yang memang dekat dengan musik tradisional. Saya dikenalin musik tradisional lebih dulu ketimbang musik lainnya. Selain itu, biar musik tradisional tetap lestari. Soalnya yang mengkampanyekan musik tradisional itu sedikit. Saya ingin terus memperkenalkannya, supaya nggak hilang. Biar masyarakat umum dan generasi muda khususnya bisa mengenal, memahami, dan mengapresiasi musik tradisional. Harapannya, musik tradisional Sunda khususnya tidak punah.
Oke. Kembali soal mengajar musik, gimana cara Kang Yaya mengajar anak didiknya dalam bermusik tradisional?
Biasanya saya buka dulu dengan cerita sejarah. Dari pertanyaan murid-murid, saya olah lagi biar lebih cepat dipahami. Karena tiap murid beda-beda sifat dan kemampuannya. Jadi, saya ajak ngobrol dulu, musik kesukaan mereka apa, lalu pakai metode yang pas. Akhirnya komposisinya 20% teori, 80% praktik. Supaya nggak jenuh, dan materi bisa langsung meresap.
Sepakat, Kang. Ngomong-ngomong, kan Kang Yaya fokus bermusik kendang iya. Nah, kapan pertama kali Kang Yaya sadar bahwa musik, khususnya kendang, bakal jadi jalan hidup?
Aku ingat waktu ayah sakit. Kadang sembuh, kadang sakit. Yang paling aku ingat itu masa-masa samen, masa perpisahan. Waktu itu ayah sering dipanggil karena jasa-jasanya oleh teman-temannya. Terus, temennya nawarin ke ayah buat main kendang, tapi ayah gak bisa. Akhirnya aku yang ditunjuk. Aku minta diajarin kendang. Tapi sampai ayah meninggal, aku belum sempat belajar banyak. Akhirnya aku belajar sendiri. Itu kejadiannya waktu aku kelas 9 SMP, sekitar tahun 2009. Dari situ aku mulai menapaki jalan musik.
Di mana Kang Yaya biasanya dapat inspirasi buat bikin karya baru?
Biasanya dari lingkungan sekitar. Saya observasi dulu, terus merenung, baru mencipta. Kadang cepat, kadang lama, tergantung mood juga. Kadang bisa tiba-tiba datang idenya, langsung ditulis.
Oh iya, dari yang saya pantau lewat postingan Kang Yaya di Instagram, Kang Yaya punya semacam grup musik tani. Siapa saja anggota grup musik tani Kang Yaya sekarang, dan gimana proses mereka belajar musik bareng Kang Yaya?
Anggotanya ada Rian (gambang), Dodi (suling), Bedoy (bonang), Sharon (parjo), Heru (demung), dan Uta (kecrek). Waktu itu latihannya gak intense banget, cuma lima kali. Karena mereka petani, dari Senin sampai Sabtu kerja. Jadi, malam Minggu kita ngulik materi musik sambil latihan. Tantangannya tentu ada, karena mereka kelelahan habis kerja. Tapi karena tekad yang kuat, akhirnya bisa juga pas hari H tampil.
Kapan grup musik tani ini terbentuk? Dan ada momen paling berkesan sejak terbentuk?
Grup ini terbentuk akhir Februari, sebulan sebelum Hari Bumi tahun 2025. Waktu itu Mbak Tati ngobrol sama Mas Tauhid, lalu muncul ide: gimana kalau pemain gamelannya dari petani? Nah, kita ikut sertakan di Hari Bumi. Pertama untuk Hari Bumi, kedua untuk tribute ke Pak Paul.
Kenapa menurut Kang Yaya penting melibatkan masyarakat tani dalam aktivitas bermusik?
Kalau di Kaliaget, alasannya karena mereka teman-teman Pak Paul juga. Minimal mereka bisa mengenal tradisinya sendiri. Dulu juga ada ritual-ritual di desa yang berkaitan dengan musik. Nah, musik itu jadi cara untuk melestarikan tradisi. Sebenarnya, itu bukan sekadar soal hal-hal mistis, tapi tentang menghargai alam.
Gimana cara Kang Yaya menjaga semangat bermusik tetap hidup, apalagi di tengah tantangan zaman sekarang?
Kalau saya sih nggak pernah ngeluh, hehehe. Saya anggap ini sudah bagian dari hidup. Sudah kayak panggilan jiwa. Jadi, saya jalani aja tanpa ogah-ogahan. Intinya, ini bagian dari menjaga perjuangan nenek moyang, terutama perjuangan ayah saya. Minimal saya bisa setara sama ayah, atau bahkan melampaui beliau.
Apa harapan Kang Yaya terhadap perkembangan musik tradisional ke depan, terutama di kalangan generasi muda?
Harapannya musik tradisional bisa sejajar, nggak dibeda-bedakan dari musik modern. Bisa jalan bareng, dipelajari, dipraktikkan, dan dinikmati sama-sama. Bisa kolaborasi, misalnya 50:50 atau 70% tradisional, 30% modern. Yang penting tujuannya melestarikan musik tradisional.
Leave a Comment