Tangan-tangan wayangnya berisi doa yang berbentuk angka, simbol, dan spiritualitas agraris.
Belajar Bersyukur dari Wayang Kalapare karya Arul Suryakila

Profil Singkat
Di tangan Kang Arul, jerami dan bulir padi bukan sekadar sisa panen, melainkan bahan baku penuh makna. Lahir di Banyumas dan tumbuh besar di Ciamis, Kang Arul memulai perjalanannya di dunia kesenian tanpa niat muluk—sekadar mencoba dan bereksperimen saat ditugaskan di bagian kebudayaan tahun 2015. Dari situlah lahir Wayang Kila, wayang jerami pertamanya.
Ketika kemudian pindah ke Karawang pada 2016, ia tak sekadar membawa badan, tapi juga semangat melestarikan adat tradisi budaya leluhur. Dari sinilah muncul Wayang Kalapare—wayang simbolik berbahan padi utuh, terinspirasi dari tradisi petani menggantung pare indung di atas pintu rumah dan Wayang Kila.
Bagi Kang Arul, Kalapare bukan sekadar karya seni, melainkan perpanjangan dari doa, bentuk penghormatan terhadap petani, dan penolak bala yang bersahaja. Tangan-tangan wayangnya berisi doa yang berbentuk angka, simbol, dan spiritualitas agraris. Di balik kekhusyukan membuat satu demi satu Kalapare, ia membawa harapan agar masyarakat kembali bersyukur kepada alam, kerja keras petani, dan tak melupakan adab bertani.
Mari simak wawancara Nyimpang dengan Kang Arul.
Halo, Kang Arul. Dari aktivitas Instagram-nya, kelihatan Kang Arul senang membuat wayang dari bahan jerami dan padi. Bisa ceritakan sedikit tentang diri Kang Arul dan bagaimana awal mula hobi ini terbentuk?
Iya, bisa dibilang saya memang senang membuat sesuatu. Tapi awalnya ini terjadi tanpa rencana. Saya lahir di Banyumas, tapi sejak usia tiga bulan sudah dibawa ke Ciamis. Biasanya pas Lebaran saya sempatkan mampir ke Banyumas.
Saya pindah ke Karawang sejak 2016. Sebelumnya, saya mengabdi di UPTD Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Lakbok, Kab. Ciamis sebagai Honorer di tahun 2015, lalu ditugaskan di bagian kebudayaan. Nah, mulai ada keinginan supaya kesenian khas yang lahir di Kecamatan Lakbok. Lalu bersama para sahabat seniman di Kecamatan Lakbok dan Sanggar Seni Putra Budaya Sari di Banjar, kami bersama-sama membuat satu kesenian yang diberi nama Wayang Kila yang terbuat dari jerami padi yang sudah digebot (dirontokkan bulir padinya). Alhamdulillah, Wayang Kila ini pertama kali diluncurkan November 2015.
Kemudian, awal 2016 saya pindah ke Karawang karena ada tawaran untuk mengabdi di pemerintahan Kabupaten Karawang. Mungkin karena bakat saya terlihat, akhirnya saya mulai berproses di Karawang dan lanjut mengembangkan karya-karya ini, dan kemudian membuat karya Wayang Kalapare.
Bolehkah Kang Arul menceritakan secara singkat apa itu Wayang Kalapare dan keunikan utamanya dibanding wayang lain?
Wayang Kalapare itu berawal dari inspirasi terhadap tradisi petani yang biasa menggantung padi—biasanya disebut pare indung—di atas pintu rumah. Biasanya itu cuma diikat biasa, tapi saya coba kreasikan bentuknya, terinspirasi dari Wayang Kila, hanya saja medianya bukan jerami, melainkan padi utuh yang masih berbulir.
Nama Kalapare sendiri saya ambil karena masih ada unsur pare atau padinya. Kalau Wayang Kila itu berbahan jerami yang sudah digebot, sementara Kalapare masih utuh.
Keunikan Kalapare adalah bentuk dan maknanya. Saya menyusun elemen-elemen seperti jumlah tangan atau ornamen berdasarkan makna tertentu. Misalnya tangan kanan saya buat sembilan, karena angka satu sampai sembilan itu punya nilai simbolik, seperti Wali Songo dalam Islam. Dan juga angkanya berdasarkan jumlah batang jerami padi untuk tangan. Tapi tidak harus selalu begitu, bisa juga saya sesuaikan dengan tanggal lahir orang yang akan diberi Kalapare, sebagai bentuk doa dan harapan. Kalapare ini juga mengandung unsur spiritual sebagai perantara penolak bala.
Siapa sosok guru atau tokoh yang pertama kali mengenalkan Kang Arul pada seni wayang?
Salah satu orang yang sangat berjasa mengenalkan saya ke dunia kesenian adalah almarhum Kang Lengser Dower, nama aslinya Sholeh Azis. Beliau mengenalkan saya ke Kang Dalang Dian, seorang dalang Wayang Golek. Dari situ saya mulai tertarik terlibat membuat kesenian dari Lakbok, termasuk mengenal jerami dan Wayang Kila. Bersama Kang Dower, Kang Dian, Kang Iwan, Kang Arif, Kang Bayu, dan seniman dari Sanggar Putra Budaya Sari, kami mengusulkan agar kesenian itu dikolaborasikan dengan wayang yang terbuat dari Jerami.
Karena merasa sudah ikut terlibat dari awal, saya merasa punya tanggung jawab untuk terus melestarikannya, termasuk saat saya pindah ke Karawang.
Di mana saja Kang Arul biasa mengumpulkan bahan padi untuk membuat wayang, dan bagaimana prosesnya?
Saya ambil dari mana saja selama masih di Karawang dan ada sawahnya. Biasanya saya kumpulkan padi dari 30 kecamatan yang ada di Karawang. Prosesnya saya mulai dari bertanya ke petani, “Sudah panen belum?”, lalu saya tanya lagi, “Ada nggak padi yang jeraminya masih lengkap dengan bulirnya?” Kalau ada, saya beli.
Untuk saat ini, Saya biasanya membuat Kalapare di tempat di mana padi itu dipanen. Proses pembuatannya sekitar satu sampai dua jam, tergantung jumlah padi dan kompleksitas permintaan.
Mengapa Kang Arul memilih untuk fokus pada Wayang Kalapare di antara banyak pilihan kesenian lain?
Saya menganggap kesenian ini sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih, karena meski saya bukan petani, saya menikmati hasil tani setiap hari, jadi punya kewajiban untuk berterima kasih kepada para petani.
Kalapare ini juga sebagai penanda bahwa Wayang Kila pernah ada di Karawang, dan sekaligus menjadi simbol rasa syukur atas ilham yang saya dapat waktu membuat Wayang Kila di Desa Karangjaya, Kecamatan Tirta Mulya. Ilham itu muncul saat melihat padi yang digantung di atas pintu rumah Petani.
Apa cerita lokal Sunda atau legenda setempat yang paling sering Kang Arul angkat dalam konteks Kalapare?
Kalapare itu bukan untuk dipentaskan, jadi bukan seperti wayang cerita. Ia dihadirkan sebagai simbol rasa terima kasih kepada petani dan padi itu sendiri. Kita kadang lupa betapa besar kerja keras petani. Meski dalam agama kita diajarkan untuk berdoa sebelum makan, saya merasa perlu juga ada bentuk penghormatan khusus.
Kalapare ini saya niatkan sebagai bentuk Bakti saya ke Karawang khususnya para Petani di Karawang. Kalapare juga diyakini sebagai pelantara penolak bala juga dalam tradisi petani di Karawang, bukan untuk disembah tentunya, tapi sebagai perantara Tuhan memberikan rezeki kepada kita dan untuk mengingatkan kita pada Tuhan dan pada alam. Itulah kenapa tidak ada bambu atau kayu untuk menopang, semuanya dari batang padi dan tali rami.
Siapa saja yang mendukung saat Kang Arul pindah ke Karawang?
Kebetulan yang membawa saya ke Karawang adalah Kang Agus dan Istrinya Bu Nani Dwi Astuti yang merupakan saudara dari istri saya, sangat mendukung kegiatan saya.
Saya merasa seperti sedang kuliah gratis di Karawang, belajar banyak hal tentang tradisi pertanian tradisional : mulai dari mendoakan lahan, menanam, hingga panen. Bedanya, saya sambil mengabdi di pemerintahan. Jadi, bukan hanya bekerja, tapi sekaligus belajar.
Bagaimana respons masyarakat Karawang terhadap Wayang Kalapare?
Alhamdulillah, beberapa teman dan sesepuh Karawang memberikan dukungan besar. Bahkan, ada yang minta dibuatkan Kalapare di rumahnya kalau bahan padinya tersedia.
Sekarang Kalapare juga sudah didaftarkan hak cipta (HAKI). Awalnya saya enggan karena saya anggap ini milik petani, bukan saya. Tapi para sepuh dan penggiat budaya menyarankan agar dilindungi secara hukum, supaya tidak disalahgunakan. Misalnya saja, apabila ada pihak tertentu yang menggunakan Kalapare sebagai bahan ritual yang tidak elok, atau tidak pantas, maka saya memiliki hak untuk memintanya supaya hal itu dihentikan.
Saya dibantu oleh Dr. Solehudin dari Unsika yang juga punya tradisi pertanian kuat untuk mendaftarkan Wayang Kalapare untuk masuk HAKI. Nama beliau tercantum di sertifikat karena bantu mengurus hak ciptanya, selain saya yang tertulis menciptakannnya.
Apa tantangan terbesar yang Kang Arul hadapi saat membuat Kalapare?
Tantangan terbesarnya adalah keterbatasan bahan. Karena mengandalkan panen padi, saya tidak bisa membuatnya kapan saja. Harus menunggu musim panen.
Apa harapan Kang Arul untuk Wayang Kalapare ke depannya?
Saya ingin tradisi pertanian leluhur kita tetap lestari. Banyak tradisi sudah mulai hilang, seperti berdoa sebelum menanam atau panen. Kalapare saya harap bisa membawa semangat itu kembali—semangat syukur dan hormat pada alam. Saya sangat mengapresiasi petani organik di Kaliaget karena mereka mencoba mempertahankan itu. Harapannya, adab dalam bertani juga kembali digunakan, bahkan sebelum bicara soal organik.
Apa pesan yang ingin Kang Arul sampaikan untuk pembaca Nyimpang yang tertarik dengan Wayang Kalapare?
Iya, seperti harapan saya tadi sih, kita jangan lupa pada petani dan alam ini. Petani itu sudah bekerja keras dari pagi sampai sore, untuk menanam, walaupun mereka itu untuk memenuhi kebutuhannya, tapi mereka sudah memenuhi kebutuhan kita, dan tolong jaga ekosistem ini—jangan anggap hama itu sebagai musuh, tapi sebagai satu kesatuan ekosistem. Dan kalau ada yang tertarik dibikinkan wayang Kalapare, tinggal bawa saja bahan-bahannya, dan selama ini saya tidak menentukan harga, karena ini sebagai wujud terima kasih saya.
Leave a Comment