Setelah berbulan-bulan ditempa pekerjaan yang tiada henti dan menguras otak banget, Bebes (bestie banget gak tuh?), teman saya di kantor tiba-tiba saja meregangkan otot-ototnya sambil berkata,
“Bes, kalau si Koko minta kamu berhenti kerja, kamu bakal berhenti?”
Lalu saya merenung 30 hari. Gak deng.
“Kayanya enggak deh, Bes. Eh tapi gak tahu juga, sih. Kalau gw dimodalin usaha juga gw takut one day gw sama dia gak baik-baik terus pisah misal, terus jadi ribet dah tuh. Soalnya ya kita kan gak tahu ya, ada apa di depannya. Kalau kamu?”
“Ya, aku sih sempat kepikiran. Pasanganku juga nanya kan kalau aku suruh kamu berhenti kerja gimana? Lalu aku bilang sama dia, hei tanggunganku tuh segini-segini, emang kamu nyanggupin itu?!” katanya bersungut-sungut seperti biasa
“Hm, terus?”
“Dia bilang dia nyanggupin,”
“Hm,”
“Aku juga gak yang pengen beneran diam aja gitu enggak, Bes. Aku ingin punya kebun, gitu. Ngurus-ngurus kebun.”
“Anjay. Sumatra banget ye.” kata saya sambil meledek diri sendiri.
Ya faktanya pasangan gw yang orang Sumatra juga kerjanya ngebon manggis sama alpuket, coy. Ya bosan dikit buka futsal, beli pulau, tapi yang utama memang ngebon, sih. Lalu saya ngobrol lagi, lah.
Lu Punya Duit, Lu Punya Kuasa
Begini. Beberapa orang mungkin tahu latar belakang saya adalah keluarga bangkrutan. Tapi pas bapak saya masih tajir juga saya emang jarang dikasih duit dan barang, anjrit. Jadi begitu dilepas dikit ya saya juga merasa harus survive dan I did that all by myself. Bahkan sampai sekarang saya yang nopang semua keluarga saya gitu, loh.
Jadi, kalau disuruh suami tidak bekerja tuh tentu za akan menjadi mimpi buruk buat saya. Pertama, saya tahu uang berkuasa di atas segalanya, no debate. Gak usah munafik lo-lo pada gak bakal kenyang makan cinta. Ada uang mah yang bukan saudara juga pada ngaku-ngaku.
Sudah sejak lama saya menopang keluarga saya, dan hasilnya? Gak ada satupun orang yang bisa mengganggu saya, atau nyuruh-nyuruh saya, melarang kehendak saya.
Sebelum itu? Ya at least sampai SMA lah Bapak saya suka menghukum saya dengan gak ngasih uang bekal ketika saya gak nurutin maunya, katakanlah: ibadah. Terlepas dari benar atau tidak, tapi itu realita yang saya dapatkan juga di dunia setelah saya dewasa, kok. Jadi saya udah paham banget no money, no power.
Maka di dalam hidup saya saat ini, uang dan rokok adalah segalanya. Kanvas butuh dibeli, laptop perlu dicas, Pajero kudu dibensinan, jadi selama saya masih mau melakukan hal-hal yang saya mau, ya saya harus bekerja. Bahkan ketika saya gak ngapa-ngapain pun, rokok harus dibeli.
“Gimana kalau suami nyuruh kamu berhenti kerja?”
Kayaknya, meningan enggak deh. Setajir apapun itu laki, saya lebih nyaman menghasilkan uang saya sendiri (even dengan modal sendiri, ya). Kalau disuruh usaha dan dimodalin pun, anjir gw takut tiba-tiba pisah terus diminta balik lah itu modal.
Ketika suami saya melakukan kesalahan, saya takut akan tersendat karena,
“Halah, kamu kan udah aku modalin. Ya udah lah aku cuma ngelakuin kesalahan segitu doang mah maafin aja.”
“Halah gak tau diri.”
“Halah. Lo juga mau sama gw karena duit gw kan.”
Nah hal-hal yang kaya gitu loh yang saya tuh kayanya gak bisa dengar.
Ramainya Konten-Konten Perempuan Naikin Value untuk Menarik Laki-Laki yang Siap Menafkahi
Saya gak pakai teori apa-apa nih, ya. Ini murni pemikiran saya. Coba CMIIW, atau kalau pembaca punya ide lain ya boleh-boleh aja nulis.
Sekarang tuh banyak banget ya konten kreator atau ya katakanlah influencer yang gak harus bikin konten dengan naskah dan ngomong panjang lebar lalu dihujat serombongan ubur-ubur seperti saya. Sesimple konten video random saja, lalu tempelin tulisan dan gagasan-gagasan saja.
Nah, lalu sekarang kan banyak banget ya kreator perempuan yang fokus pada isu-isu perempuan. Tapi ini saya akhirnya nemu beberapa perbedaan, saya kemudian membagi kreator yang fokus pada “isu perempuan” menjadi 2 kategori.
Pertama, fokus sama pengembangan diri.
Kedua, fokus sama ngembangin diri supaya menarik laki-laki yang bisa nafkahin.
Sisanya, akun-akun dengan nama semacam alphawomanenergy, atau masculinewoman isinya kurang lebih quote-quote dari film atau buku saja. Yang menurut saya, kurang begitu berpengaruh sih.
Saya kadang bingung juga sih sama konten-konten yang perempuan sambil make-upan, lalu scriptnya kurang lebih gini,
“Split bill? Sorry. Gak dulu say.” atau konten dengan tulisan
“Tanganku gemetar diajak salan sama doi tapi gak dikasih makan sampai gerd-ku kambuh.” atau,
“Ini siapa yang ngide independent independent woman sih ah?! Gw kalau bisa diurus mah mending diurus!”
Ya konten-konten semacam itu lah.
“Jauhkan saya dari cowok mokondo.” lalu dibarengi dengan komentar “Halah. Cewek juga momekdo.” Yang bikin saya tuh pengen banget teriak
“Ayng! Saria teh jelema, mun hayang duitnya gawe tong menta ka kabogoh! Rek lalaki atawa awewe, sugan!”
Saya tuh sering banget loh bilang, kayaknya di semua tulisan deh. Pembahasan apapun, even di tulisan saya yang bahas cowok mokondo, saya juga bilang mau kamu laki-laki atau perempuan, kamu tuh wajib biayain diri kamu sendiri.
Buset. Percaya deh, coy. Kerja tapi duitnya buat orang tuh sakit hatinya another level. Seikhlas apapun, sesayang apapun, tetap aja kita harus mengurung keinginan kita, kita harus menunda keinginan kita untuk mendahulukan orang lain dan saya tau itu gak enak banget.
Jadi please, lah. Laki-laki juga kasihan, lho. Saya suka sedih kalau lihat pasangan saya capek kerja ke sana-ke sini, ngecat pagar kebon, mandorin kebon, ya meskipun you know lah tapi namanya kerja, namanya cari duit mah stress anjrit.
Makanya udah dah selama belum pada puas keinginan masing-masing mah ditunda dulu coba itu sayang-sayangannya.
Saya kadang suka bingung ya. Semakin banyak kontenyang muncul justru semakin memperkuat kalau,
“Laki-laki tuh emang harus nafkahin perempuan, kok.”
“Lah lu mah enak, perempuan! Perempuan diam gak kerja juga gak masalah!”
Kasihan juga sih, dan jadi bingung loh pasti. Di satu sisi, banyak konten kreator yang vokal sama pengembangan diri perempuan, tapi di sisi lain banyak juga yang cuma fokus sama pengembangan diri perempuan biar “menarik laki-laki yang siap menafkahi Anda.”
Pride Manusia
Saya tahu gak semua. Tapi pasangan saya dan pasangan Bebes berasal dari kalangan high class, sedangkan kami keluarga bangkrutan. Bedanya, keluarga Bebes berhasil keluar dari sana, saya sampai sekarang masih merangkak saja.
Kami mengobrol soal kecenderungan ego antar pasangan yang kurang lebih sama: pasangan kami merasa berhasil atau sukses ketika mereka bisa membuat kami duduk nyaman tanpa harus ngapa-ngapain.
Mungkin gak semua laki-laki, ya. Tapi selain pasangan kami, saya rasa ada juga laki-laki lain yang berpikir seperti ini.
Sedangkan saya, yang sudah pernah jatuh dan merasakan lebih banyak kejatuhan finansial punya ketakutan soal itu, karena saya tahu saya akan dengan sangat mudah diinjak-injak jika tanpa uang dan penghasilan. Oleh siapapun itu, sekalipun pasangan. Percayalah, itu gak enak.
Ketika pride laki-laki saya begitu, maka saya yang pridenya bisa melakukan semua hal sendiri tuh ya harus tetap dong sama pendirian saya. Kan ada 7 hari tuh dalam seminggu, ya 5 hari lah saya jadi bos di kantor, 2 harinya jadi ratu di rumah gak usah ngapa-ngapain. Cukup fair, bukan? 😉 Ang ang ang.
Mati-Matian Berkarir
Saya mati-matian berkarir untuk mempertahankan keluarga saya tetap makan dan kegiatan saya tetap berjalan. Sebab saya tahu, keluarga saya itu bukan tanggung jawab pasangan saya. Toh, one day kalau dia mau bantu ya sudah bantu saja, tapi kan tidak semua hal harus dia penuhi. Kebutuhan utamanya tetap harus saya yang penuhi, dan ini prinsip. Saya gak mau suatu hari keluar istilah “Halah dulu keluarga kamu aku bantuin blablabla.”.
The thing is, kita gak akan pernah tahu ke depannya akan seperti apa. Maka saya menjaga hal-hal yang mungkin terjadi, dan “meminta” bukan gaya saya. Angzay.
Hobi pasangan saya bukan melukis, menulis, atau bermusik. Jadi gak akan ada kanvas lebihan yang bisa saya pakai. Maka saya harus kerja untuk bisa beli kanvas.
Saya suka minum dingin, pasangan saya suka minum dingin. Kalau saya beli minum dingin, saya pasti beli 2. Begitupun sebaliknya. Tapi ketika kami melakukan hobi masing-masing, ya sudah. Lakukan pakai uang sendiri.
Ini alasan saya sampai kapanpun kayanya saya tetap ingin bekerja, atau ya berbisnis lah ya kalau bisa jadi bos. Ya banter modal pinjam ke bank, lah. Gak usah minta ke pasangan, takut sumpah. Gimana kalau dia merasa saya manfaatin dia? Itu kan gak enak banget.
Hal-hal yang seperti itu yang saya hindari.
Lantas bagaimana dengan posisi IRT karena mau? ya gakpapa selama kamu bahagia. Kan gitu. IRT juga gak buruk, kok. Kalau kamu happy jalaninnya, ya gaskeun.
Lalu gimana kalau posisinya suami yang di rumah, istri yang kerja? ya gakpapa selama kamu bahagia. Kan gitu. Kalau pada happy jalaninnya, ya gaskeun.
Asal itu biaya tercukupi dan asal happy mah ya sudah. Uruslah masing-masing. Besides, kenapa harus selalu ditanyakan sama perempuan? padahal banyak kok laki-laki yang ikut perempuannya study abroad, contohnya Wikan dulu sama Afutami.
Yang tahu ego dan kebutuhanmu kan dirimu sendiri, yang tahu pasanganmu kan ya dirimu sendiri. Kan aneh kalau saya tahu pasangan orang☹. Amit-amit.
Tapi, kalau saya yang ditanya, ya tentu za ego Princess Dago ini kan tidak bisa dan tidak mau diatur, jadi ya demi kebebasan itu, saya harus bekerja dan tetap menghasilkan uang. Justru kayanya masalah saya dan pasangan tuh bukan di berhenti atau tetap bekerja, deh. Tapi lebih ke “Tinggal di mana?” ah. Dahlah. Besok lagi aja bahasnya kalau yang ini.