Rakyat yang mencoba bertahan di tengah ketidakhadiran negara.
Jika Jembatan Haji Endang Dibongkar

Suatu hari dalam hidup Rasman…
Rasman bangun pukul empat lewat tiga belas. Bukan karena alarm—dia tidak punya itu—melainkan karena hujan semalam turun terus-menerus dan bocor dari atap rumah petak yang ditempati sejak anak pertamanya belum bisa jalan. Tikar gulungnya lembap, punggungnya lengket, dan selimut bau apek menempel di kakinya. Tapi, tak ada waktu untuk mengeluh. Pagi tak pernah memberi ruang untuk malas.
Ia menyiram wajah dengan air sumur yang dinginnya menggigit tulang. Lalu duduk sambil mengunyah nasi dingin sisa semalam yang digoreng setengah matang—kompor mati di tengah jalan karena LPG kehabisan napas. Tempe goreng terakhir dibagi dua: separuh untuk dia, separuh ditinggal di piring plastik untuk istrinya nanti bangun.
Lalu ia keluar. Motor Astrea tahun ’97 didorong pelan dari ruang tamu ke luar pintu. Suaranya makin parau belakangan ini. Kadang batuk, kadang ndut–ndutan. Tapi, Rasman sudah hafal kapan harus mencubit kabel gas agar tidak mati mendadak.
Langit Karawang masih setengah gelap. Udara pagi itu tebal—campuran asap knalpot, bau got, dan aroma gosong dari belakang warung yang semalam bakar tengi. Gang kecil Kampung Rumambe menuju sungai sudah penuh. Deretan motor berjajar. Orang-orang berjaket lusuh berdiri diam. Anak-anak sekolah mondar-mandir dengan tas robek dan rambut lepek. Ibu-ibu menggenggam bakul sayuran, dan sesekali ojek online menatap layar ponsel sambil mengumpat karena sinyal hilang.
Semua menunggu giliran menyeberang. Di situlah Jembatan Haji Endang berdiri—lebih tepatnya, mengapung. Bukan jembatan, hanya potongan drum dan papan tambang, ditarik pakai tali nilon kasar, digerakkan bukan oleh mesin, tapi otot manusia yang belum sarapan.
Rasman berdiri di ujung perahu tambang. Satu tangan menggenggam stang motor, satu lagi membetulkan kaca helm hadiah showroom yang sering buka-tutup sendiri. Sungai Citarum mengalir lesu di bawah. Warnanya cokelat tua, kadang hitam, kadang berbuih putih seperti air sabun yang lupa dibilas. Bau amis dan bahan kimia menyergap keras di hidung. Tapi, tak ada yang peduli. Tak ada yang bertanya air ini beracun atau tidak. Semua diam, seperti biasa.
Mereka hanya ingin menyeberang, karena hanya itu satu-satunya jalan menuju pabrik sebelum jam tujuh. Karena negara tidak pernah hadir saat dibutuhkan. Ia hanya muncul ketika rakyat sudah punya solusi sendiri—dan datang bukan membawa bantuan, tapi bendera dan segel.
Dua hari lalu, BBWS datang. Mereka berdiri di ujung tambang pakai rompi oranye, bawa clipboard, pakai helm proyek meski tak ada proyek apa pun di situ. Senyumnya kaku, seperti tenaga penjual properti yang sedang prospek lahan banjir.
Di tangan mereka, spanduk besar bertuliskan
“Bangunan Tidak Berizin. Akan Dibongkar.”
Kalimat itu ditulis besar-besar, seperti ancaman dari negara yang tidak pernah bertanya siapa yang menyeberang tiap hari, siapa yang menarik tambang saat hujan, siapa yang tercebur saat kabel putus, atau siapa yang telat lima menit dan gajinya dipotong setengah hari.
Waktu itu, Rasman baru turun dari perahu. Kakinya basah. Celana kerja sudah bercak lumpur. Tapi ia hanya diam, melihat dari jauh, menahan semua umpatan di tenggorokan karena tahu percuma. Mereka tidak akan dengar. Mereka datang bukan untuk bicara, tapi untuk menyegel.
Hari itu Rasman tetap kerja. Tangan penuh oli, suara mesin menggema tanpa jeda, dan mandor cerewet seperti biasa. Waktu istirahat dua puluh menit, itu pun diambil lima menit untuk antre toilet. Tapi, kepalanya sibuk membayangkan hal yang sama: bagaimana kalau besok jembatan itu sudah tidak ada? Apakah ia harus memutar satu kilometer melewati jalan rusak yang penuh truk parkir? Apakah dia akan sampai tepat waktu? Atau malah telat, lalu disuruh tanda tangan surat peringatan di HRD?
Malamnya, Rasman mampir ke warung kopi. Orang-orang sudah duduk, bicara pelan, sebagian cemas, sebagian menyindir. Ada yang bilang BBWS akan datang lagi. Ada yang bilang Haji Endang dipanggil ke kantor.
Ada juga yang bercanda, “Geus… isukan mah mawa jero ban mobil weh keur nyebrang.”
Tawa terdengar, tapi seperti biasa: tawa orang yang sedang panik, tapi tidak tahu harus marah ke siapa.
Rasman hanya duduk. Rokok di bibirnya mati sebelum habis. Dia tak banyak bicara. Bukan karena pasrah, tapi karena tahu semua orang di situ juga tahu: kalau jembatan itu dibongkar, hidup mereka tidak akan lebih baik.
Rasman tetap harus kerja, kerja, kerja.
Tetap harus bangun sebelum ayam, tetap harus makan nasi sisa, tetap harus berangkat dalam gelap, mungkin lebih jauh, lebih capek, lebih mahal. Tidak ada angkutan pengganti. Tidak ada subsidi. Tidak ada jembatan pengganti. Negara tidak akan datang membawa solusi. Ia hanya akan bicara prosedur. Bahwa pembongkaran ini sah, bahwa sungai harus steril, bahwa tata ruang harus rapi.
Hah, rapi?
Hah, prosedur?
Prosedur yang ditulis di ruangan ber-AC, ditandatangani pejabat yang belum pernah berdiri di atas drum tambang, tidak tahu bau Citarum, tidak pernah dihitungkan absen jam tujuh? Rasman tidak tahu. Tapi dia tahu satu hal: tambang yang ditarik setiap hari itu lebih berguna dari rencana jembatan beton yang lima belas tahun tak pernah lebih dari gambar brosur kampanye.
Kalau esok pagi jembatan itu sudah dibongkar, Rasman akan tetap datang ke sungai. Kalau perlu dia lepas sepatu, gulung celana, dan angkat motor nyebur ke air. Bukan karena dia kuat, tapi karena dia harus. Sebab absen jam tujuh tak kenal kompromi, sebab upah kecil itu tetap harus dibawa pulang karena anaknya butuh susu, bukan alasan.
Dan kalau negara tetap bersikeras menyegel dan membongkar apa yang dibangun rakyat, jangan heran kalau suatu hari rakyat berhenti tunduk. Sebab tambang bisa ditarik, papan bisa diangkut, tapi sabar yang diinjak terus-menerus bisa meledak sewaktu-waktu.
Leave a Comment