Teman saya (katakanlah Aep) bercerita, suatu hari Aep pergi mendaki gunung untuk mencari ilmu ketahanan diri. Konon, ilmu ketahanan diri adalah modal awal bagi mereka untuk menjelang tahun pemilu. Mereka percaya, untuk mengikuti kontestasi politik sebagai Caleg, setidaknya mereka harus punya 2 landasan kuat; (1) Konstituen yang akan memilih mereka, dan (2) Konstituen yang akan melindungi mereka.
Yang menarik buat saya, Aep ini bilang bahwa poin kedua adalah apa yang mereka sebut sebagai ‘pasukan langit’. Hal-hal gaib yang bahkan bagi sebagian dari kita, mungkin, adalah hal-hal yang tak pernah kita percaya eksistensinya seperti genderuwo yang lahir dari akar pohon beringin atau wewe gombel penghuni kebun bambu, atau kolor tuyul yang disimpan di panci penjual bakso supaya dagangannya laris.
Agak sulit diterima logika memang. Namun bagi para Caleg, ya mau-tidak mau, percaya-tidak percaya, harus mereka coba. Mereka akan memasuki realisme magis yang dipercaya dapat mendulang suara dan mengamankan diri dari tindakan jahat yang barangkali bisa saja mengancam keamanan hidup mereka.
Aep juga bercerita, di salah satu daerah pelosok di Sukabumi, beberapa Caleg dari satu partai pernah mengajaknya untuk mendaki gunung bersama-sama. Mereka mengikuti instruksi para tetua yang mereka temui dalam agenda politik dan kebetulan senang mengeksplorasi secara luas hal-hal yang berkaitan dengan metafisika.
Ketika sudah sampai di puncak gunung, mereka akan melaksanakan tawasul. Aep ini kemudian mempersilakan salah satu dari mereka (maksundya para Caleg untuk memimpin tawasul), karena bagi Aep–meski ini hanya alasan saja–ia tidak punya kepentingan apapun untuk memimpin tawasul itu.
Tetapi kemudian Para Caleg ini mempersilakan Aep agar ia saja yang memimpin. Mereka saling melempar bola, sampai pada akhirnya, mereka sama-sama tahu kalau di antara mereka tak ada satu pun yang bisa memimpin untuk melaksanakan tawasul.
“Titel doang haji, partai doang perjuangan kiai, giliran disuruh tawasul gak bisa! Chuaaakz.” begitulah kata Aep
Mereka pergi mendaki gunung untuk melakukan sesuatu yang tak bisa mereka lakukan. Mereka percaya pada hal-hal ajaib yang tidak dapat mengubah realitas yang ada.
Bagiku, apa yang kutemui dalam beberapa bulan terakhir ini, membuatku semakin yakin kalau pemerintah kita, mereka yang mengatur sistem kehidupan bernegara dan berbangsa, adalah mereka yang tak sepenuhnya yakin pada kehidupan yang mereka jalani.
Pada akhirnya, apa yang pemerintah ciptakan kerap menjadi pemantik stres bagi rakyatnya sendiri seperti yang tim VICE temui di sini
Bagaimana caranya kita bisa hidup bahagia dengan sistem pemerintah yang dijalankan oleh orang-orang gila yang muja di gunung? Bagaimana kita bisa menaruh percaya pada mereka yang menanam keyakinan pada hal-hal yang tidak masuk akal?
Lalu salah satu temanku yang lain bilang, pada pemilu tahun depan, beberapa komedian mendaftarkan diri sebagai calon legislator. Mereka di antaranya adalah Komeng, Bedu, Denny Cagur, Opie Kumis, Narji, hingga Mongol.
“Mungkin memang lebih baik politik itu menjadi panggung komedi ketimbang menjadi panggung bagi orang-orang yang gila.”
Pernyataan itu bagiku bukan pernyataan yang ingin menyepelekan. Kita tahu semua orang dengan latar belakang apapun, berhak menjadi pemimpin bagi bangsa ini. Tetapi kita, atau setidaknya aku dan teman-temanku, tak ingin berharap apa-apa lagi pada negara.
Karena sepertinya, apa yang kita harapkan untuk kehidupan kita, hanya bisa diwujudkan oleh usaha dan upaya yang kita lakukan sendiri. Barangkali, itu satu-satunya kemerdekaan yang kita miliki.
Jadi, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Look at the staaars~