PPN 12% kabarnya akan diterapkan serentak secara resmi pada tanggal 1 Januari 2025. Bagi yang belum begitu mengikuti, PPN adalah singkatan dari Pajak Pertambahan Nilai: sebuah pajak yang diambil dari barang atau jasa yang kita konsumsi. Contoh nih, kalau kamu lagi beli makanan di minimarket, nah, harga yang kamu udah bayar itu sepaket dengan pungutan pajak yang ada di dalamnya. Jadi, di sini konsumen secara tidak langsung membayar pajak lewat konsumsi.
Pemerintah sendiri beralasan bahwa PPN 12% ini diterapkan untuk mendukung program makan bergizi gratis Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang alasannya untuk mengatasi stunting dan gizi buruk. Pemerintah sendiri telah memberi anggaran Rp 71 triliun untuk program makan bergizi gratis di dalam RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun 2025. Anggaran yang besar sekali! Menurut Dadan Hindayana selaku Kepala Badan Gizi Nasional, program makan bergizi gratis ini diberikan satu kali untuk penerima manfaat untuk mencukupi 1/3 kebutuhan gizinya per hari. Ini program yang nggak jelas.
Program tersebut bisa dibilang nggak jelas karena porsi makannya aja cuma diberi satu kali dalam satu hari, sementara masih ada selisih dua kebutuhan gizi yang mesti dipenuhi oleh orang dewasa terhadap anaknya, yang ironisnya “ditendang” pake kebijakan pajak ini, yang menyulitkan mereka untuk memperoleh makanan bergizi. Program makan bergizi gratis ini jelas kontraproduktif.
Nggak bakal bisa mengatasi stunting dan gizi buruk, yang ada cuma menambah beban kelas menengah dan bawah aja lewat pajak.
Lagian nih, kalau emang mau menggolkan kebijakan makan bergizi gratis dengan dana yang melimpah, pajakin aja orang-orang ekstra kaya di negara ini. Tapi, hal yang disayangkan adalah mereka justru bakal dapat pengampunan pajak lewat RUU Tax Amnesty yang kelak disahkan dan diundangkan, karena adanya dugaan unsur balas budi politik di masa pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang baru-baru ini saja terjadi.
Bagaimana PPN 12% “Menendang” Kita
Okay, balik lagi ke soal PPN 12%, yang walaupun katanya buat “barang dan jasa mewah” aja, tapi keberadaannya tetap memicu rasa kritis dan kecemasan di tengah masyarakat. Mengenai barang mewah dipajaki sendiri, itu udah diatur dalam objek pajak tersendiri yang bernama Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang memang sudah ada di UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Barang yang diatur dan dikenakan jenis pajak ini memang jelas mewah seperti mobil sport, yang demen dipake CEO dari Jakarta. Menyatakan bahwa PPN juga menyasar barang mewah membingungkan dan rawan “tabrakan” antar kebijakan. Ini juga menjadi tanda bahwa pembuat kebijakan ironisnya nggak ngerti kebijakan. Publik pun menangkap bahwa ini cuma akal-akalan penguasa aja buat ngeles atau nyari-nyari pembenaran buat nutupin defisit anggaran buat ngejalanin programnya.
Hal yang membuat cemas masyarakat dari rencana PPN 12% ini adalah kenaikan barang dan jasa, yang akan semakin memberatkan hidup mereka. Walaupun klaimnya cuma “barang dan jasa yang mewah,” terus kebutuhan pokok seperti tempe sehari-hari dikecualikan.
Tapi, kita tidak boleh lupa ada yang namanya cascading effect atau efek yang mengalir. Dalam rantai produksi, barang atau jasa yang mewah itu tidak terpisahkan dengan barang atau jasa yang biasa aja. Jadi nih, ada bahan utama atau bahan mentah, komponen produksi, dan alat transportasi yang dianggap “mewah” atau dikecualikan sebagai kebutuhan pokok, terus udah itu dikenai pajak, maka harga barang yang biasa aja buat rakyat kecil, tapi dibuat dengan bahan baku “mewah” dengan bantuan alat “mewah,” dan produk diantarkan menggunakan mobil “mewah” untuk sampai ke tangan konsumen, maka itu juga ikut naik harganya untuk menekan biaya operasional.
Ilustrasi Naiknya Harga dari Hulu ke Hilir
Untuk memudahkan pembaca memahami apa yang akan terjadi, maka redaksi akan memberikan perhitungan ilustrasinya dari bahan baku utama, komponen produksi, sampai ke distribusinya di bawah ini.
Bahan Baku dan Alat Produksi:
Kacang Kedelai: Bayangkanlah kacang kedelai impor yang berkualitas tinggi dianggap “mewah” dan dikenai PPN 12%.
Biaya kacang kedelai sebelum PPN: Rp 400.000 per kuintal.
PPN 12% pada kacang kedelai: Rp 400.000 x 12% = Rp 48.000.
Total biaya kacang kedelai setelah PPN: Rp 448.000 per kuintal.
Mesin Fermentasi: Kalau mesin ini dikategorikan sebagai alat produksi “mewah.”
Biaya mesin sebelum PPN: Rp 80.000.000.
PPN 12% pada mesin: Rp 80.000.000 x 12% = Rp 9.600.000.
Total biaya mesin setelah PPN: Rp 89.600.000.
Transportasi:
Bayangkanlah kendaraan yang digunakan untuk mendistribusikan tempe ke pasar adalah jenis kendaraan komersial dianggap “mewah”:
Biaya bahan bakar dan perawatan per bulan: Rp 8.000.000.
PPN 12% pada biaya operasional kendaraan: Rp 8.000.000 x 12% = Rp 960.000.
Total biaya operasional per bulan setelah PPN: Rp 8.960.000.
Efeknya pada Tempe di Pasaran:
Kalau produsen biasanya menjual tempe dengan harga Rp 15.000 per kg dan memproduksi 500 kg tempe per bulan, biaya tambahan dari PPN pada kacang kedelai, mesin, dan transportasi akan didistribusikan ke dalam harga jual tempe:
Tambahan biaya dari kacang kedelai per kg tempe (kalo pake seluruh kuintal kacang kedelai untuk 500 kg tempe): (Rp 48.000 / 500 kg) = Rp 96 per kg.
Biaya tambahan dari mesin per kg tempe (biaya mesin dibagi rata dalam masa penggunaan, misalnya 5 tahun, dengan produksi 6.000 kg per tahun): Rp 9.600.000 / (6.000 kg x 5) ≈ Rp 320 per kg
Biaya tambahan dari transportasi per kg tempe: Rp 960.000 / 500 kg = Rp 1.920 per kg.
Total Kenaikan Harga per kg Tempe:
Total biaya tambahan per kg tempe: Rp 96 + Rp 320 + Rp 1.920 = Rp 2.336.
Jadi, harga tempe yang sebelumnya Rp 15.000 per kg bisa naik menjadi:
Rp 15.000 + Rp 2.336 = Rp 17.336 per kg.
Dari ilustrasi di atas, walaupun tempe sebagai kebutuhan pokok dalam produk jadinya tidak langsung dikenai PPN 12%, biaya produksi yang naik dari bahan baku, alat produksi, dan transportasi yang dianggap “mewah” ngebikin harga tempe untuk konsumen akhir meningkat. Ini memperlihatkan gimana cascading effect dari PPN 12% bisa mempengaruhi harga barang kebutuhan pokok.
Imbas dari hal ini sendiri adalah penurunan daya beli masyarakat. Orang-orang jadi susah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya—kita mesti tetap bekerja keras sedemikian rupa untuk memperoleh sesuatu yang lebih sedikit dari sebelumnya.
Tak lupa juga, kebijakan ini bisa berdampak pada pengusaha yang mesti “gulung tikar” karena dagangannya jadi nggak laku-laku karena stok dan harganya ketinggian sementara permintaannya seret, bahkan mungkin nggak ada. Hal ini tentu berefek domino: PHK massal, pengangguran, dan keluarga yang menjadi tanggungan “tulang punggung” bisa kelimpungan dalam menghadapi krisis, dan dalam kasus terburuk jadi tidak terurus: tidak bisa hidup dengan standar yang layak dan nyaman.
Dari sini kita sampai pada sebuah kesadaran: PPN 12% ini mesti dilawan!
Melawan Kebijakan PPN 12%
Pemerintah beralasan bahwa kebijakan PPN 12% itu untuk melaksanakan perintah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Yang tidak diketahui atau pura-pura tidak diketahui oleh pemerintah, tidak ada pasal di UU itu yang secara eksplisit mengatur bahwa PPN harus 12%. Ini wajar karena UU itu sifatnya umum. Jika ada keinginan untuk menaikkan PPN menjadi 12%, itu pasti dari pemerintah (eksekutif) yang berwenang membuat regulasi seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan menteri, dan keputusan menteri yang spesifik dan hanya untuk satu kali, dengan detail tentang berapa pajaknya, siapa yang kena dampak, apa saja yang dikenakan pajak, dan kapan aturannya mulai berlaku hingga selesai.
Berbagai regulasi tersebut lah yang akan diwujudkan tahun depan sebagai dasar pengaturan dan pelaksanaan PPN 12%.
Siapa yang paling bertanggung jawab dalam masalah ini? Tentu saja Prabowo Subianto sebagai Presiden dan Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan: mereka yang akan melaksanakan kebijakan ini yang bisa memberikan dampak menyakitkan bagi kelas menengah dan bawah.
Kita mesti melawan kebijakan ini! Caranya sederhana saja: bangkitkan kesadaran massa lewat postingan-postingan di sosial media, melakukan aksi demonstrasi, dan mendidik orang-orang terdekat kita tentang bahaya kebijakan ini dengan dasar keilmuan yang jelas dan bahasa yang membumi (mudah dimengerti).
Tentu saja konsistensi itu perlu. Kita tidak boleh bosan-bosan menyebarkan narasi yang memiliki keberpihakan pada kelompok rentan atau tertindas. Kebosanan dan kelengahan bisa dianggap bahwa kita menjustifikasi keberadaan kebijakan ini.
Cara ini terbukti efektif. Buktinya adalah saat protes mengenai darurat demokrasi waktu itu, DPR memutuskan tidak jadi mengeluarkan revisi yang memberi celah hukum pada putusan MK.