ArtikelSerupa

PERNIKAHAN

pada desir angin yang kesekian, kau
berjanji datang meski gemuruh datang
dan guruh-hujan merintang jalan

kau tentu pernah mengingat hujan itu ketika kita duduk di tepi danau
berandai-andai jika kelak menjadi pasangan
suami-istri. nyatanya kandas dan ditentang
orangtua kita, bukan?

aku tak keberatan kau datang, walau
yakin kau akan terluka dan sakit hati. bahkan
saat kau membaca kiriman undanganku, kan?

sebenarnya aku telah bersepakat dengan hujan, kalau-
kalau kau jadi datang dan membawa amplop berisi uang
bukan sebagai suap namun sebagai hantaran

ya. hujan  kusuap supaya menghalau
kedatanganmu; yang berjanji datang meski gemuruh datang
dan guruh-hujan merintang jalan
:
sebab hari ini adalah pernikahanku
dengan anakmu.

 

 

MEJA

di meja ini tiada lagi hidangan malam
lilin padam menyerahkan nyalanya pada angin malam
musik jazz yang menemani makan malam kita lamat-lamat mengkhatamkan diri sebelum hadir keberadaanmu

sop iga yang kuhidangkan hanya membeku  memandangku
pada detik jam sembilan perlahan membuyarkan janji yang kita lantunkan dua tahun lalu di depan penghulu

 

 

RINDU IBU

segala yang pernah kuingat adalah rindu

potret-potret masa lalu mengabur
menjelma siluet dalam debur
ingatan dan kenangan yang tak kuasa kulupakan
timbul-tenggelam bagai ombak di lautan
nun dalam
setelah kututup ruang keraguan;
melindap di masa silam,
ingin kukubur sepenuh kekuatan.

tapi rinduku padamu, Ibu,
adalah hal tersulit yang dapat kukerahkan dalam kata-kata.
laut telah mengering
pena sudah diangkat
dedaunan seisi bumi juga hamparan tanah tiada
kuasa menampung kasihmu, Ibu.
lantas, ke mana sanggup kucari sesuatu
yang lebih besar lebih luas lebih dalam lebih tinggi agar cintamu
kutampung penuh seluruh.

namun, segala yang pernah kuingat barangkali bernama rindu
entah apakah bisa kukhidmati serupa rindumu padaku.

 

 

IBU

Ibu,
pernahkah kutulis puisi untukmu
yang penuh kasih, bahkan merindu,
seumpama hujan pertama di bulan kelabu.

kata-kataku bahkan tak cukup bermakna
menerjemahkan kasihmu yang seluas samudra
ia majal
sebelum mendaki sayangmu yang tinggi-terjal.

tapi, Ibu,
bolehkan kukirimkan setangkup rinduku
dalam doa-doa yang wening
di malam-malam dingin nun hening.

 

 

AYAH

Ayah, kau di sana? mengapa
tak keluar menyapa?

aku datang membawa
setangkup doa

tidur nyenyak

jendela kamar kututup dan pintu kurapatkan
supaya malam ini kau tak datang
supaya tidurku nyenyak sendirian
supaya tiada lagi beban yang nyangkut di ingatan

akan tetapi, tepat pukul sebelas, datanglah angin hitam
ia sendirian, gedor-gedor pintu tanpa salam
“aku mabuk. izinkan aku menginap barang semalam,”
katanya. aku manggut-manggut dan hanya diam.

begitu kupersilakan, tanpa babibu, ia langsung mendebamkan diri
di sofa panjang bale. Seolah tubuhnya tahu diri seperti di rumah sendiri
tanpa sempat kutanya siapa namanya, perempuan apa lelaki
kelaminnya. “dasar tak tahu diri,” gerundelku dalam hati.

tidurku pun batal. semalaman aku terjaga.
nyenyak yang kudamba jadi hampa.

bakda subuh, aku tertidur–bisa tidur akhirnya,
dan ia menggumuliku dalam mimpi penuh sperma.

 

 

PUTING SUSU

aku terjaga di tengah malam dan mendapati anakku tengkurap,
mengais-ngais selimut, memakan apa yang ada di sebalik selimut.

ia mencari puting ibunya.

sedang puting itu tengah kukulum sampai alum
dan air susunya berbuncah di mulut anakku.

sebelum hujan tiba

pada mimpi semalam,
aku menggendong bayi perempuanku yang bertingkah-polah
menghentak-hentakkan telapak kakinya di dadaku.

ia lapar.

barangkali.

sebab sebelum bermimpi, ia mengisyaratkanku supaya membikin susu
terlebih dulu. agar kau nyenyak, ayah, katanya. agar tiada lagi yang
tersangkut di ubanmu, perihal esok dan susuku yang hendak habis
sebagaimana puisi-puisimu yang musti kau khatamkan sebelum larut
sebelum tanah menimbunmu lantas meratakan kita di hari-yang-telah-dijanjikan.

kau terlalu banyak bermimpi, kata istriku.

agaknya.

baiknya kau tidur sebelum hujan tiba bulan depan.

iya. baiklah.

wajahku lalu lungsur dalam susu istriku.

 

 

SONET: NUHA

pada kelahiranmu bulan kelima
baru saja kutulis sajak buta
malam bulan sempurna dan hening tanpa
ocehan jangkrik. kemarau yang hangat tanpa

silir-sulir angin laut, kau terbangun penuh
dan mendapati botol susu masih utuh.
sedang bantalmu basah oleh keringat.
tubuhmu berkeringat. kau bersemangat

belajar tengkurap. sementara ibumu tidak
muncul dari dapur. sibuk memasak sajak
dalam mi instan yang hampir kadaluarsa. o, tidak.
ternyata hari hampir siang, nak.

belum juga kumandikan kau yang berpeluh kata
juga rima yang hendak menjadi soneta.

 

 

SONET: KENANGAN

barangkali kenangan sudah lupa jalan pulang
lalu mencari jalan tikus dalam kenyataan
sebagaimana mimpi yang senantiasa datang
pada malam-malam lelah dan panjang.

barangkali benar kau melupa jalan pulang
lalu mencari gang sempit di antara kenyataan
sebagaimana aku selalu menunggumu pulang
setiap malam, hingga pagi hampir menjelang.

barangkali kita melupa pada kenangan
kemudian membiarkannya menjadi masa depan
sebagaimana cinta yang tunai kita tanam
saban malam sempurna nan jahanam.

barangkali memang kita adalah jalan pulang
di antara kenangan dan kenyataan.

 

 

SONET: JALAN PULANG

barangkali kau telah lupa jalan pulang
dan tanggal di ujung jalan
lantas tersesat di pelataran
alun-alun. hingga pagi menjelang.

barangkali kau memang lupa jalan pulang
sebab berat memanggul kenangan
dan nyangkut di warung di ujung jalan
sembari bertanya, “bolehkah kopi ini kuhutang?”

barangkali kau harus lupa jalan pulang
dan berbelok ke lain kenyataan
supaya tak kaulungsurkan uang
pada istrimu yang menunggu semalaman.

barangkali tiada lagi jalan pulang
sebab kau tak sewaktu seruang.

 

 

ADIKKU

adikku bermain seorang diri
bercengkrama dengan tanah juga pasir
mengais gundukannya
berharap memindahkan ke truk kecilnya.
adikku senang
tak peduli sekitar.
adikku tiga tahun
pintar menghibur diri agar tangisnya tak tumpah lagi
mencoba mengalihkan kenyataan
menantang hidup di usia kecil.
reranting serta daun kering tak dihiraukan meski berulang-kali runtuh
riang hinggap di bola mata dan angin hanya menggilas di rambut tipisnya
jika tahu akan jatuh, mungkin dijatuhkan tubuh mungil itu
di pepatahan tanah juga pasir.

dan dilingkar bermainnya masih jelas belikat
bidikan waktu nan jumawa.