Sekitar tahun 2012 waktu saya masih SMP, inget banget salah satu film yang booming banget waktu itu adalah Crows Zero. Bahkan film ini bukan cuma booming di kalangan anak-anak SMP sekolah saya, hampir semua anak SMP di kota saya tergila-gila banget sama film itu. Bukan anak SMP saja sih, anak SMA di kota saya pun sama Sukanya dengan film ini.
Film ini sebetulnya sudah tayang lama banget, yaitu tahun 2008. Tapi booming di kota saya empat tahun setelahnya. Huhuhu sad 🙁
Padahal film ini merupakan tontonan yang kurang baik bagi kami yang masih SMP saat itu. Iyalah nggak baik, isinya filmnya tawuran doang. Jadilah teman-teman saya terinspirasi dari film ini, sampai-sampai melakukan reka ulang adegannya di kelas kami. Jadilah kelas kami dijadikan arena tawuran.
Bagi yang belum tahu, film Crows Zero itu adalah film live action yang diangkat dari sebuah manga yang berjudul “Crows”. Ceritanya sendiri mengisahkan Takiya Genji (Shun Oguri) yang ingin menguasai sekolahnya, Suzuran.
Bukan tanpa sebab ia ingin menguasai sekolah ini, karena ia memiliki ambisi untuk menjadi seorang yakuza meneruskan jejak ayahnya. Dan salah satu syarat jika ingin menjadi penerus ayahnya yang seorang yakuza, yaitu dengan menguasai Suzuran.
Lalu dimulailah petualangan Takiya Genji dalam menaklukan Suzuran. Awalnya ia ingin langsung menantang “pentolan” sekolahnya, Serizawa (Takayuki Tamada). Namun tidak bisa, karena jika ingin menantang pentolan sekolahnya, ia harus membuat pasukannya sendiri. Ia harus memulainya dari bawah. Serizawa pun memiliki pasukannya sendiri dan diisi oleh orang-orang yang kuat di Suzuran.
Maka Genji memulai membangun kekuatannya sedikit-demi sedikit di Suzuran. Orang-orang yang dibelakang Genji pun bukan orang-orang sembarangan, bisa dibilang hampir sama kuatnya dengan pasukan Serizawa. Ini membuat pasukan Serizawa sedikit khawatir melihat cepatnya pertumbuhan pasukan dari Genji.
Lalu pada momen yang pas kedua pasukan ini saling bertarung untuk membuktikan siapa yang paling pantas untuk menguasai Suzuran. Awalnya pasukan Genji terlihat akan kalah, tapi di akhir bantuan datang dari para anggota geng motor adik kelasnya.
Setelah semua pasukan pada tepar akibat pertarungan yang melelahkan, yang tersisa hanya Genji dan Serizawa. Adegan jual beli pukulan dua orang ini terus berlangsung sampai matahari tenggelam. Dan tentu saja dimenangkan oleh Takiya Genji.
Cerita dari film ini sebetulnya Klise banget dan mudah ketebak endingnya. Tapi bagi kami yang masih SMP waktu itu keren banget.
Biasanya kami dulu saat SMP melakukan adegan ulang seperti film aslinya dengan mengikuti teriakan-teriakannya mereka. “Genjiiiaaah”, lalu disahut lagi dengan kawan saya yang lain, “Serizawwwaaahhh”. Gitu aja terus dan adegan tawurannya nggak jadi-jadi.
Tapi meski film ini isinya tawuran doang, masih ada pelajaran yang nggak penting-penting amat yang dapat dipetik dari film ini.
Pertama, di film ini ngajarin kalau laki-laki nggak bisa menyelasaikan masalah dengan lisan ya dengan pukulan. Tapi dengan tangan kosong, alias tanpa alat. Di kota saya dulu sering banget anak-anak SMA tawuran dengan sekolah lain, anak SMP pun sama. biasanya tawurannya dengan alat semacam gesper dan ujung gesper dililit dengan semacam besi ring sepeda. Bahkan ada juga yang bawa katana. Ngeri banget kan. Bahkan nggak jarang menimbulkan korban jiwa.
Tapi setelah tayang film ini, yang tawuran pake alat mulai berkurang, mereka mulai menganggap tawuran pakai alat itu cupu. Meski yang bawa alat masih ada sih. Tapi tetap saja tawuran itu nggak baik, nggak ada gunanya.
Kedua, film ini mengajarkan loyalitas dan persahabatan. Contohnya saat Serizawa sudah kalah sama Genji, para pengikutnya tetap setia menemani Serizawa. Tapi ada dua orang kubu Serizawa yang pindah ke kubu Genji. Tapi meski dua orang itu pindah ke kubunya Genji, mereka tetap menjalin pertemanan yang baik dengan kubu Serizawa. Jadi mereka tetap menjalin hubungan baik dan masih sahabatan.
Problem yang banyak kita hadapin kan kalau salah seorang temen kita pindah mainnya sering ke kubu sebelah, kita jadi males aja gitu. Nah coba belajar belajar loyalitas dan persahabatan kaya film Crows Zero deh.
Ketiga, di film ini tuh kalau ada masalah lebih baik pukul-pukulan daripada diem-dieman. Serius deh zaman sekarang itu kalau ada orang berantem ya diem-dieman. Di Crows Zero kita diajarin untuk frontal, nggak suka sama orang langsung ngomong depan mukanya. Bahkan kalau dengan omongan nggak mempan, solusinya selanjutnya dengan pukulan.
Tapi pointnya bukan itu, saya lebih suka mengartikan ini dengan, kalau nggak suka sama orang karena sifatnya jelek, lebih baik bilang saja. Jangan diem doang. Karena kalau diem doang ya nggak bakal menyelesaikan masalah antara dua orang yang bermasalah itu. Tapi nggak perlu sampai pukul-pukulan macam film ini juga. Tapi kalau masih keras kepala dan susah dibilangin, udah tinggalin aja.
Seperti kata guru ngaji saya waktu masih ngaji di surau, ambil baiknya dan buang buruknya. Meski kelihatannya film ini isinya kekerasan semua, masih ada setidaknya pelajaran yang nggak penting-penting amat yang dapat dipetik. Meski sedikit pula yang dapat dipetiknya. Hehehe…
Film ini memiliki dua sekuel lainnya yaitu, Crows Zero 2 dan Crows Explode. Crows Zero 2 ceritanya menurut saya yang paling seru. Karena semua pasukan di Suzuran bersatu untuk melawan sekolah saingannya, yaitu Housen.
Dan Crows Explode menurut saya cukup mengecewakan, tidak sesuai ekspektasi. Film ini nggak seru bukan karena Genjinya sudah lulus. Nggak seru karena cerita dan adegan berantemnya nggak sebrutal pendahulunya, Crows Zero dan Crows Zero 2.