Thursday, March 28, 2024
Cart / Rp0
No products in the cart.

Mahasiswa Gak Boleh Gini Lagi, Ya!

Saya yakin, jadi mahasiswa bukan cuma perkara status pekerjaan di KTP aja. Lebih dari itu, saya rasa secara garis besar, mahasiswa setidaknya punya 2 tanggung jawab. Pertama, tanggung jawab akademik dan kedua tanggung jawab sosial. (tapi yang kedua dibahas lain hari, ya).

Let’s just say, tugas-tugas, kehadiran pembelajaran dikelas, dan blau-blau keaktifan selama menjadi mahasiswa yang menyangkut kegiatan di kampus itu proses mengembang tanggung jawab akademik. Hanya saja, saya rasa belakangan ini kok kaya beda, ya?

Sebagian orang tua mati-matian ngabuskeun anaknya ke kampus-kampus ternama buat dapatin selembar ijazah, dengan harapan selesai kuliah anaknya bisa mendapat pekerjaan layak bergaji besar sebagai pengganti dana kuliah yang sudah digelontorkan.

Bagi penulis, ini kekeliruan yang mengkhawatirkan. Kampus jadi gak lebih dari lahan industri yang menghasilkan komoditas penghasil kekayaan di hari tua. Kalau gini, Tri Dharma Perguruan Tinggi hanya jadi jargon kosong tagihan UKT nyaring bunyinya.

Saya rasa fenomena-fenomena yang bakal saya sebutkan bakal sangat familiar.

Pertama, penulis seringkali melihat banyak mahasiswa yang masuk kelas hanya karena takut nilainya kecil. Dari beberapa mahasiswa yang saya temui, rata-rata dari mereka masuk kelas karena takut presensinya kosong, jadi rasanya tipsen-tipsen itu emang gak aneh dan malah wajar. Tahu sendiri, kan? Presensi itu yang nantinya akan jadi indikator penilaian di ijazah. Ujung-ujungnya, mahasiswa lebih takut sama nilai kecil daripada jadi bodoh.

Kedua, gak jarang proses pembelajaran di kelas cuma berjalan sebagai formalitas aja. Mau dosennya, atau mahasiswanya. Semuanya berakhir jadi cuma bulak-balik laman PPT yang dipresentasikan dan diskusi yang kering ide. Bahannya copas lah, penyampaian materi asal ngomong lah, udah gitu pertanyaan yang dilontarkan juga hasil kongkalikong pula. Yang penting dapat nilai karena nanya, dan presentasi kelihatan seru. Padahal, gimana nalarnya mau kritis kalau prosesnya aja sebercanda itu?

Dari 2 fenomena di atas aja, penulis rasa pendidikan sedang berada di fase kritis. Atau memang gini? atau ada alasan lain? semisal emang niatnya aja yang kurang kuat. Kuat atau enggaknya niat belajar kan udah pasti berpengaruh terhadap konsistensi belajar. Ada orang yang mudah terbawa arus lingkungan, ada juga yang tetap bisa mempertahankan kehendak dan niat sendiri.

Jadi, mungkin gak ya esensi Tri Dharma Perguruan tinggi hari ini bisa didapat dari serangkaian budaya yang seperti itu? Mungkin gak ya kampus masih bisa melahirkan insan-insan yang akademis?

Jawabannya tentu tydack~

Gak boleh lagi ada insan akademik yang lebih takut dengan nilai yang kecil ketimbang dengan nalar kritis yang tumpul! Gak boleh lagi ada insan akademik yang menjalani proses pembelajaran cuma buat formalitas dan ijazah aja!

Hayu sama-sama kita tata lagi niat kuliah kita. Perkuat lagi niat belajar kita. Tidur yang cukup, jangan banyak ngopi biar besok gak telat dan gak tipsen. Yuhu~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Welcome Back!

Login to your account below

Create New Account!

Fill the forms below to register

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Login dulu, lur~

Nyalakan Mimpimu!