Keluarga korban mendapati bahwa anaknya yang masih berusia 7 tahun, yang masih bersekolah di kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah telah meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 13 November 2024, di sebuah kebun, bertempat di Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi, menurut laporan detikJatim. Pihak kepolisian menyatakan bahwa bukti pemerkosaan dan pembunuhan nampak dari kancing baju korban yang copot, celana korban yang dilepas, alas kaki korban yang berserakan, serta luka memar di belakang kepala, dan hidung korban yang berdarah.
Dari kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi ini, terlihat jelas terdapat relasi kuasa yang sangat timpang. Pelaku memanfaatkan umur korban yang masih anak-anak dan tubuhnya yang masih rentan untuk memuaskan nafsunya dan memberi makan ego patriarkinya untuk berkuasa.
Belum lama setelah kasus ini muncul, seorang perempuan asal Sumatera Utara bernama Herlina Simanjuntak juga dibunuh. Korban ditusuk berkali-kali oleh suaminya sendiri saat live facebook sambil karaoke yang membuatnya kehilangan banyak darah dan dinyatakan tidak tertolong saat di rumah sakit.
Apa yang terjadi di sini adalah femisida.
Memahami Femisida: Gambaran dan Faktor Resiko
Menurut laporan Komnas Perempuan, di tahun 2023 terjadi 159 kasus pembunuhan perempuan yang terindikasi femisida di Indonesia. Dalam melihat data ini, kita mesti menganggapnya fenomena gunung es. Yang terlihat dipermukaan atau bisa diolah menjadi data itu lebih sedikit dari apa yang sebenarnya terjadi atau yang tak dilaporkan. Kasus-kasus femisida bisa tidak ketahuan atau diabaikan karena salah satunya aparat penegak hukum tidak memiliki pemahaman kekerasan gender. Persoalan-persoalan yang bersifat khusus dan butuh perhatian tersendiri dianggapnya sebagai kumpulan hal yang bersifat umum.
Data dari Komnas Perempuan, serta adanya berbagai kasus femisida akhir-akhir ini, semakin menguatkan pandangan bahwa Indonesia itu darurat femisida. Merujuk pada Oxford Languages, femisida adalah pembunuhan pada perempuan yang bermotif kebencian pada gender-nya yang seringkali dilakukan oleh laki-laki. Menurut Komnas Perempuan, femisida itu ada dari berbagai perasaan toxic seperti kecemburuan dan ketersinggungan maskulinitas untuk menunjukkan superioritasnya sebagai laki-laki.
Rasa benci di kasus ini bukan sekadar ketidaksukaan pribadi, tetapi dorongan untuk menghancurkan pihak lain secara sadar dan terencana karena gender-nya. Hal ini dibuktikan dari tempat terpencil yang pelaku tentukan dan cara membunuh serta menyembunyikan berbagai bukti pemerkosaan dan pembunuhan. Berdasarkan laporan dari Consuelo CORRADI bertajuk “Femicide, It’s Causes and Recent Trends: What Do We Know?” faktor resiko dari femisida dalam level kelompok atau kolektif adalah perayaan kultur maskulin yang agresif, dan hilangnya keterikatan pelaku dengan orang di sekelilingnya (nir empati). Dari sisi korban, femisida terjadi karena dihilangkannya nilai berbagai peran perempuan, isolasi, kurangnya koordinasi lintas sektoral atas perlindungan korban, dan perempuan dianggap melanggar norma-norma patriarki.
Dalam kasus ini terlihat misalnya korban dibunuh karena melanggar patokan masyarakat patriarki di mana perempuan itu idealnya di rumah saja dan tidak perlu bersekolah, dan selain itu, sebagai ajang unjuk maskulinitas pelaku. Pelaku menggunakan hal ini sebagai justifikasi untuk menundukkan korban dan mereduksinya sebagai objek.
Bagaimana Kultur Internet Menyuburkan Dorongan Femisida
Menurut laporan tersebut, secara kelompok faktor femisida itu di antaranya adalah perayaan kultur maskulin yang agresif—yang ternyata di internet adalah tempat di mana hal ini dilakukan secara terang-terangan dan terus-menerus. Kita tentu tidak asing dengan yang namanya Andrew Tate, seorang influencer kontroversial yang memiliki pandangan misoginis. Andrew Tate melalui berbagai platform online seperti X dan Instagram sering membagikan clip-nya yang menyatakan bahwa perempuan itu inferior dibanding lelaki dan lelaki memiliki justifikasi untuk menggunakan dan memonopoli tubuh perempuan sesuai dengan keinginannya.
Tidak berhenti sampai di situ, karena dalam kultur meme di internet, perempuan juga sering disudutkan. Baru-baru ini viral slogan, “Your body, my choice. Forever,” artinya “Tubuhmu, pilihanku. Selamanya,” yang dipopulerkan oleh Nicholas J. Fuentes (pembuat meme sekaligus aktivis konservatif) di akun X-nya pada tanggal 6 November 2024. Slogan tersebut merupakan parodi dari slogan feminis, “My body, my choice,” yang menegaskan otonomi atau penghormatan pada tubuh perempuan. Slogan ini diniatkan supaya orang lain tidak asal memegang atau menyentuh tubuh perempuan sebelum adanya persetujuan dari perempuan itu sendiri.
Hal yang kami sayangkan, postingan Nick tersebut sekarang sudah mendapatkan 52.000 likes, dan diposting ulang sebanyak 7.159 kali. Artinya, maskulinitas yang agresif benar-benar dirayakan secara global, termasuk juga menyentuh Indonesia. Hal seperti ini sering dinormalisasi kok oleh fan page Facebook atau akun Instagram yang memiliki embel-embel “sigma male.” Fenomena ini yang menjadi dorongan kenapa femisida itu bertahan dan semakin menguat. Dari normalisasi dalam bentuk “guyonan,” kemudian memanjang menjadi aksi konkret yang berbahaya. Anggapan, “Your Body, my choice,” bisa memantik justifikasi atau pembenaran untuk memperlakukan tubuh perempuan sesuai kehendak laki-laki tanpa memperhatikan otoritas si pemilik tubuh itu sendiri yaitu perempuan. Ini bisa memicu pelecehan seksual, sampai dengan pemerkosaan dan pembunuhan.
Masalah femisida ini adalah pekerjaan rumah masyarakat. Penyelenggara media sosial semestinya bisa membuat kebijakan internal yang memiliki keberpihakan kepada perempuan dan tidak mentoleransi konten yang mencoba menormalisasi apalagi menglorifikasi kekerasan pada perempuan Lalu tak kalah penting netizen juga mesti memiliki kepekaan kemanusiaan dengan cara melaporkan berbagai kecenderungan misoginisme online supaya yang bersangkutan bisa mendapatkan ganjaran yang setimpal.