“hey Sinta, sedang apa kamu di ujung sana? Daripada terus melamun, ayo kita pulang!” Ucap Mila berteriak mengejutkanku.
“Emangnya udah waktu pulang? Plis deh Mil, ga usah bolos lagi!” Balasku tak kalah kencang suaranya dengan Mila.
“Asal aja kamu Sin. Aku ga bolos tau, tapi emang hari ini kelas ditiadakan. Makanya jangan ngelamun, tadi Sadam sudah menyampaikan juga.” Ucap Mila sewot sambil melirik sinis kepadaku. Sedikit malu, aku hanya tersenyum canggung sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Iya udah kalo gitu, aku kemasi barang-barang dulu.” Ucapku pada Mila dan dia hanya mengangguk sebagai balasan.
Mila adalah teman sekelasku yang kemudian juga menjadi teman sekamarku selama kurang lebih tiga tahun ini. Kami bertemu dihari kedua ospek tiga tahun lalu. Aku yang sedikit pemalu, memang sulit mendapatkan teman, ditambah lagi dengan kondisiku yang sebelumnya bukan berasal dari daerah ini. Tapi kemudian Mila datang dengan gaya tengilnya langsung merangkulku tanpa tau malu, mengklaimku sebagai temannya sejak saat itu.
“Kamu mikirin apa sih Sin? Dia lagi? Ga bosen apa ya?” Tanya Mila padaku penasaran.
“Engga kok ga mikirin dia, aku cuma sedikit rindu sama ayah bunda.” Jawabku padanya.
“Oalah oke-oke, ku kira dia lagi.” Ucapnya lagi padaku dan hanya ku balas dengan gelengan kepala.
***
Aku Sinta, mahasiswi semester enam jurusan Seni Tari di salah satu perguruan tinggi favorit di Yogyakarta. Aku anak kedua dari dua orang bersaudara. Mempunyai seorang kakak laki-laki yang sangat menyebalkan. Sedari kecil, aku gemar sekali menari, yang kemudian mungkin menjelma sebagai sebuah bakat yang ku miliki.
drrt drrt drrt
Suara handphone membuatku terbangun dari tidur nyenyak ku.
“Ya tuhan, masih jam satu malam, siapa sih yang jail hubungi aku di waktu seperti ini.” Ucapku sebal sambil menekan tombol hijau di handphone itu.
“Halo, Sinta. Kamu udah tidur ya?” Ucap seseorang di seberang sana.
“Ampun Zio, kamu ganggu banget tau.” Balasku kesal kepadanya.
“Hahahahaha maap-maap, abis aku kangen sama kamu chubby.” Ucapnya lagi padaku.
“Kenapa harus telepon malem-malem si, sumpah ganggu banget ini.” Balasku lagi kepadanya.
“Aku baru ada waktu luang ih. Video call aja yu, aku kangen liat pipi chubby kamu.” Ucap Zio padaku.
“Ih gila. Nambah chubby itu pipi. Pulang sini, mau aku cubitin.” Ucap Zio gemas setelah melihatku dari layar kaca handphonenya.
“Gamau ah males banget aku ketemu kamu.” Ucapku sambil mengucek mata
“Yah parah, ngantuk banget ya? Udah lah kalo gitu, besok lagi aku telepon. Selamat tidur perempuan chubby, mimpi indah.” Ucap Zio padaku sambil memutuskan telepon kami.
Zio adalah satu-satunya teman laki-laki yang aku miliki. Kami tumbuh bersama dari dalam kandungan hingga saat ini. Ayah bunda memang berteman akrab dengan om Hazel dan tante Friska, yang mungkin berpengaruh terhadap terbentuknya hubungan pertemanan antara aku dan Zio. Sejak kecil hingga menginjak SMA kami selalu di masukkan di sekolah yang sama. Entah karena apa, aku dan Zio tetap berlapang dada untuk menerimanya. Namun, akibat beberapa hal yang sedikit mempengaruhi hidupku. Aku memilih untuk pergi kuliah sendiri tanpa disertai Zio disini.
“Sinta! Ya ampun! Susah banget sih bangunin kamu. Udah jam sepuluh ini, kita ada kelas 15 menit lagi!” Ucap Mila kesal sambil menggoyangkan tubuhku. Dengan sedikit menggeliat aku terbangun sambil mengucek mata.
“Ga usah leha-leha, bangun sekarang atau kita bakal terlambat!” Ucap Mila lagi sambil menjewer telinga kananku.
“Iya ih bawel banget kamu Mila.” Ucapku sebal kepadanya.
Pagi ini, akhirnya kami tidak di izinkan masuk ke dalam kelas karena terlambat. Mila dengan wajah juteknya terus saja mendiamkanku sedari tadi.
“Mil, udah dong ngambeknya.” Ucapku sambil menggoyangkan tangan Mila. Tapi dia masih saja enggan untuk membalas ucapanku.
“Mil, jangan diemin aku terus dong ih. Lagian kamu ngapain nungguin aku sih, udah tau bakal terlambat.” Ucapku sedikit kesal karena dia terus mendiamkanku. Tapi sepertinya, ucapanku membuatnya semakin marah. Ahh sial! aku semakin bersalah.
***
Cuaca di sore hari ini sangat mendukung untuk dipakai bersantai-santai. Dengan segelas susu coklat hangat dan sepiring biskuit, aku sedang asyik melihat-lihat foto dan video di Instagram. Hingga beberapa menit kemudian, beranda ku sampai pada foto seorang perempuan dan seorang laki-laki sedang bergandengan tangan. Mereka tampak bahagia seolah akan selalu beriringan. Ya tuhan, semoga memang selalu beriringan. Bukankah cinta yang paling baik, mengikhlaskan dia untuk dapat hidup penuh dengan kebahagiaan? Namun, tetap saja rasanya sangat menyakitkan.
“Hey Sinta! Apa yang sedang kamu tangisi?” Ujar Mila tiba-tiba datang kepadaku. Namun, tak mampu aku untuk membalas ucapannya, karena seketika bibir ini kelu akibat foto itu. Semakin lama, Mila semakin dekat denganku, yang kemudian dia berhasil tau apa yang menyebabkan ku seperti ini.
“Oh ayolah Sin, kenapa masih kamu tangisi lagi? Begitu sulitkah melupakan dia?” Ucap Mila sambil merangkul pundakku.
Aku masih saja memeluk kedua lutut sambil menangis tersedu-sedu. Bagaimana tidak? Dia satu-satunya orang yang masih aku cintai hingga saat ini. Satu-satunya orang yang mampu membuatku pergi jauh dari ayah bunda, om tante dan teman baikku. Tak tau lagi apa yang dapat aku lakukan untuk melupakannya. Padahal tiga tahun tanpa bertemu semestinya sudah cukup untuk menghilangkan segala rasa.
“Udah dong Sin nangisnya, liat mata kamu itu.” Ucap Mila padaku untuk kali kesekian. Tanpa sepatah kata aku bangun dari duduk ku, kemudian pergi meninggalkan Mila sendiri dikamar ini.
Suasana kota Jogja sangat ramai malam ini. Sejak sore tadi, aku masih saja asyik duduk di kedai kopi di pinggir jalan. Handphone yang terus saja berdering, tak sedikit pun menarik perhatianku. Aku masih ingin sendiri. Egois memang, membiarkan Mila terus-menerus mengkhawatirkan keadaanku hingga saat ini. Tapi aku sedikit pun tak ingin diganggu.
ting ting ting
Suara pesan masuk dari handphone ku, dengan sedikit rasa penasaran, ku buka dan ku baca pesan tersebut.
Eh Sinta! Pulang kamu sekarang! Nyebelin banget jadi orang! Aku gabisa tidur ini gara-gara nungguin kamu! Pulang atau aku benar-benar pergi malam ini! -Ucap Mila di dalam pesan itu.
Dengan langkah berat, akhirnya aku pergi untuk kembali pulang ke kosan.
“Ngapain pulang kamu? Udah sana pergi aja!” Ujar Mila kesal kepadaku. Dengan wajah yang ku buat sesedih mungkin, aku menjawab “Ih kamu mah, tadi nyuruh aku pulang. Aku ga mau di tinggal sendiri.” Sedetik kemudian Mila memeluk ku dengan gemas.
drrt drrt drrt
Handphone ku menghentikan pelukan erat di antara kami. Setelah melihat nama yang tertera di layar handphone ini, Mila dengan kencang merebut paksa dari tanganku. Dengan raut wajah marah, detik kemudian dia mengangkat telepon itu dan mengeraskan volume panggilannya.
“Halo, Chubby! Kamu dimana? Kamu lagi apa? Kamu sama siapa?” Ujar seseorang di sebrang sana yang membuat Mila tampak sangat kesal saat mendengar ucapannya, dan disisi Mila aku masih saja tetap menggelengkan kepala sebagai tanda bahwa aku melarangnya untuk berbicara. Namun, Mila seperti enggan untuk menuruti keinginanku, dimana detik kemudiannya dia melontarkan segala hal yang selama ini telah ku pendam.
“Zio, stop hubungi Sinta kalo lo cuma buat dia terluka!” Ujar Mila marah pada Zio. Yup, Zio. Selain satu-satunya teman laki-laki yang aku miliki, dia juga satu-satunya orang yang telah aku cintai dari dulu hingga saat ini. Tapi apa boleh buat? Dia tak pernah menganggapku layaknya seorang perempuan yang pantas untuk dijadikan sebagai pasangan. Kami bersama sedari kecil hingga dewasa ini. Namun, sedikit pun dia tak pernah menunjukkan ketertarikannya kepadaku sebagai lawan jenis. Yang aku tau, selama ini mungkin dia hanya menganggapku sebagai teman perempuannya saja. Karena apa? Ya, seperti yang kalian ketahui, Zio sendiri kini memiliki seorang kekasih. Yang mana, pasti hubungan yang mereka miliki dilandasi oleh suka sama suka, cinta sama cinta. Sungguh, aku tak tau pasti sejak kapan Friends Become Love ini terjadi padaku. Tapi yang aku mau, hubungan antara aku dan Zio tidak akan berakhir, sekali pun kejadian yang Mila sebabkan hari ini pasti mengejutkannya.