Seorang wanita penjual gorengan bernama Nia Kurnia Sari menjadi korban pemerkosaan sekaligus pembunuhan. Jasadnya pada hari Minggu tanggal 8 September 2024 ditemukan tanpa pakaian dengan kondisi terkubur dan tangan terikat.¹ Baru-baru ini pihak kepolisian sudah menangkap pelaku yang bernama Indra Septiawan. Secara kronologis, pihak kepolisian menyatakan bahwa pada saat korban menawarkan gorengannya ke pelaku dan tiga orang temannya, rencana pelaku untuk memperkosa korban telah muncul.² Ketika korban telah beranjak dari tempat menawarkan dagangannya, pelaku menyusul korban sampai mencegat jalannya, menahannya, dan mempergunakan tali untuk mengikat tangan korban. Pelaku kemudian membawanya ke tempat terpencil di daerah perbukitan dan memperkosanya. Pelaku menggunakan tangannya untuk menutup mulut korban sampai berhenti bernafas.
Pelaku menutup mulut korban dan mengikat tangannya sebagai upaya panik agar teriakan korban tidak terdengar orang sekitar dan supaya korban tidak melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib.
Apa yang terjadi amat memilukan dan redaksi mengecam keras apa yang telah pelaku lakukan. Peristiwa pemerkosaan ini memiliki kaitan erat dengan patriarki.
Bagaimana Patriarki Menghancurkan Perempuan
Patriarki adalah pandangan yang menyatakan bahwa kualitas diri lelaki lebih superior dibanding perempuan dan lelaki memiliki justifikasi untuk mengontrol dan mengeksploitasi perempuan. Dari sudut pandang sejarahnya, patriarki muncul sebagai tanggapan atas fenomena agrikultur pada sekitar 12.000 tahun yang lalu yang ada di Mesopotamia. Revolusi Agrikultur membuat manusia yang tadinya berpindah-pindah, dan berburu serta meramu, menjadi menetap dan bercocok tanam serta beternak. Dari sini lahirlah konsep keluarga tradisional dan kepemilikan atas tanah dan properti oleh lelaki. Ini mereduksi peran perempuan hanya di sektor domestik: sekedar mengurus anak, melayani suami, dan membereskan rumah. Pembagian peran yang timpang ini yang pada gilirannya memiliki andil pada lahir dan bertahannya stigma bahwa perempuan itu gender yang inferior ribuan tahun setelahnya.
Patriarki adalah ideologi yang menciptakan objektifikasi atas tubuh perempuan—tubuh perempuan direduksi menjadi alat pemuas kepentingan dan nafsu lelaki. Pandangan ini yang menyingkirkan otonomi atas tubuh perempuan yang menyatakan bahwa perempuan bisa berdaya dan berwenang atas tubuhnya sendiri yang tidak bisa disentuh tanpa adanya konsensus atau persetujuan yang jelas.
Patriarki berkontribusi memunculkan kultur pemerkosaan. Kultur pemerkosaan adalah kultur yang menormalisasi penyepelean kabar tentang penyerangan seksual traumatis terhadap perempuan, menyalahkan korban karena apa yang ia kenakan, membebaskan para lelaki dari tanggung jawab atas kejahatannya, dan mempertahankan rasa takut serta sikap bungkam korban untuk menuntut pelaku.³
Cara pandang dari patriarki inilah yang pelaku adopsi dalam pikiran, tindakan, dan perilakunya, yang mendorongnya memperkosa korban. Ia merasa aman karena perempuan yang akan diberi beban kesalahan dan cemoohan. Selain itu dalam kejahatan pemerkosaan, pelaku melakukannya bukan semata-mata karena nafsu, tapi karena perasaan ingin berkuasa atas ketidakberdayaan pihak lain yang memberi makan ego maskulinnya yang rapuh.
Yang Perlu Hukum Lakukan
Kabar yang baru kami terima—ternyata pelaku ini seorang residivis. Ini artinya pelaku adalah orang yang telah mengulangi aksi kejahatan. Pada tahun 2013 dan 2017 pengadilan menyatakan bahwa pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana pencabulan dan narkotika.⁴ Ini artinya segala bentuk penghukuman yang telah pelaku terima selama di dalam penjara itu ternyata tidak efektif. Kehidupan keras lapas ternyata tidak bisa membuka hati dan pikirannya untuk menjadi manusia yang lebih bermanfaat.
Mengingat pelaku juga telah melakukan tindak pidana perbarengan pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan secara sadar dan terencana yang dibuktikan dengan adanya tali dan tempat yang pelaku sudah siapkan yang bertentangan dengan pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) Jo pasal 340 KUHP Jo pasal 4 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf a Jo pasal 6 huruf a UU TPKS, maka redaksi menganggap bahwa hukuman yang majelis hakim dapat pertimbangkan adalah hukuman maksimal: hukuman mati. Pertimbangan ini sesuai teori hukum pidana concursus realis (perbuatan pidana yang berbeda yang dilakukan bersamaan dan dalam konteks ini menimbulkan kewajiban untuk memberikan hukuman maksimal).
Hukum ada supaya rasa aman publik bisa terjaga. Dengan diadilinya pelaku dengan hukuman yang maksimal menjamin bahwa kejahatan yang bersifat patriarkis mendapat tanggapan yang keras dan adanya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
Yang Perlu Masyarakat Sipil Lakukan
Masyarakat sipil perlu memonitor proses hukum yang sedang pelaku jalani sampai pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal dan pihak keluarga korban memperoleh keadilan.
Bahwa kejadian pemerkosaan sekaligus pembunuhan ini juga adalah karena banyak pihak masih menormalisasi keberadaan budaya patriarki, maka peran yang masyarakat sipil bisa lakukan selain memonitor proses dan hasil penegakan hukum adalah dengan menginternalisasi diri dengan gagasan-gagasan kesetaraan gender dan membagikan kesadaran tersebut ke sebanyak mungkin orang serta tidak mentoleransi perilaku misoginis atau yang merendahkan harkat martabat perempuan.
Landasan Hukum:
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Referensi:
M. Afdal Afrianto – Kronologi Pemerkosaan-Pembunuhan Nia si Gadis Penjual Gorengan (detikSumut).²
Danielle Cusmano – Rape Culture Rooted in Patriarchy, Media Portrayal, and Victim Blaming.³