Dia Sudah Lama Tahu, Seperti Tuhan Dia Juga Menunggu

“Berapa ribu jam yang diperlukan untuk membuat mesin waktu?” tanya pemudi A dalam suara kecil

“Berapa ribu jam yang diperlukan untuk membuat mesin waktu?” tanya pemudi A dalam suara kecil dan ogah-ogahan, kepalanya teleng ke kanan, sambil menatap isi gelas ia mengaduk-aduk es teh manisnya, seolah tak mengharapkan jawaban dari siapapun.

Tapi pemuda J, suka menjawab apa saja, terutama hal-hal yang tidak ia pahami. Meski begitu bakat membualnya, seperti yang sering ia akui sendiri, telah menyelamatkannya dari tiga tragedi tersulit dalam hidupnya.

Pertama, menyelamatkan seseorang yang hampir melompat dari bendungan Cirata karena putus cinta. Kedua, lolos dari tangkapan polisi karena ia sendiri terjebak di tengah tawuran supporters persija-persib dan kebetulan pakai kaos biru di jalan Raden Antasari, Cisarua. Ketiga, menjebloskan bapaknya yang punya tingkah seperti anjing ke penjara.

“Sekitar dua milyar jam lebih dua puluh tiga menit,” Pemuda J menimpal. Tentu saja dia mengarang.

Apa tiga menit terakhir itu betulan?

Ya, sebenarnya itu tiga menit di mana Ted Maverick menarik pelatuk revolver 7610 warisan ayahnya untuk menghiasi dinding biru muda di rumahnya dengan serpihan tengkorak, beberapa mili darah, dan cacahan otak. Pada saat yang bersamaan Edward J. Collony, petinggi NASA paling senior di Georgia menelpon presiden AS Fetima Mansoor, perempuan Asia pertama yang duduk sebagai presiden Amerika Serikat, dengan kata-kata yang mengagetkan seisi gedung putih: “Yes, motherfucker!”

“Ceritakan lebih lanjut. Apa yang membuat semua karaktermu memilih menembak kepalanya, daripada menenggak Baygon?”

“Kau tidak mau tahu ini terjadi tahun berapa?”

“Tidak, aku mau tahu apa masalahmu dengan pistol dalam karakter-karaktermu.”

“Aduh! Kau ini! Kalau ingin bunuh diri, setidaknya lakukanlah dengan penuh gaya.”

“Okey, okey… aku ingin tahu dari mana Ted punya ide meledakkan kepalanya. Ceritakan lebih lanjut! Lebih panjang!”

“Kau harus menjanjikanku sesuatu dulu. Semacam hadiah atau apalah…”

“Baik, kau boleh merokok di depanku sekarang. Lagian ini ulang tahunmu.”

Ted Maverick lahir dengan telinga kanan yang sopak dan tumbuh besar sebagai seorang kidal di sebuah kawasan suburb Atlanta. Dengan alasan ini tentu tidak cukup untuk mendorong seseorang menyorong moncong pistol ke mulut dan meletupkan isi kepalanya ke tembok yang bagus.

Pemuda J berhenti, memantik mancis, dan menyedot asap rokoknya.

Pemudi A mengangguk-angguk, “Lalu?”

“Bisa kau pesankan aku cappucino? Yang ini sudah habis.”

“Anak sinting!” senggut Pemudi A, sambil beranjak dari mejanya.

Barangkali Pemudi A memang memesan cappucinno untuk pemuda J, barangkali tidak dan langsung melenggang sebal keluar kafe. Namun yang jelas Ted sedang memikirkan yang lain, peristiwa yang baru terjadi dua hari lalu.

Itu adalah kejadian yang, seperti yang ia katakan pada Janine Chow, seorang terapis di kantornya, “Aku tidak bisa membicarakannya, bahkan jika aku dalam keadaan paling mabuk sekalipun.”


Pemudi A kembali. “Tidak ada Cappucino. Aku memesankanmu Latte. Aku tidak peduli kamu suka atau tidak.”

“Astaga, duduklah! Jangankan Latte, aku pernah nenggak oli samping Vespa. Lagian kau ini pemberang sekali jadi orang!”

Pemudi J duduk kembali di kursinya. Mencomot satu kentang goreng dan menjawil saus tomat dengannya. Bagitu kentang itu terangkat, ia meletakkannya kembali. Bilangnya, “Aku bahkan gak berselera lagi melihat kentang ini.”

“Kau sedang sebal, ya?”

“Ya begitulah.”

“Ngomong-ngomong bagaimana kau bisa lepas dari tangkapan polisi? Apa kau membuat mereka jengkel dan tak tahan denganmu?”

“Tidak juga. Kau boleh tidak percaya soal ini, tapi aku ingin memberitahumu,” pemudi J melipat tangannya dan meletakkannya setengah mengempas di meja, gelang-gelangnya menimbulkan bunyi aneh, “…bahwa roh leluhurku, Syaikh Karim Mau’idhoh Al-Bantani yang menolongku.”

“Oh, aku suka ini. Sekarang bagian kau yang cerita. Apa harus aku matikan rokokku?”

“Kau mungkin pernah mendengar seorang Kyai besar di Gresik, membuktikan arah kiblat dengan membobok tembok mihrab dan meminta semua orang yang meragukannya melongok. Kau tahu apa yang mereka lihat?”

“Sungai nil?”

“Kakbah, tolol!”

“Oh, ya tentu saja Kakbah. Aku lupa, sudah lama sekali tidak shalat. Jadi, diakah leluhurmu, dan itu cara dia menolongmu?”

“Menurutmu ia pakai jutsu teleportasi?”

Cuma perlu keberanian untuk meretas semua ketidakmungkinan. Nyawa satu manusia, tak sebanding dengan temuan-temuan besar yang akan menolong lebih banyak manusia lagi…

Dan… masih ada 803 kalimat macam ini di kepalanya.

Ted tahu, keyakinan macam inilah yang sedang ia perlukan. Menjadikan seluruh operasi project XXX57 punya landasan moral serius.

Lucy rekan kerja dan salah satu penyebab lain yang membuatnya menarik pelatuk revolver itu dengan yakin pernah bilang, “Jika seseorang benar-benar bisa memperbaiki masa lalu, orang itu pasti akan merusak masa depan berulang-ulang.” Tiga hari kemudian setelah ia tak terlihat masuk kantor lagi, ia ditemukan di bak mandinya, mati, dan sendirian.

Ted mengisap mariyuana di kepitan tangannya dengan satu isapan panjang, menahannya di paru-paru, lalu mengembuskannya seolah kabut di kepalanya bisa turut terembus keluar daripada membuat kabut dalam kepala yang mabuk.

Setelah kematian Ted, apa yang dibicarakan pemuda A dan Pemudi J di daerah entah, yang jelas, sebuah rudal berhulu nuklir berbelok dari tempatnya duduk hari ini, ke tempat yang sangat jauh di Asia, pada tahun-tahun yang entah kenapa orang-orang tidak juga bicara sejujurnya padahal setiap waktu maut mengintai mereka. Hasrat-hasrat mengkristal dalam pembicaraan yang alot. Amarah dipendam meski tak peduli itu hanya akan membakar diri sendiri. Perasaan-perasaan ditahan karena justru takut kehilangan padahal nyawanya sendiri bisa hilang kapanpun.

“Berapa ribu jam untuk membuat mesin waktu?” gumam Ted pada dirinya sendiri. Astaga, kalimat yang payah!

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Al-Quran & Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Bagian dari Gusdurian Purwakarta dan Swara Saudari Purwakarta.

Related Post

No comments

Leave a Comment