2005.
Ibu buru-buru belanja kolang-kaling ke Pasar Kosambi. Kami tidak naik ojeg pagi itu karena Ibu suka berjalan kaki. Ada sebuah jalan yang sangat sejuk buat ke pasar. Sebuah jalan setapak dengan lorong pepohonan, yang langsung menembus ke tempat aku les sempoa lalu tinggal menyeberang ke pasar.
Jalanku memang lambat sebab aku suka sekali melirik ke sana-ke sini. Sebelum sampai ke lorong itu, beberapa kali ibu menarikku berjalan lebih cepat waktu aku lagi asyik menangkap belalang dan memasukkannya ke dalam botol mineral bekas yang kubawa dari rumah,
“Menangkap belalangnya pas pulang saja! Kalau sekarang ya keburu panas! Nanti badanmu biang keringatan lagi!” Ibu menarik lenganku dan melempar botol mineral berisi 3-4 belalang yang kutangkap daritadi.
Keki sekali. Capek-capek aku menangkap belalang, seenak jidat dia lempar. Tak lama ibu melepaskan tanganku karena saat menuju lorong, ia harus sedikit mengangkat roknya dari embun yang nempel di rumput.
Lorong itu cukup panjang. Di kanan-kiri lorong itu merupakan kebun pisang, jagung, satu-dua pohon nangka, dan pohon-pohon lain yang belum aku tahu sama sekali. Yang jelas, lorong itu dikelilingi tumbuhan rambat dan daun-daun. Seperti labirin saja.
Aku melihat Ibu sudah melewati setengah jalan lorong itu. Aku melihat punggungnya dan Ibu tidak menoleh padaku. Mungkin Ibu marah atau benar-benar buru-buru. Aku lalu menunduk. Memperhatikan kakiku yang cukup basah karena embun sekaligus memeriksa apakah ada belalang di sini?
Aku meloncat kecil dan masuk ke lorong itu. Hap. Aku melambungkan kaki dan tiba-tiba saja aku berada di sebuah hutan yang sedikit gelap. Di tengah hutan itu terdapat satu rumah besar mirip istana berwarna putih. Di sekitarku beterbangan kupu-kupu yang bercahaya.
Tepat di depanku ada seorang lelaki berwajah putih tersenyum lebar seperti badut, tangannya mempersilakan aku untuk berjalan masuk mendekati rumah itu.
Meskipun gelap dan langitnya seperti mendung, tapi kupu-kupu yang terbang itu membantu penglihatanku. Bunga-bunganya mekar terang sekali seperti lentera Nenek yang aku pecahkan tutup kacanya.
Aku sangat senang dan berjalan pelan ke arah rumah itu sebab asyik tengok ini-itu. Aku kini berdiri di atas sebuah rumah yang temboknya saja tinggiiiii sekali. Wangi tempat itu seperti wangi daun yang baru dipotong. Iya, semerbak wangi daun di kebun yang dipotong pakai pemotong rumput.
Aku berdiri saja di depan pintu yang ukurannya lebih besar dari gerbang rumahku. Aku merasakan gempa bumi dari dalam istana. Menggetarkan tubuhku juga. Aku rasa pintu itu terbuka.
Dari salah satu pilar rumah itu, ada yang memanggilku
“Sst! Sst!” begitu katanya
Aku tidak melihat siapa-siapa tapi telingaku berfungsi. Aku merasa suara itu seperti menuntunku.
Kaki kulangkahkan ke kanan, ke arah pilar. Mengikuti suara itu. Aku kemudian mendengar beberapa cekikikan. Seolah seseorang itu mengajakku bercanda. Aku tidak melihat apa-apa, tapi aku merasa dia berlari minta dikejar. Cuma terjadi dan tahu begitu saja. Telingaku seperti mengikuti hentakan langkah kakinya yang sama sekali tidak terasa.
“Sst! Sst! Ihihihi!” tawanya lucu
Aku juga jadi ikut berlari, tertawa, dan menjauhi rumah itu.
“Sst! Sst! Ihihi!” lagi-lagi ia ketawa dan terus berlari
Aku mengayun-ayunkan kakiku berlari sedang mengikuti seseorang itu. Aku merasa semakin dekat padanya, kurasa ia sudah berhenti berlari dan aku menuju ke arahnya cepat. Aku lari tambah kencang karena aku rasa aku akan lihat dia. Aku penasaran dan aku mau tahu. Siapa dia?!
Langkahku semakin dekat. Aku semakin mendekatinya,
“Ayo! Kenapa jalanmu itu lambat sekali?!”
Aku terbelalak.
Bagian I: https://nyimpang.com/di-punggung-ibu/