2003
Hari itu aku kebagian masuk pagi, jadi jam 9 aku sudah pulang dari madrasah. Biasanya aku dan Ibu berjalan lewat sawah menuju rumah, tapi semalam turun hujan. Sudah pasti jalanan di sawah becek dan sepatu yang kotor kena lumpur bikin Ibu marah-marah dan kami berdua naik ojeg. Padahal, kalau lewat sawah Ibu suka mengajakku memetik urang-aring dan sorenya waktu mandi, Ibu menumbuknya dan ia pakaikan ke rambutku. Atau, sering juga aku iseng menginjak-nginjak telur keong sambil menarik-narik bentangan benang yang membunyikan kaleng-kaleng supaya padi gak habis dimakan burung.
Sesampainya di rumah, aku langsung membuka jilbab. Panas sekali. Umurku masih 5 tahun saat itu tapi aku sudah jadi anak bawang di madrasah. Aku membuka pintu kulkas dan menyimpan kepalaku di palangnya. Enak. Dingiiin. Ibu malah langsung ke dapur dan membawa piring yang sudah dialasi nasi.
Ibu pasti mau papahare di rumah Mbak Nunung, tetangga di belakang rumahku. Benar saja, Ibu langsung memanggilku buat ikut dengannya. Dengan baju madrasah yang belum diganti, aku buru-buru mengikutinya. Saking buru-burunya, aku memakai sandal Bapak yang kebesaran. Biarlah. Kakiku yang kecil tentu gak bakal mampu menyakiti siapapun termasuk sandal Bapak.
Ibu berjalan cepat di depanku. Sedangkan aku kesulitan berjalan karena sandal yang kebesaran. Panas sekali. Beberapa awan memang sempat mondar-mandir melindungiku dari matahari yang bikin rambut bau gosong.
Srek.
Kaki kananku keluar dari sandalnya. Bagian jari-jarinya mengenai jalan tanah. Aku jongkok membersihkan jari-jari kaki kananku dan melihat punggung ibu yang semakin jauh. Sebuah awan lewat tepat di atas kepalaku waktu aku membetulkan kaki. Syukurlah.
Aku berdiri dan berjalan lagi. Dari tanah, aku melihat bayangan awan itu mengikutiku. Tepat berada di atasku. Aku berhenti. Awan itu ikut berhenti. Aku berjalan lagi untuk memastikannya, dan benar saja! awan itu mengikutiku lagi, tepat di atas kepalaku. Seperti sengaja melindungiku dari matahari yang panas dan bikin biang keringatku muncul lagi.
Aku melihat punggung Ibu yang semakin jauh, lalu aku menengadahkan kepala ke langit. Aku tidak terlalu terkejut, cuma heran. Ada seorang manusia yang seluruh tubuhnya bercahaya, memakai sorban putih di atas kepalanya. Ia duduk sila di atas awan seperti Aladdin. Aku gak yakin itu orang atau bukan karena kukira, tidak ada orang yang memiliki kulit bercahaya seperti lampu.
Aku mengernyitkan jidat dan memicingkan mataku, melihatnya lekat-lekat. Tapi itu betulan! Aku langsung menurunkan kepalaku dan mengejar punggung ibu yang semakin menjauh.
“Ibu!!!!” teriakku sambil berlari masih dengan sandal kebesaran punya Bapak
Comments 1