“Stoikisme tidak untuk semua orang,” kata seorang teman hedonis. Tapi kali ini gue gak akan bahas soal stoikisme.
Benarkah usia tidak menentukan kedewasaan seseorang? Age is just a number adalah sebuah ungkapan yang mungkin sering kita dengar. Agaknya ungkapan ini menjadi sangat relevan, ketika gue bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai rentang usia. Sering kali gue sendiri bertemu dengan beberapa orang yang mempunyai cara berpikir, cara mereka bertindak, yang berbeda dengan teman-teman seusianya.
Ternyata ada teori yang menjelaskan fenomena tersebut—”Theory of Social Maturity” atau yang lebih dikenal sebagai Teori Perkembangan Psikologis Kognitif yang dipopulerkan oleh Robert Kegan. Kegan mengemukakan bahwa perkembangan psikologis manusia akan terus berlanjut sepanjang hidupnya.
Kegan mengidentifikasi lima tahapan kedewasaaan yang memaparkan cara seseorang memandang dunia, berinteraksi dengan orang lain, serta memahami dan memproses informasi secara emosional dan kognitif. Gue akan mengelaborasikan sedikit mengenai tahapan-tahapan tersebut.
Tahapan yang pertama; Impulsive Mind—tahapan yang dialami oleh semua orang, umumnya terjadi pada usia bayi sampai usia 5 tahun. Di tahapan ini, kesadaran diri masih sangat terbatas. Di tahapan ini, kita masih bertindak berdasarkan insting dan keinginan sesaat, tanpa menghiraukan aturan sosial.
Kita masih bergantung pada orang lain di sekitar kita, dan menjadikan mereka sebagai tolak ukur bagaimana kita melakukan dan memperlakukan sesuatu.
Tahapan berikutnya adalah Imperial Mind, yang umumnya dialami oleh usia 6 tahun sampai orang dewasa. Pada tahapan ini, kita mulai menyadari bahwa setiap individu memiliki kebutuhan, keinginan, dan tujuannya masing-masing.
Namun, di tahapan ini kita masih memandang segala sesuatunya secara self-centered—kita masih belum memiliki kapasitas lebih untuk menerima dan memahami sudut pandang orang lain. Di sini, kita juga sangat memperhatikan pandangan orang lain terhadap kita dan masih membutuhkan validasi dari mereka.
Kita mengikuti semua aturan sosial, bukan karena nilai moral yang ada di baliknya, tapi karena kalau kita tidak mengikuti aturan tersebut, kita akan dijauhi orang-orang.
Contoh: dalam suatu bisnis, kita tidak akan mencurangi partner bisnis kita, karena kalau kita curang, kita akan menghadapi konsekuensi di mana kita akan ditinggalkan oleh partner bisnis kita, bukan karena loyalitas dan integritas adalah bagian dari value diri kita.
Tahapan berikutnya yaitu Socialized Mind—hampir mirip seperti tahapan sebelumnya, hanya saja, di sini kita sudah mulai menyadari value kita melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu karena apa.
Di tahapan ini kita juga masih memandang perspektif orang lain terhadap kita sebagai siapa diri kita sebenarnya, we can say that whatever people think and judge about us defines who we are. Contohnya, kita masih membandingkan definisi atau tingkat kesuksesan kita based on people standard.
Like, “Gue akan merasa sukses kalau misalnya gue sudah memiliki rumah sendiri, mobil sendiri, sudah menikah, punya anak yang hebat, dan memiliki aset senilai 271 triliun rupiah.” karena ya itulah yang orang lain bilang tentang kesuksesan misalnya.
Selanjutnya ada tahapan Self-Authoring Mind—menurut Kegan (1982), hanya ada 35% dari populasi orang dewasa yang sudah ada di tahapan ini. Pada tahapan ini, kita sudah mengenali identitas kita dan ideologi kita sendiri. Kita memandang diri kita sebagai individu yang bertanggungjawab atas keputusan yang kita buat.
Karena dengan mengenali siapa dan seperti apa diri kita, kita jadi bisa memilih ideologi mana yang cocok untuk kita terapkan di kehidupan kita sendiri.
Di tahapan ini kita akan jarang menilai dan mengkategorikan mana orang yang baik mana orang yang tidak baik, karena kita sadar kalau setiap orang itu berbeda—based on experiences yang pernah mereka alami, cara berpikir, nilai-nilai, serta ideologi yang mereka terapkan di kehidupannya juga berbeda-beda.
So, just in case kalau ada orang yang kurang cocok sama kita, tidak sepaham dengan kita, atau punya point of view yang berbeda dengan kita. Secara emosional kita akan lebih aware that we won’t take it personally. Contohnya buat mereka yang sering kali basa-basi:
“Kapan nikah? Kapan punya anak?” and more, kita akan merespons hal tersebut dengan lebih bijak.
And the last is Self-Transforming Mind—bisa disebut sebagai tahapan the death of ego dan di tahapan ini hanya ada 1% dari populasi orang dewasa (Kegan, 1982).
Di sini, kita bisa mengadopsi beberapa ideologi dalam suatu waktu. Kegan menyebutkan, kita sebagai manusia terus menerus berevolusi, kita sangat terbuka terhadap berbagai kemungkinan dan perubahan yang terjadi di sekitar kita, dan kita juga bisa menilai banyak hal dari berbagai sudut pandang.
Di tahapan ini, biasanya kita mulai melepaskan ketergantungan berlebihan terhadap kepemilikan hal-hal materi seperti uang, properti, dan aset lainnya.
Kita akan lebih cenderung berfokus terhadap hal-hal yang lebih bernilai secara emosional atau spiritual seperti relationship, self-development, or life experiences.
Kita juga akan menjadi lebih terbuka dalam menerima segala kemungkinan dan perubahan yang akan terjadi di kehidupan kita, dan menyadari bahwa kebahagiaan yang sejati tidak selalu datang dari berapa banyaknya materi yang kita miliki, melainkan dari bagaimana seseorang mengelola nilai-nilai, pengalaman, dan hubungan mereka dengan orang lain.
So, based on tahapan-tahapan tersebut, sepertinya sangat masuk akal jika, kedewasaan seseorang tidak bisa diukur hanya dari sekadar berapa usia seseorang tersebut sekarang.
Jadikan setiap momen di mana persoalan yang tidak mudah terjadi di kehidupan kita, sebagai momen untuk refleksi diri, instead of blaming others. I know it’s easier said than done. But come on guys, it’s supposed to be hard; if it were that easy, everyone can do it. And sometimes our personal growth makes everyone uneasy, and it’s okay.
Bukan tanggungjawab kita untuk membuat orang lain merasa nyaman atau membuat orang lain harus ada di level awareness yang sama dengan kita.
Kita tidak bisa memaksa semua orang untuk memahami dan menerima sudut pandang kita. But it doesn’t mean hal tersebut menjadi penghalang untuk kita terus berkembang.
Analoginya kalau kita mau naik lift ke lantai atas, lift kita tidak cukup luas untuk menampung banyak orang. So, if they can’t take it, just let them go. And we keep growing and do our best to discover and to customize ourselves!