Penceramah dalam agama Islam—mungkin di agama lain juga—biasanya seorang pemuka agama seperti ustaz, kiai, atau sebutan lainnya untuk guru yang mendalami ilmu agama. Penceramah akan diundang ke masjid-masjid dan majelis taklim yang jemaahnya bisa jadi ibu-ibu aja, bapak-bapak aja, bisa juga jemaahnya campur buat ngisi acara kajian, khotbah, atau pengajian. Di sana, penceramah berdakwah. Menyampaikan pelajaran agama sejauh yang mereka pelajari. Mulai dari menerangkan tata cara beribadah dan berkehidupan berdasarkan tuntunan agama, serta hukum-hukumnya. Penceramah biasa juga disebut pendakwah.
Pernah enggak sih, dengar ustaz atau kiai yang dakwah soal dalil yang bunyinya tuh gini:
“Kebersihan bagian daripada iman.”
Pastilah banyak dan cukup sering, kan. Dalil barusan biasa dipakai para penceramah sebagai dasar untuk menyampaikan persoalan-persoalan bersuci: wudu, mandi wajib, cebok, sampai tata cara berpakaian bersih dan wangi seperti saya.
Bisa juga dalil kebersihan itu dipakai buat ngingetin betapa pentingnya buang sampah di tempatnya, kan.
Saya jadi membayangkan pas jumatan. Di dalam khotbahnya, seorang penceramah bilang:
“Hadirin Jumat sekalian, banyaknya tumpukan sampah liar di pinggiran Jalan Raya Karawang adalah ciri bahwa kita belum beriman secara sungguh-sungguh! Mulai besok mari sama-sama kita raih rida Allah Subhanahu wa Taala dengan membersihkan tumpukan sampah liar!”
Barulah si Penceramah memberikan dalil kebersihan bagian dari iman, tapi sejauh pengalaman pribadi sih saya belum pernah dengar ceramah yang seperti contoh di atas, ya.
Kadang-kadang penceramah memaparkan materi dakwah yang klise dan berulang-ulang. Satu penceramah dan yang lain bisa jadi mirip isi materinya. Mungkin mereka tidak belajar dari para content creator di Nyimpangdotcom dan Diorama kali, ya.
Saya sih mikirnya gini, kalau satu materi bisa dipakai berulang kali di waktu dan tempat yang berbeda kan jadinya terkesan kurang riset dan tidak kreatif saja begitu.
Kembali ke masalah buang sampah. Sebagai orang Karawang, saya dongkol sekali sama tumpukan sampah liar di pinggir jalan, baik jalan raya maupun jalan-jalan kampung. Mungkin, mulanya tumpukan sampah-sampah liar itu berasal dari manusia-manusia Karawang yang malas, yang buang seikat dua ikat buntelan sampah rumah tangga di satu titik, di pinggir jalan.
Lalu orang lain yang melihat jadi ikut-ikut buang sampah di titik tersebut, sampai jadilah tumpukan sampah liar. Cukup sering saya lihat pengendara motor-mobil lempar sampah ke tumpukan sampah liar di pinggir jalan. Saya enggak tahu apakah petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) gak bisa mendeteksi tumpukan sampah tersebut—tapi ah enggak mungkin kalau gak kedeteksi.
Maka dari itu, ketika saya merasa masyarakat Karawang sudah enggak bisa diatur buang sampahnya dan Pemda kehabisan akal buat ngide kebijakan, saya kira pertolongan pertamanya ya lewat para penceramah. Atau dengan kata lain, penceramah adalah mediator yang tepat untuk mengingatkan masyarakat supaya berhenti buang sampah di tumpukan liar. Bisa juga para penceramah dan para jemaahnya membersihkan tumpukan sampah liar di pinggir-pinggir jalan Karawang.
“Tapi kenapa harus Penceramah? Emang gak ada orang lain?”
Alasan pertama ya tentu za karena bapak saya seorang Penceramah, jadi saya berani nyentil Penceramah. He3x. Kedua, Penceramah omongannya lebih didengar dan dipercaya oleh kebanyakan kita, dibanding ketika kita diingatkan teman, keluarga, atau polisi skena.
Oleh karena itu, buat para Penceramah di Karawang, boleh lah saya kasih saran, jika sedang menyiapkan materi ceramah, tolong risetnya dipertajam dan lebih peka lagi sama keadaan lingkungan sekitar yang terdekat, seperti halnya tumpukan sampah yang di mana-mana.
Kemudian, barulah mengutip dalil kebersihan bagian dari iman sebagai landasan. Saya yakin ceramah yang kritis atau peka terhadap keadaan lingkungan, enggak monoton, jauh lebih unik dan mampu menyadarkan hati para jemaah. Sesimple sampah kan perihal faktual yang kelihatan sehari-hari, diresahkan oleh banyak orang dan sampai menggunung dan gak simple lagi kan itu “sesuatu”, lho.
Perlu diketahui dulu, bahwa kondisi sampah Karawang di tahun 2024 ini lagi parah-parahnya banget. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Karawang mencatat volume sampah setiap harinya mencapai 1.200 ton (Merdeka.com)
Lalu, berita Bilal Ramadhan dalam Republika.co.id bilang,
“Ratusan ton sampah di tempat pembuangan sementara di wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat tidak terangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) Jalupang menyusul terbatasnya armada pengangkut sampah,”
Dengan perhitungan begini,
1 orang = 0.5 kilogram/hari
Nah, sekarang ada 2,4 Juta orang di Karawang. Maka,
2.400.000 x 0.5 = 1.200.000 = 1.200 ton! Perhari. PERHARI.
Bayangkan, total timbangan sampah di tempat pembuangan sementara dan akhir saja sampai ribuan ton. Terus itu sampah yang diangkut dari tempat-tempat pembuangan tuh udah gak ngaruh dan tetep aja sampah-sampahnya masih menuhin bak besi besar di pinggiran toko-toko dan rumah pembuangan di tiap-tiap kelurahan. Sementara tumpukan sampah liar di mana-mana juga sebanyak itu, dan gak pernah diangkut sama petugas.
Dengan kondisi tumpukan sampah liar yang gak keangkut petugas, para penceramah kan bisa manfaatin narasi yang saya tulis di atas sebagai data untuk memperpekuat materi ceramah. Tujuannya agar menujukkan pentingnya masalah tumpukan sampah liar dan pentingnya tetap menjaga kebersihan Karawang, sebab menjaga kebersihan adalah representasi keimanan yang baik. Subhanallah. Eta tehhh?
Penceramah dapat menambahkan pula, bahaya-bahaya yang akan terjadi pada hidup jika masih membiarkan tumpukan sampah liar tetap ada. Misalnya, pemandangan kota jadi buruk, bau sampah mengganggu pengendara motor, pengendara bisa tergelincir karena sampahnya berserakan ke jalan jadi sarang penyakit, sarang dedemit, dan lain-lain.
Oh saya jadi ingat waktu masih mondok dulu. Saya pernah diterangkan oleh guru saya bahwa, dakwah bisa dilakukan dengan lisan alias ceramah, dan bisa dengan mempraktikannya dalam kehidupan nyata atau sehari-hari dengan niat ingin memberi contoh yang baik kepada orang lain.
Nah, hal pertama yang dilakukan Guru tersebut kalau keluar dari kantornya pasti langsung mungutin sampah. Beliau gak nyuruh santri-santri yang di sekelilingnya buat buangin sampah, tapi beliau sendiri yang melakukannya. Alhasil, santri-santri pun merasa malu dan akhirnya ikut memunguti sampah-sampah bareng beliau.
Alangkah indah sepertinya, jika penceramah-penceramah Karawang bukan hanya mengingatkan saja jamaah-jamaahnya supaya stop membuang sampah ke tumpukan liar dan agar mau membersihkan tumpukan sampah liar itu. Iya gak, sih?