Keributan ayam berkokok bersahut-sahutan sudah mulai mereda. Semakin lama semakin berkurang. Hingga akhirnya terdengar satu saja yang masih lantang bersuara. Ayam-ayam pun mulai pergi mencari rezeki meninggalkan kandangnya.
Abimanyu masih dalam kebimbangan karena hari ini akan menghadapi Ujian Akhir Semester (UAS) di kampusnya. Bukan karena dosennya yang killer, susahnya tugas dan materi UAS yang akan diberikan. Tapi pikirannya dijejal biaya kuliah yang masih memiliki tunggakan.
“Di kota besar untuk pergi mencari makan saja kita harus berperang dengan kemacetan lalu lintas,” ujarnya dalam hati.
Dengung dan raung lalu lintas dari jalan raya terus menggila sama seperti kemarin, kemarinnya lagi, dan dulu sebelum zamannya onta berada di kota metropolitan. Raung klakson dan suling kereta api selalu menghiasi ruang pertempuran dalam mencari rezeki.
“Hei, pernah kepikiran tidak, kita bisa memilih di universitas ternama dimana pun` tanpa takut biaya yang tinggi?” tanya Arya.
Di sebuah desa kecil yang akses jalannya jauh hiruk pikuknya sebuah kota. Namun terdapat beberapa mimpi para pemuda yang dipenuhi semangat belajar, seorang mahasiswa berbakat bernama Abimanyu. Dia memiliki impian besar untuk mengubah dunia melalui ilmu pengetahuan, tetapi kenyataannya sangat sulit. Biaya kuliah yang semakin melambung membuatnya terjebak dalam lingkaran pinjaman online.
Dia berasal dari keluarga sederhana yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meskipun memiliki kecerdasan yang luar biasa, dan menyadari bahwa untuk mencapai impiannya, dia perlu melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Sayangnya, universitas yang diinginkannya memiliki biaya kuliah yang sangat tinggi.
Dia mencoba mencari solusi untuk mendanai pendidikannya. Namun, setiap pintu terasa tertutup bagi mahasiswa berbakat seperti dia. Tanpa opsi lain, dia terpaksa beralih ke pinjaman online yang menawarkan uang dengan cepat tanpa persyaratan rumit.
“Aku merasa lega karena bisa membayar biaya kuliah dan terus memupuk mimpi. Tapi cepat atau lambat, aku menyadari bahwa pinjaman online tidaklah sederhana. Bunga yang tinggi, ketentuan pembayaran yang sulit, membuatku semakin terjebak dalam hutang yang tak terkendali,” ucapku dalam lamunan.
Betapa kurangnya pemahaman terkait literasi keuangan di kampus, gaya hedonis dan minimnya kesadaran terhadap manajemen risiko. Terlepas dari itu semua. Ketika berbicara terkait kapitalisasi pendidikan, pasti selalu saja ada yang pro dan kontra. Dulu saat perang dunia kedua, AS dan sekutunya menjatuhkan bom berkekuatan dahsyat di Hirosima dan Nagasaki. Kaisar Hirohito bertanya kepada anak buahnya, “Berapa banyak jumlah guru yang selamat?” Bagaimana Jepang menghargai seorang guru. Sementara di Indonesia guru mengajar mulai dari jam 7 pagi sampai jam 3 sore nonstop dengan bayaran 300 ribu sebulan.
Layakkah apresisasi tenaga pendidik, guru, dosen dan yang lainnya? Sementara di Finlandia, setiap guru hanya menghabiskan waktu 4 jam sehari di kelas dan punya waktu 2 jam per minggu yang didedikasikan untuk professional development.
Indonesia menginginkan pendidikan gratis total dan didanai negara tapi pajak yang dibebankan Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas 5 milyar. Penyerapannya bisa tidak sampai 50%. Jangan lupa juga, ada yang dikorupsi buat beli Rubicon. Aku menutup koran yang dibaca dan melanjutkan aktivitas setidaknya membuka cakrawala pengetahuan baru hari ini.
“Aku hampir putus asa dan mengosongkan pandangan di kantin kampus. Mencoba bertemu dan berbagi cerita dengan seorang profesor di kampus yang peduli dengan nasibku. Tiba-tiba teringat satu nama Pak Kemal, seorang pendidik yang memiliki kepedulian besar terhadap kapitalisasi pendidikan. Mudah-mudahan beliau merasa tergerak hatinya untuk membantuku,” harapku.
Aku dan Pak Kemal mulai mencari solusi untuk keluar dari jeratan pinjaman online. Aku menggalang dukungan dari mahasiswa dan dosen lainnya untuk mengkritisi sistem pendidikan yang memaksakan beban finansial kepada mereka yang berusaha meraih pendidikan tinggi.
Melalui aksi protes dan kampanye sosial media, Aku dan Pak Kemal berhasil menarik perhatian masyarakat dan media. Keberhasilan mengungkapkan dampak buruk kapitalisasi pendidikan terhadap para mahasiswa dan menuntut perubahan kebijakan pendidikan yang lebih adil.
Akhirnya, pemerintah setempat mendengar seruan kami. Mereka mulai mengkaji ulang kebijakan biaya kuliah dan menawarkan solusi alternatif untuk mahasiswa yang berjuang, seperti beasiswa dan program pinjaman dengan bunga rendah.