Disebarluaskan lebih dari tiga juta kali per Kamis (6/6), story, postingan, dan wacana dengan tagar All Eyes on Papua berisi ajakan mendukung masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel—kabupaten dengan laju deforestasi tertinggi di Papua–mengusir setan mana pun yang merebut tanah mereka atas nama pembangunan.
All Eyes on Papua berfokus pada konflik agraria di komunitas Suku Awyu, tapi tentu saja dosa negara pada masyarakat Papua bukan cuma itu. Persoalan lain seperti tambang, pendidikan, kesehatan, pemerataan, kesenjangan, diskriminasi, dan isu-isu rasial meliputi tagar solidaritas All Eyes on Papua.
Sampai saat ini suku Awyu tengah berupaya mempertahankan tanah ulayat seluas 36.094 hektare, yang setara setengah area Jakarta, dari rencana ekspansi perusahaan kelapa sawit PT. Indo Asiana Lestari.
Sementara itu, bisnis.com menyebut luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini (16,38 juta hektare) setara dengan 247 kali luas wilayah DKI Jakarta. Perbandingan yang cukup buat melontarkan pertanyaan semacam:
Apakah kita perlu separuh Jakarta lagi, untuk menanam sawit? Kita sih tidak, tapi masih ada orang rakus di antara kita, yang tak kenal apa arti cukup.
Di Indonesia, fenomena No Viral No Justice yang awalnya adalah bentuk sindiran netizen kepada Polri atau semua institusi penegak hukum yang dirasa ogah merespons laporan dari masyarakat. Sekali dua kali, memang berhasil membuat institusi termager itu bergerak. Tapi dalam kejadian-kejadian sekrusial dan sebesar ini, hanya Tuhan yang tahu, bagaimana bakal berujung.
Pengelolaan hutan yang berkelanjutan menjadi tantangan besar di Papua. Sebab hutan adat perlu mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang layak, dengan menempatkan masyarakat adat sebagai pengelola utama berdasarkan kearifan lokal mereka (Polontoh, 2018). Tapi apa kata Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)?
“Ada sejumlah proyek strategis nasional (di Papua), ada kawasan-kawasan ekonomi khusus yang sedang dibangun untuk meningkatkan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan, termasuk misalnya menghadirkan ketahanan pangan, juga ketahanan energi,” terang AHY.
Lebih jauh, AHY menuturkan, untuk pembangunan ekonomi di Papua dibutuhkan lahan yang tidak sedikit. Karena itu, kata dia, diperlukan kontribusi masyarakat dalam pembangunan tersebut.
Simpelnya sih gini, ya. Itu tanah yang cuma separuh dari Jakarta itu kan tanah-tanah orang adat, Jakarta ngapain repot-repot bawa jigong pembangunan? Pede betul.
Pada dasarnya upaya perampasan tanah semacam ini hanyalah fenomena gunung es dari penderitaan masyarakat Papua.
Irian, Ikut Republik Indonesia Anti-Nederland adalah nama yang digaungkan Frans Kaisiepo sebelum akhirnya disebut kembali sebagai Papua.
Membicarakan Papua tentu saja harus melibatkan serangkaian peristiwa di belakang. Bisa jadi sejak integrasi Papua ke Indonesia 1969. Sebab bukan tidak mungkin daftar panjang konflik di tanah Papua dimulai dari sana.
Sejak integrasinya ke Indonesia melalui Act of Free Choice 1969, Papua telah mengalami berbagai bentuk penderitaan. Yang bahkan di dalam proses referendumnya pun memiliki indikasi kecurangan.
Gimana enggak? one man one vote yang harusnya jadi metode referendum nyatanya gak diterapkan, kok. Dari 800.000 masyarakat Papua, yang dilibatkan dalam musyawarah hanya 1.052 orang. Yang orang-orangnya itu pun ditentukan oleh pejabat Indonesia.
Berikut adalah beberapa poin penting dalam sejarah penderitaan Papua:
- Proses integrasi Papua ke Indonesia dipandang tidak adil dan tidak representatif oleh banyak pihak, menyebabkan ketidakpuasan dan gerakan separatis. Sehingga salah satunya menyebabkan kekerasan militer, meliputi penyiksaan dan pembunuhan penduduk asli, yang sering dilaporkan, namun dengan sedikit tindakan nyata dari pemerintah untuk menghentikannya.
- Penduduk asli Papua juga mengalami diskriminasi rasial dan marginalisasi dalam pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Papua yang kaya akan sumber daya alam seperti emas dan tembaga, ternyata hasilnya lebih banyak dinikmati oleh perusahaan besar dan pemerintah pusat, bukan masyarakat lokal.
- Tidak cukup sampai situ. Konflik antara pemerintah Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan Papua, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM), berlanjut hingga kini, menyebabkan ribuan orang tewas dan mengungsi. Tak heran jika hal ini merembet pada persoalan pendidikan dan layanan kesehatan yang minim, makin memperburuk kondisi hidup masyarakat Papua, dengan kasus kelaparan dan penyakit yang berulang.
Sementara ekspansi perkebunan kelapa sawit dan penebangan liar yang sedang kita bicarakan ini pelan-pelan mencaplok hutan-hutan adat, yang merupakan sumber kehidupan dan identitas budaya masyarakat adat seperti Suku Awyu dan Moi.
Tahun 2019, puluhan mahasiswa Papua ditangkap sebab diduga gak menghormati bendera Indonesia.
Asrama mahasiswa Papua di Surabaya dikepung, dilempari batu, dan mahasiswa Papua diteriaki makian berbau rasialisme. Yang paling menyakitkan adalah penyebutan kata binatang sebagai makian kepada orang Papua.
Peristiwa tersebut memicu gelombang demonstrasi besar-besaran berujung ricuh di beberapa titik di Indonesia, termasuk di Papua sendiri.
Yang dilakukan pemerintah untuk meredamnya? Memblokir dan membatasi akses internet di Papua dan Papua Barat pada tahun 2019.
Pada akhirnya masalah utama yang dihadapi Papua sangat kompleks dan saling terkait, mencakup pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi, eksploitasi sumber daya alam, konflik politik, krisis lingkungan, dan kurangnya perhatian internasional.
Sejarah penderitaan Papua adalah kisah panjang tentang ketidakadilan, eksploitasi, dan marginalisasi yang terus berlanjut di depan mata kita, warga Indonesia yang semakin menyaru jadi warga yang seragam: Warga Jakarta. Warga dengan watak lingkaran setan produksi-konsumsi-eksploitasi.
Dengan “All Eyes on Papua,” semoga saja suatu keajaiban terjadi. Keajaiban yang sederhana: agar orang-orang di Jakarta (baca: Pemerintahan Pusat Indonesia/orang Indonesia berwatak Pemerintah), berhenti bawa-bawa jigong pembangunan ke tanah yang bukan milik mereka, dan berhenti bersikap sok pahlawan.
Pembangunan-pembangunan-pembangunan. Berak kuda! Jakarta harus belajar apa arti cukup!