Di lini masa sosial media, Agus Penyandang Disabilitas mencuat menjadi pembahasan yang ada setiap harinya—karena yang bersangkutan sudah menjadi tersangka kasus pelecehan seksual fisik. Di kolom komentar akun-akun berita, banyak netizen yang menyangkal kalo Agus ini bisa menjadi pelaku pelecehan seksual. Alasannya karena Agus nggak punya dua tangan, yang bisa ia gunakan untuk memaksa korban untuk memuaskan hasrat seksualnya. Tapi, ini merupakan cara pandang yang sempit. Pelecehan seksual hadir bukan cuma dari paksaan fisik, tapi juga manipulasi mental.
Buktinya adalah Polda NTB (Nusa Tenggara Barat) menetapkan I Wayan Agus Suartama alias Agus Penyandang Disabilitas dengan pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, yang mengatur mengenai modus manipulasi untuk persetubuhan atau perbuatan cabul, yang mengeksploitasi kerentanan seseorang. Jadi secara hukum, modus pelecehan seksual tidak dibatasi pada paksaan fisik yang nampak jelas terlihat.
Dari kasus ini, Agus diketahui sudah banyak menargetkan perempuan. Kabar terakhir yang kami terima, sudah ada 17 orang perempuan, bahkan yang di bawah umur, yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual Agus. Berarti dari sini terdapat relasi kuasa juga yang secara sadar pelaku pakai untuk memperdaya perempuan di bawah umur.
Memahami Teknik Manipulasi Agus
Menurut keterangan media Tribunnews, Agus mengincar perempuan yang terlihat rentan, lalu mengorek informasi pribadinya, dan menggunakan hal tersebut sebagai “senjata” untuk mendesak korban supaya menjalankan aktivitas seksual dengan pelaku.
Berdasarkan bukti rekaman video percakapan antara Agus dan korban, yang beredar luas di ruang cyber, yang dimaksud rentan di sini adalah korban yang terlihat galau/atau sedih. Ia mendengarkan cerita sedih korban, menyemangati, dan merayunya: berupaya untuk mendapatkan kepercayaan korban, lalu aib korban dimanfaatkan oleh Agus sebagai alat pemerasan supaya korban melakukan aktivitas seksual dengan Agus.
Tak berhenti sampai di situ saja, pelaku juga memanfaatkan situasi, tempat, dan norma yang berlaku di masyarakat. Sudah pasti di masyarakat kita yang punya nilai-nilai konservatif ini, dua orang lawan jenis kalo ada di sebuah tempat tertutup itu dianggap tidak pantas. ”Kejadian kumpul kebo,” begitulah kira-kira kalo kata orang-orang. Ketika korban dan pelaku ada di sebuah homestay, pelaku memberikan ancaman untuk mendorong masyarakat menggerebek mereka berdua, sampai dinikahkan, kalo korbannya tidak mau nurut dengan kemauan seksual Agus ini.
Dampak Pelecehan Seksual
Kasus ini memberikan dampak memilukan yang besar pada para korban. Menurut keterangan situs Equal Rights dan Stop VAW, korban pelecehan seksual tersiksa dengan hal-hal berikut: kecemasan konstan, depresi, sakit kepala, gangguan tidur, penurunan atau kenaikan berat badan, mual, menurunnya rasa percaya diri, disfungsi seksual, kehilangan pekerjaan (stigma menjaga “nama baik kantor”), berkurangnya semangat juang, berkurangnya kepuasan dalam pekerjaan, sampai kerusakan yang tidak bisa diperbaiki dalam hal hubungan profesional.
Melihat dampaknya yang banyak dan merusak, masyarakat justru seringkali tidak membantu para korban. Kasus pelecehan seksual seperti ini biasanya mendorong masyarakat untuk menyalahkan para korban dengan predikat “genit” atau “gampangan.” Stigma seperti ini yang membuat para korban merasa terisolasi—sendirian tanpa dukungan siapa pun, dan hal ini akhirnya melanggengkan praktik pelecehan seksual yang menghilangkan ruang aman untuk perempuan.
Perempuan akhirnya merasa tidak aman lagi untuk keluar rumah. Suasana di jalanan, taman, bahkan kampus, adalah suasana menyiksa dengan kemungkinan-kemungkinan adanya penjahat kelamin yang berkeliaran tanpa pernah ditindak oleh masyarakat sekitar atau bahkan aparat hukum. Ini tentu saja menghambat perempuan-perempuan karier. Setiap hari kecuali Sabtu dan Minggu, mereka perlu untuk keluar rumah untuk mendapatkan penghidupan. Bahkan, perempuan yang merupakan generasi sandwich menanggung urusan-urusan keluarganya juga, yang mana kalau tidak berinteraksi dengan dunia luar, berarti membahayakan dirinya sendiri dan keluarganya.
Kita perlu menyikapi hal ini untuk memulihkan ruang aman perempuan.
Menyikapi Kasus Agus
Kasus pelecehan seksual fisik ini juga menyadarkan kita bahwa penyandang disabilitas itu bisa menjadi pelaku, walaupun ia masuk kategori kelompok rentan dan minoritas. Ia memiliki kelemahan fisik, bukan menjadi alasan untuk tidak mampu berbuat kejahatan. Kasus ini juga menyadarkan kita tentang prinsip hukum “Equality before the law,” artinya, “Kesetaraan di hadapan hukum.” Sekalipun Agus berstatus sebagai penyandang disabilitas, tapi ia tidak bebas dari pertanggungjawaban hukum karena kedudukannya setara dengan orang lain. Ia mesti tetap diselidiki, disidik, bahkan nanti dituntut, diperiksa, dan diberikan vonis di pengadilan, yang setimpal dengan kejahatan yang telah ia lakukan.
Lalu kita tidak boleh berhenti sampai di situ saja, tapi juga mesti memperhatikan restitusi atau ganti rugi yang layak bagi korban, dan mengubah cara pandang masyarakat yang misoginis untuk lebih sadar persoalan gender. Pasal 30 ayat (2) huruf a s/d huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 mengatur bentuk-bentuk ganti ruginya sebagai berikut:
- Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
- Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual;
- Penggantian biaya perawatan medis dan/ atau psikologis; dan/ atau
- Ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana.
Setelah selesai pada persoalan ganti rugi ini, kita perlu memantik kesadaran di masyarakat. Pertama, pelecehan seksual tidak hanya didorong oleh paksaan fisik, tapi juga manipulasi mental. kedua, masyarakat perlu hadir untuk korban tanpa menghakiminya. Ketiga, kecaman sebagai sanksi sosial pada pelaku perlu dilakukan oleh kita.
Penjatuhan hukuman, pemberian ganti rugi yang layak bagi korban, dan memantik kesadaran masyarakat bukan hanya untuk memberikan efek jera pada pelaku, tapi juga untuk memberikan rasa keadilan bagi para korban dan perempuan pada umumnya.