Ugal-Ugalan Merawat Impunitas lewat Revisi UU TNI

Minpang

Revisi UU TNI yang tiba-tiba muncul ini bukan sekadar soal perwira nganggur, tapi bisa jadi jalan tol menuju impunitas yang makin ugal-ugalan.

Coba bayangin deh: kamu lagi enak-enak selonjoran di pantai—sambil menikmati novel favorit—tapi tiba-tiba kepalamu disepak sama orang yang lagi latihan nendangin udara. Pasti kesel, kan? Nah, kira-kira begitulah rasanya ketika revisi UU TNI datang secara tiba-tiba, bikin kita yang lagi berusaha menikmati hidup malah dongkol bukan kepalang.

Para wakil rakyat liciknya nggak ketolongan. Mereka ngumpet ngumpul di sebuah hotel di Jakarta dari tanggal 14 Maret sampai 15 Maret tahun ini—bukan di gedung DPR, apalagi di tengah rakyat—buat ngebahas ketentuan baru yang memungkinkan perwira aktif TNI menduduki 16 jabatan sipil, termasuk mempertahankan jabatan di Mahkamah Agung.

Dari sini muncul kekhawatiran besar: kalau revisi ini jadi kenyataan, impunitas bakal makin terawat dan makin gila-gilaan.

Tapi sebelum kita masuk ke bahasan soal impunitas, mari kita telusuri dulu alasan revisi ini muncul dan pasal yang bikin ribut. Ibarat mau ke Jakarta, kita nggak bisa tiba-tiba sampai tujuan. Harus mengalami perjalanan dulu: pasang sabuk pengaman, lihat lalu lalang kendaraan, dan tentu saja—melewati kota-kota lain (masa iya ke Jakarta dari Cikampek, nggak nyapa Bekasi?).

Dengan begitu, kita bisa memahami masalah ini secara runut.

Tujuan Revisi UU TNI

Tujuan revisi ini sederhana: biar perwira TNI yang “nganggur” bisa dapet garapan. Diperkirakan ada ratusan perwira yang posisinya semacam “nggak ada kerjaan” karena—syukurlah—negara kita lagi nggak berperang atau sibuk invasi sana-sini.

Pemerintah kemudian punya ide: daripada mubazir, kenapa nggak disalurin aja ke jabatan sipil? Dengan begitu, para perwira ini tetap bisa “mengabdi” dan—yang lebih penting—tetap menikmati “kesejahteraan.”

Hari-hari mereka nggak lagi dihabiskan pakai seragam loreng dan sepatu boots, tapi beralih ke setelan PDH (Pakaian Dinas Harian) necis dan sepatu pantofel mengkilap. Setelah rapat, bisa santai jalan-jalan, terus ngopi-ngopi di Atrium.

Masalah di Balik Revisi UU TNI

Tapi masalahnya, ketentuan pasal 47 ayat (2) revisi UU TNI yang mengatur penempatan prajurit aktif di 16 sektor sipil—termasuk mempertahankan jabatan di Mahkamah Agung—bisa jadi jalan tol buat merawat impunitas.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), impunitas itu artinya seseorang nggak bisa dihukum, dituntut, atau digugat atas perbuatannya. Kebayang, kan, kalau ada oknum TNI yang “ngadi-ngadi” terhadap warga sipil, terus pas mau diadili, eh ternyata bestie-nya yang punya jabatan mentereng di pengadilan?

Ini bukan ketakutan yang muncul tiba-tiba, tapi berakar dari sifat manusia sendiri. Ada yang namanya bias in-group, yaitu kecenderungan buat melindungi kelompok sendiri, bahkan kalau kelompok itu jelas-jelas salah. Ini watak dasar manusia yang harus kita sadari dan kontrol, bukan malah dikasih panggung lewat revisi undang-undang.

Kekhawatiran ini makin diperkuat sama sejarah panjang impunitas kasus pelanggaran HAM yang melibatkan TNI. Peristiwa Tanjung Priok, Talangsari, Pembantaian Santa Cruz—semuanya mandek tanpa penyelesaian yang adil.

“Hukuman” yang dijatuhkan ke para terdakwa pun sering kali atau selalu cuma sekadar formalitas, seperti pidana kurungan 8 bulan sampai pidana penjara 18 bulan untuk Pembantaian Santa Cruz, yang nggak sebanding dengan kejahatan berat dengan hantaman barisan peluru tajam. Wajar kalau kita skeptis!

Menghajar Korban Berkali-Kali

Korban kejahatan HAM (Hak Asasi Manusia) itu udah cukup menderita dengan dua jenis kerugian: materiil (yang bisa dihitung, kayak kehilangan harta atau biaya pengobatan) dan immateriil (yang lebih abstrak, kayak trauma psikologis).

Nah, sekarang bayangin: mereka udah kehilangan segalanya, tapi peradilan malah gagal kasih keadilan. Udah gitu, pelakunya juga dibiarkan bebas melenggang.

Ini namanya menghajar korban berkali-kali. Bukan dengan tangan, tapi dengan sistem hukum yang bobrok dan undang-undang yang malah memperparah keadaan.

Jadi kalau revisi UU TNI ini sampai lolos, jangan kaget kalau di masa depan kita bakal lihat lebih banyak lagi orang bebas dari hukuman cuma gara-gara seragam dan jaringan. Bukannya membangun sistem yang lebih adil, kita malah menggali kubur lebih dalam buat keadilan itu sendiri.

Minpang di sini~

Related Post

No comments

Leave a Comment