Saya pernah nyantri di pesantren, dan pengalaman itu adalah pengalaman langka yang tidak dialami oleh orang-orang yang bekerja di kantor saya di Amerika. Karenanya, pesantren dan santri adalah hal asing di kepala banyak orang, bahkan banyak yang tidak tahu sama sekali tentang pesantren. Jangankan untuk orang yang sudah lama tinggal di Amerika, orang Indonesia yang lahir dan besar di Indonesia pun banyak yang tidak mengenal pesantren, meskipun lembaga pesantren ada di sekitar mereka.
Ketidaktahuan ini menggiring orang pada asumsi bahwa santri dan pesantren adalah komunitas yang jauh dari modernitas. Memang ada banyak pesantren modern dan santri yang berkarier di berbagai pekerjaan keren, namun tetap saja, masih butuh banyak pembuktian dan validasi agar santri dan pesantren bisa dikenali oleh orang awam. Barangkali kesederhanaan yang diajarkan dalam konsep kepesantrenan menjadi salah satu alasan mengapa imaji sederhana dan tidak “duniawi” begitu lekat dengan identitas santri dan pesantren.
Hal ini tampak terkonfirmasi di kepala saya, ketika suatu pagi beberapa waktu lalu, ada kunjungan rombongan delegasi DPR RI ke kantor. Kedatangan mereka disambut dalam sebuah acara yang, seperti biasa, banyak sambutan-sambutannya. Kedatangan delegasi semacam ini adalah hal yang biasa, bahkan rutin terjadi hampir setiap bulan. Dalam setiap kunjungan anggota DPR atau pejabat negara lainnya, yang sering saya lihat adalah gaya mereka yang sangat menonjol. Menonjol dengan pakaian mahal, tas mahal, sepatu mahal, kacamata mahal, bros mahal—pokoknya gaya sekali. Bahkan pernah ada delegasi DPR yang datang dengan keluarganya, di antaranya ada seorang bocah mungkin usia 5 atau 6 tahun, berlenggak-lenggok sekali dengan tas kecil Chanel-nya. Anak sekecil itu, sepertinya tidak perlu.
Kedatangan rombongan DPR biasanya tidak hanya terdiri dari anggota DPR-nya saja, tetapi hampir pasti sepaket dengan staf-stafnya. Dari staf ahli yang bisa berbahasa Inggris (karena kebanyakan anggota DPR tidak bisa berbahasa Inggris) sampai staf ahli yang mungkin keahliannya hanya menemani jalan saja. Kejadian di pagi itu menjadi nampak kontras di ingatan saya ketika di sore harinya ada kunjungan rombongan kader-kader Masjid Istiqlal yang katanya sedang mengikuti kursus singkat selama beberapa bulan di Amerika. Rombongan orang-orang masjid ini, jika dilihat dari penampilannya, adalah kebalikan dari rombongan DPR yang saya lihat di pagi hari. Orang-orang masjid ini ada yang memakai jaket jas seragaman, ada yang memakai tas ransel oleh-oleh seminar, ada yang memakai songkok hitam dengan garis menguning di sisi belakangnya (mungkin karena sering terkena rambut basah setelah wudu), beberapa lainnya memakai batik yang umum dipakai oleh pria dan wanita biasa, dan secara keseluruhan tidak tampak ada pakaian dan perhiasan dengan logo-logo merek besar seperti yang dengan mudah saya lihat ketika rombongan DPR dan para stafnya melakukan kunjungan.
Sekarang bayangkan, bagaimana persepsi yang ada di kepala orang-orang di kantor saya, di mana mayoritas tidak akrab dengan konsep santri dan pesantren, ketika bertemu dan menyambut dua tamu tersebut di hari yang sama?
Perkara kesederhanaan orang-orang pesantren ini bukan hanya terjadi sekali, tetapi sebelumnya juga pernah ada. Satu waktu ada rombongan berjumlah 9 atau 10 orang (saya lupa tepatnya) yang diberangkatkan ke Amerika melalui program English for Ulama dari Pemprov Jawa Barat. Jika ditanya satu per satu, ulama ini terdiri dari guru dan dosen dari berbagai daerah di Jawa Barat. Sama seperti kader Istiqlal tadi, rombongan ini pun jika dilihat dari penampilannya, tidak tampak jauh berbeda. Bahkan dua di antaranya ada yang memakai sandal. Serius, pakai sandal? Di saat anggota DPR memakai sepatu rapi Bottega, kader ulamanya hanya memakai sandal ke acara formal di Kedutaan?
Mungkin adagium klise akan bilang dengan satir, “Tampilan mah perkara tidak penting, yang penting ketakwaannya.” Wuiiih. Penampilan memang bukan segalanya, bukan parameter juga untuk menilai baik buruknya karakter seseorang. Namun di dunia yang semakin duniawi ini, penampilan menjadi tolak ukur pertama bagi banyak orang, dalam hal ini orang-orang yang awam akan santri dan pesantren, untuk mau berinteraksi lebih jauh. Tidak hanya sebatas membangun komunikasi, tetapi juga koneksi dan kepercayaan. Tidak menutup kemungkinan, dari kesan pertama yang baik itulah, misi dakwah antum-antum ini bisa tereksekusi dengan baik.
Tetapi, semua teori itu hanya teori belaka. Ya, bagaimana kader santri ini mau tampil necis, toh uangnya tidak ada. Mereka bukannya tidak mau, tetapi belum menjadi prioritas saja. Membandingkan gaji guru ngaji atau dosen STAI dengan anggota DPR, meski hanya staf khususnya saja, ibarat membandingkan gaji hakim dengan uang jajan Rafathar. Jauuuh. Makanya, lucu juga melihat hakim komplain soal gajinya yang katanya kecil, sementara di kepala saya ada seorang santri yang datang ke acara resmi di kantor kedutaan memakai sandal dan ransel oleh-oleh seminar. Dua hal yang tidak berkaitan, tetapi nampak lucu untuk dipikirkan.
Kader ulama bisa berceramah pakai sorban merek LV atau menunjukkan Rolex ketika mengangkat tangan saat doa tahlilan adalah masih menjadi cita-cita. Tapi eh, saya jadi berpikir ulang. Apa iya mencita-citakan hal seperti itu harus diamini?
10 Oktober 2024.